Pada hal ini, realitas dilihat sebagai aspek mengapa dan bagaimana realitas atau fakta itu benar dan terbukti. Kemudian, ketiga adalah aksiologi, yang merupakan nilai serta manfaat dari ilmu pengetahuan itu sendiri, Lanigan, di dalam Mufid (2009:88) menyatakan bahwa apabila dikaitkan dengan filsafat komunikasi, aksiologi adalah studi mengenai etika dan estetika, sehingga dapat dikatakan bahwa aksiologi merupakan kajian tentang nilai manusiawi dan bagaimana merefleksikannya.Â
Asumsi-asumsi mendasar di dalam aspek filsafat komunikasi seperti ontologi, epistemologi, dan aksiologi dapat kita jadikan landasan dalam mengkaji fenomena-fenomena terkait dengan ilmu komunikasi. Pada makalah ini, penulis akan membahas mengenai pemberitaan media terhadap kasus kebohongan yang dilakukan oleh Dwi Hartanto. Seperti yang telah diketahui, Dwi Hartanto merupakan seorang pelajar asal Indonesia yang memperoleh beasiswa Depkominfo untuk melakukan studi doktoral di Belanda. Dwi memiliki segudang prestasi yang membanggakan, salah satunya yaitu keberhasilannya dalam meluncurkan Satellite LaunchÂ
Vehicle (SLV) pada Juni 2015, bahkan ia sempat dijuluki sebagai The next BJ Habibie. Pemberitaan mengenai sosok Dwi Hartanto sudah menyebar luas sejak tahun 2015. Dimulai dari situs detik.com tanggal 15 Juli 2015, dengan judul " Dari Belanda, Putra Indonesia Sukses Ciptakan Wahana Mutakhir." Artikel ini kemudian dilanjutkan dengan pemberitaan-pemberitaan tentang hal positif tentang dirinya seperti di tempo.co, okezone, republika.co.id dan media online lainnya. Bahkan, metro tv melalui tayangan mata najwa sempat membuat episode berisi wawancara khusus mengenai dirinya pada episode yang tayang pada tanggal 14 November 2016. Namun, pemberitaan mengejutkan dari Dwi Hartanto muncul belakangan ini. Ia menuliskan pembelaan mengenai dirinya dalam bentuk surat yang berisi klarifikasi yang ia muat di dalam ppidelft.net. Ia meminta maaf atas informasi yang tidak benar mengenai dirinya yang selama ini diberitakan di media. Ia mengeluarkan pernyataan dengan memberikan argumen bahwa media telah membesar-besarkan berita mengenai dirinya. Jika kita meninjau lebih dalam lagi mengenai kasus ini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya kasus mengenai pemberitaan yang salah atas Dwi ini merupakan bukti dari bagaimana media saat ini perlu dipertanyakan secara langsung, apakah sesungguhnya berita yang telah disampaikan melalui media telah memenuhi etika dari media itu sendiri.
Untuk memahami lebih lanjut lagi mengenai permasalahan ini, secara ontologis, kita bisa mempertanyakan bagaimana hakikat media itu sendiri bagi masyarakat, bahwa sesungguhnya media seharusnya dapat menyampaikan segala sesuatu sesuai dengan fakta yang ada, namun, dengan adanya kasus ini, hakikat fungsi media bagi masyarakat kembali dipertanyakan. Pemberitaan tanpa adanya verifikasi disini pada dasarnya telah menyalahi aturan yang sebenarnya. Etis atau tidaknya media disini dalam menyampaikan sebuah berita, kita bisa melihat bahwa adanya pergeseran nilai di dalam kasus ini, media seolah tidak berada pada koridornya sebagai penyampai informasi.
(Sumber: Mufid, M. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Prenadamedia)
- Pembahasan
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, etika merupakan aspek aksiologis yang akan dikaji dari aspek filsafat. Secara etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani, yakni "ethos" yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, perasaan, dan cara berpikir. Sedangkan dalam bentuk jamak, disebut ta etha atau adat kebiasaan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa etika membahas mengenai apa yang harus dilakukan dan kebiasaan. Etika seringkali disebut filsafat moral, sebab merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalm hubungan mereka dengan tujuan hidupnya. Etika memiliki tiga pengertian pokok, yakni ilmu tentang apa yang baik dan kewajiban moral, kumpulan nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan nilai mengenai benar dan salah. Komunikasi merupakan kegiatan yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Ilmu komunikasi itu sendiri merupakan ilmu yang berhubungan dengan aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Sebagai aspek tersebut, komunikasi sendiri tidak lepas dari bentuk penilaian, baik dari segi komunikator atau komunikan. Terkait dengan kasus yang akan dibahas, pada penulisan ini, pembahasan berfokus kepada bagaimana etika di dalam dunia pers.
Jika kita melihat kasus pemberitaan Dwi Hartanto ini, kita bisa menilai bahwa media di Indonesia sebenarnya mengalami pergeseran dari sisi nilai yang dimiliki oleh media sebagai bentuk komunikasi massa. Charles Wright (1986) mengemukakan beberapa fungsi dari komunikasi massa, salah satunya yakni sosialisasi, yakni media massa seharusnya dapat berfungsi sebagai pendidik,dimana pengetahuan, nilai dan norma yang sudah ada dari satu generasi ke generasi lain. Kemunculan sosok Dwi Hartanto di media sebenarnya merupakan bentuk usaha yang diberikan oleh media massa untuk meberikan semacam motivasi kepada generasi muda di Indonesia, dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia itu sendiri, akan tetapi sejak kemunculan pernyataan klarifikasi dari pihak Dwi Hartanto, media terkesan memberikan sebuah berita yang dipertanyakan keabsahannya.
Jika kita melihat kembali poin-poin di atas, kasus ini sebenarnya mempertanyakan kembali konsistensi media massa dalam menjalankan perannya sebagai penyalur yang menyampaikan berita yang sesuai dengan realita. Seorang jurnalis memang memiliki kebebasan dalam menyampaikan sebuah informasi, akan tetapi, kebebasan tersebut haruslah dibatasi dengan code of conduct yang dimiliki. Kasus ini sebenarnya memberikan kesan bahwa rendahnya verifikasi yang dilakukan. Bill Kovach dan Tom Rosentiel di dalam bukunya yang berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme menjelaskan bahwa verifikasi adalah sebuah elemen penting dalam
jurnalisme. Kovach dan Rosentiel (2006:102) menjelaskan mengenai bagaimana seharusnya jurnalis dalam mendekati sumber berita yang akan diberitakan. Pada dasarnya, pengecekan mengenai Dwi Hartanto ini bukanlah sulit untuk dilakukan karena sebenarnya fakta yang tidak sesuai tersebut merupakan hal-hal yang mencakup data pribadi dari Dwi Hartanto sendiri. Setelah munculnya klarifikasi atas kebohongan tersebut, berita yang dihasilkan seolah terkesan memiliki unsur kebenaran yang berspekulasi, dimana kebenaran kurang dipikirkan secara matang, dan dikerjakan dengan penuh resiko dan cenderung cepat. Pada dasarnya, kebenaran dalam berita merupakan aspek yang fundamental. Seperti yang telah dijelaskan bahwa sebenarnya di dalam dunia jurnalistik itu sendiri, terdapat stardar dalam melaporkan sebuah kebenaran dalam berita. Pasca klarifikasi yang dilakukan oleh Dwi Hartanto, media kemudian berlomba-lomba kembali untuk memojokkan sosok Dwi Hartanto, dengan memberikan judul berita yang tidak kalah sensasional. Media pun memberitakan Dwi Hartanto mengidap gangguan kejiawaan. Dari hal ini sebenarnya validitas dari berita pun dipertanyakan. Informasi yang diberitakan cenderung mengarah ke orientasi keuntungan, dimana khalayak lebih menyukai berita yang sensasional. Akan tetapi jika makna kebenarannya berdampak pada pergeseran nilai pada fungsi media itu sendiri, posisi tanggung jawab dari media perlu dipertanyakan.
Setelah memasuki era reformasi, media dijadikan sebagai salah satu pilar demokrasi. Kebebasan pers pun telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 pasal 2, yang menyatakan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, serta Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, bahwa kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara yang hakiki dan dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran, serta memajukan dan mencerdaskan bangsa[1]. Jika berlandaskan pada undang-undang ini, kita dapat berasumsi bahwa pers berperan sebagai perwakilan suara rakyat, oleh sebab itu pers diberikan kebebasan dalam melaksanakan amanat rakyat. Apabila kita mengacu pada undang-undang tersebut kita dapat mengasumsikan bahwa media seharusnya bisa memberikan berita yang dapat memberikan nilai moral pada masyarakat.