Kebebasan yang diberikan kepada media membuat media itu sendiri luas mencari informasi sebanyak mungkin, ditambah lagi dengan teknologi yang semakin berkembang yang membuat kecenderungan masyarakat akan membaca media online. Berita yang disebarkan secara online memiliki kecenderungan untuk sebisa mungkin disampaikan secara cepat, sehingga munculah beberapa berita. Mufid (2009:240) menyatakan terdapat beberapa aspek dari media massa sehingga dapat menampilkan karya yang media anggap hal tersebut adalah hal yang strategis. Pertama, adanya sebuah jangkauan yang luas dalam menyebarkan informasi yang mampu melewati batas wilayah, kelompok umur dan jenis kelamin, status sosial, serta perbedaan paham dan orientasi atau psikografis, sehingga hal yang akan disampaikan melalui media menjadi perhatian luas bagi masyarakat di berbagai wilayah dan kalangan. Kedua, media memiliki kemampuan untuk melipatgandakan pesan. Sebuah berita dapat dilipatgandakan beritanya, serta dapat diulang penyiarannya. Pelipat gandaan pesan ini memiliki dampak yang sangat besar bagi khalayak, oleh sebab itu pemberitaan yang disebarkan kepada khalayak harusnya bersifat positif. Keempat, yakni adanya konsep agenda setting. Jika kita kaitkan kasus pemberitaan Dwi Hartanto dengan keempat poin di atas, bisa dikatakan bahwa isu ini adalah isu yang strategis untuk diberitakan. Hal pertama, yakni kehadiran sosok Dwi Hartanto dianggap sebagai kebanggaan rakyat Indonesia, sehingga sesungguhnya media awalnya bermaksud baik untuk menghadirkan pemberitaan Dwi sebagai bentuk inspirasi bagi generasi muda di Indonesia. Kemudian, karena berita ini terus disebarluaskan, dari satu media ke media lain, akhirnya berita ini dijadikan sebagai topik yang disukai oleh masyarakat, dampak dari pelipatgandaan ini mengakibatkan berita yang disampaikan telah ditambahi bumbu-bumbu yang berlebihan karena masing-masing dari perusahaan media tersebut berlomba-lomba untuk mendapatkan berita yang berbeda dan sensasional demi mendapatkan rating yang baik. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, bahwa sebenarnya kasus ini mulai mereba di pertengahan tahun 2015, dan mulai redup di akhir tahun 2015, isu ini merupakan kasus yang disukai oleh khalayak, sehingga dapat dilihat kecenderungan pemberitaan mengenai Dwi, kemudian akhir-akhir ini, berita klarifikasi Dwi Hartanto muncul di media dan mulai redup dengan adanya pemberitaan mengenai pelantikan Gubernur DKI Jakarta, serta pernyataan-pernyataannya.Â
Jika dilihat dari segi aspek psikografis, pemberitaan mengenai Dwi Hartanto ini merupakan jenis media yang sebenarnya disukai oleh masyarakat modern. Masduki (2001:26) menjelaskan bahwa budaya mendengar dan membaca akan mempengaruhi rutinitas mendengar jenis informasi tertentu, masyarakat biasa serta berbagai gelaja perubahan dunia cenderung disukaiÂ
oleh masyarakat modern di perkotaan. Kita bisa menilik kembali, bahwa pemberitaan ini awalnya diberitakan melalui berita online yang sebenarnya cenderung dikonsumsi oleh masyarakat modern yang tinggal di perkotaan, kemudian konten dari pemberitaan tersebut juga sangat cocok dengan target yang dituju, sehingga berita ini merupakan salah satu berita yang disukai oleh masyarakat dan sempat menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Namun kembali lagi, jika kita melihat fenomena yang terjadi di sini, kecenderungan akan media yang menampilkan berita tersebut membuat adanya pergeseran nilai di dalamnya. Dapat dilihat secara jelas bahwa sikap media yang terkesan bebas begitu saja menyampaikan informasi, membuat khalayak menerima berita yang terkesan tidak terverivikasi. Berdasarkan teori efek media massa dalam teori jarum hipodermik yang digagas oleh Laswell pesan digambarkan seperti sebuah peluru ajaib yang memasuki pikiran khalayak dan menyuntikkan beberapa pesan khusus. Teori ini juga menjelaskan bagaimana media mengontrol apa yang khalayak lihat dan apa yang khalayak dengar. Khalayak dianggap homogen dan tidak mengerti apa-apa, oleh sebab itu media sangat berperan penting dalam memberikan konten berita yang positif. Oleh sebab itu, hal kebebasan yang dimiliki oleh media harus dilandasi oleh batasan tetentu, yakni tanggung jawab sosial dari media itu sendiri atas berita yang disampaikan.
Pada filsafat, tanggung jawab merupakan kemampuan seorang manusia yang menyadari bahwa segala tindakan yang dilakukannya pasti memiliki konsekuensi (Mufid, 2001: 243). Kebebasan yang dimiliki seharusnya dikelola dengan menggunakan norma yang merupakan tanggung jawab sosial, yakni sebuah implementasi dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini, Media itu sendiri dalam menyampaikan berita tentu saja harus memikirkan bagaimana konsekuensi dari berita yang ditampilkannya. Media sebagai pilar demokrasi dan perwakilan bagi kedaulatan rakyat tentu saja memiliki peran untuk menerapkan standar tanggung jawab sosial itu sendiri, sehingga seharusnya media bisa menyajikan berita yang sesuai dengan koridornya.
(Sumber: Masduki. 2001. Jurnalistik Radio, Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar. Yogyakarta: LKIS)
- Penutup
Kasus mengenai kebohongan Dwi Hartanto ini sendiri memberikan persepsi bahwa sebenarnya telah terjadi pergeseran dari apa itu hakikat media massa di Indonesia. Pemberitaan mengenai Dwi Hartanto pada awalnya merupakan usaha positif yang dilakukan oleh media untuk menjalankan fungsi sosialisasinya. Akan tetapi fakta yang diberikan kepada khalayak sekarang ini dapat menimbulkan dampak ketidakpercayaan khalayak terhadap berita yang disampaikan. Kasus ini merupakan salah satu contoh bahwa terdapat perubahan orientasi dari media massa itu sendiri. Jika media terus memberitakan berita yang kebenarannya terkesan masih dipertanyakan, maka bisakah masyarakat percaya kepada media massa saat ini. Secara etis, media massa seharusnya bisa memberikan pertahanan bagi masyarakat dalam menghadapi post truth era dimana kebenaran diabaikan, apabila kita telah melihat posisi media massa di dalam pemerintahan yang demokratis.Â
(Sumber: Semiawan, C. 2005. Panorama Filsafat Ilmu. Bandung: Mizan)
Daftar Pustaka
* Kovach, B dan Rosenstiel, T. 2006. Sembilan Elemen Jurnalisme. Diterjemahkan oleh: Yusi A. Jakarta: Pantau
* Mufid, M. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Prenadamedia