Jauh dari orang tua karena tinggal di kos saat kuliah memang telah melatih Cahaya untuk hidup mandiri. Tidak hanya itu, kepercayaan dan kebebasan yang diberikan oleh orang tuanya selama kuliah juga tetap dipegang teguh olehnya. Meski kuliah di kampus berlabel agama, nyatanya ada juga teman-temannya yang seakan melupakan aturan-aturan agama. Pergaulan yang bebas, narkoba bahkan hanya bersenang-senang berbelanja dan sebagainya sehingga lupa tujuannya untuk kuliah. Beberapa bahkan ada yang sibuk bekerja hingga akhirnya tak lulus kuliah.
        Sebagai anak desa yang jauh dari hingar bingar dunia dengan ibu yang sangat ketat mendidik anaknya, tak membuat Cahaya lepas kontrol meskipun jauh dari orang tua dan keluarga. Salat lima waktu, puasa, baca Quran, salat dhuha serta kegiatan ibadah sunnah lainnya tetap dilakukannya. Bahkan untuk hidup sehari-hari, Cahaya terbilang sangat hemat. Sebenarnya, bisa saja Cahaya membeli HP bagus, laptop, motor hingga belanja sesuka hati jika mau. Dalam tabungan pribadinya, terdapat uang hingga puluhan juta milik kakaknya yang tak pernah dikontrol. Gaya hidup hemat yang telah ditanamkan ibunya seakan telah mendarah daging dalam dirinya.
        Dalam satu bulan, Cahaya bahkan hanya meng-habiskan sekitar dua ratus hingga tiga ratus ribu untuk makan dan lain-lainnya. Hidup di Surabaya tahun 2001-2005 tentu bukan jumlah yang besar untuk biaya hidup seukuran anak kuliah. Memasak patungan dengan teman-teman se-kos. Jajan pun seperlunya. Bakso sebagai makan favoritnya pun dibeli dengan harga yang sangat murah. Bakso Surya langganannya selalu lewat sehabis Isya cukup dengan tiga ribu saja. Bahkan tak jarang, ia dan Diana, teman kosnya membeli roti BS atau sisa jualan pabrik roti di daerah Jemursari yang tidak laku tapi masih layak makan. Roti tawar atau kulit roti tawar dibelinya dengan setengah harga. Untuk cemilan saat santai di kos dengan teman-temannya.
        Sebenarnya, bisa saja Cahaya menggunakan uang yang ada di rekeningnya untuk berbelanja sesuka hati. Toh dengan mengatakan kepada kakaknya untuk keperluan kuliah ini itu, pasti kakaknya akan percaya dan menurut saja. Namun, didikan ibu sejak kecil seakan sudah tertanam dalam jiwa Cahaya. Ibu yang selalu menyuruhnya untuk mematikan kran air atau menggunakan listrik seperlunya. Ibu yang mengumpulkan air bekas cucian beras untuk masker atau menyiram tanaman yang ada di rumah. Ibu menyimpan segala macam sisa makanan dan minuman bekas tamu dikumpulkan untuk makan ternak-ternaknya.
        Sejak kecil Cahaya dan saudara-saudaranya memang hidup dalam keprihatinan. Jika banyak orang memandang mereka berasal dari keluarga berada, tak selamanya benar. Mungkin ia memang mempunyai rumah yang besar, punya sawah, motor banyak, makan enak. Tapi kenyataannya, ibunya selalu mendidik anak-anaknya untuk hidup seadanya. Uang jajan secukupnya, berangkat seolah dengan sepeda onthel turun temurun dari kakak-kakaknya. Hingga pernah Cahaya belum dapat mengambil rapotnya karena belum bayar uang sekolah.
        Kadang Cahaya juga merasa heran, ibunya terlahir dari keluarga berada, tapi mampu menjalankan hidup dengan sederhana. Ibu memang tak sampai lulus SD, namun mampu mendidik anak-anaknya dengan baik. Mengasuh delapan anak tentu hal yang tak mudah. Apalagi suaminya seakan jauh dari sosok ayah yang sejati. Setiap pagi, ibu Cahaya selalu memandikan anaknya dengan air hangat, menyisir rambut, memberi minyak rambut dan mengikat rambutnya satu-satu. Saat anak-anak remajanya yang mulai menstruasi, ibu membuatkan ramuan jamu kunyit asam untuk diminum semua keluarga.
        Ibunya juga selalu mendidik putra-putrinya untuk belajar atau mengaji sehabis salat Magrib hingga jam delapan malam. Waktu itu, belum ada program 18.21 seperti yang digaungkan beberapa pemerintah daerah agar orang tua mematikan TV dan HP saat jam 18 sore hingga pukul 21 malam. Namun, hal itu sudah diberlakukan ibu Cahaya di rumah. Mengirimkan fatihah kepada semua ahli kuburnya setiap sore dan fatihah untuk anak cucu dan menantunya hampir tiap malam. Membacakan fatihah dan do'a serta meniupkan di setiap kening anaknya ketika sedang tertidur pulas. Ibu seakan menjadi pondasi kuatnya dalam keluarga.
        Saat itu, Cahaya dan teman-temannya berencana mengunjungi dosen instensif bahasa Arab di kampus yang baru pulang ibadah haji. Jam empat sore, sepulang dari kegiatan pembelajaran intensif bahasa Arab, Cahaya dan lima temannya segera salat Ashar di masjid jami' di kampus. Lima belas menit kemudian, Cahaya dan kelima temannya menuju jalan raya untuk menunggu angkutan menuju rumah dosen. Tak sampai 10 menit, angkutan yang mereka tunggu datang juga. Segera Cahaya dan kelima temannya masuk ke dalam angkot yang hanya berisi 3 orang di belakang.
        Empat puluh menit kemudian, Cahaya dan kelima temannya sampai juga di tempat tujuan. Ahmad, seorang teman lelakinya langsung memencet bel untuk meng-hentikan laju angkot yang dari tadi berjalan.
"Kiri Pak," katanya sambil memencet bel yang ada di tengah angkot.
Seketika sopir berhenti. Cahaya dan kelima temnannya segera keluar angkot dan memberikan uang patungan pembayaran. Mereka berenam memang belum ada yang tahu rumah Ustaz Munir dosen insentif bahasa Arab. Namun, Ahmad sudah tahu perkiraan tempatnya. Dan benar saja, setelah turun dari angkot, Ahmad segera bertanya kepada seorang penjual bensin eceran di warung sebelah kiri jalan.
        "Maaf Pak, rumah ustadz Munir sebelah mana ya?" tanya Ahmad.
        "Ow, Abah Munir yang punya pondok karyawan?" jawab pedagang tersebut.
        "Iya," jawab Ahmad.
"Lurus saja, sekitar seratus meter ada gang belok kiri, berjalan sebentar nanti ada tulisan pondok masuk. Ya itu rumahnya," terang penjual bensin itu lagi.
        "Terima kasih Pak," ucap Ahmad dan teman-temannya.
        Setelah berjalan sesuai petunjuk tukang bensin tersebut, sampailah Cahaya dan kelima temannya di rumah dosen. Waktu itu azan Magrib sudah mulai terdengar. Segera mereka menuju rumah bercat putih dan merah agak kusam itu. Di dalam, sudah tampak tamu yang hendak pamit. Setelah  beberapa tamu keluar, Cahaya dan teman-temannya masuk dan bersalaman dengan sang dosen.
        "Kok tahu rumah saya?" tanya ustadz munir kepada mahasiswa-mahasiswanya.
        "Iya ustaz, tanya di jalan depan tadi," jawab Ahmad.
        "Alhamdulillah. Silakan diminum dulu, habis ini kita jama'ah di pondok sebelah," pinta ustad]z Munir kepada keenam mahasiswa-mahasiswinya.
        Saat salat Magrib, Cahaya dan teman-temannya baru tahu jika dosennya itu juga mempunyai pondok khusus untuk para pekerja. Rumahnya yang berada di kota besar dan dekat dengan pabrik, tidak membuat dosennya tesebut membuka tempat kos. Tapi lebih memilih menggunakan untuk pondok untuk karyawan. Disela-jam kerja, para karyawan melakukan salat jamaah dan ngaji kitab pada malam hari dan sesudah Subuh. Dilihat dari jumlahnya, mungkin memang tidak terlalu besar layaknya pondok-pondok lain yang mempunyai santri hingga ribuan. Dari kamar yang ada, mungkin sekitar 20 karyawan.
        Setelah salat maghrib, Cahaya dan keenam temannya segera kembali ke rumah dosen. Sudah tampak enam mangkuk bakso beserta minuman hangat disuguhkan di lantai dengan alas karpet khas. Segera, sang dosen menyuruh mereka berenam makan apa yang ada. Setelah menghabiskan semangkuk bakso yang ada di depannya masing-masing, Cahaya dan temannya juga diberi minum air zam-zam yang dihidangkan dalam gelas bening kecil. Sebelum pamit, Ahmad meminta doa kepada dosennya itu. Sang dosen mengeluarkan beberapa kertas kecil berwarna hijau dengan tasbih yang dibungkus dalam plastik tebal.
        "Ini amalan yang saya beri untuk kalian, sebisa mungkin kalian amalkan," pinta Pak  Dosen.
        "Iya Pak, terima kasih," jawab mereka kompak.
        Segera Ustaz Munir memimpin doa diamini para mahasiswi dan mahasiswanya. Tepat setelah berdoa, tampak banyak tamu bergerombol di luar rumah. Cahaya dan teman-temannya segera pamit.
        Sesampai di tempat kos, Cahaya yang menyeberang jalan layang dan berjalan kaki agak jauh dari jalan raya ke kosnya segera membuka hadiah dari dosennya. Tasbih dengan butiran hijau berjumlah tiga puluh tiga dengan kertas hijau bertuliskan wirid Al-Ghozali tertulis di atasnya. Wirid yang diawali dengan kiriman fatihah bagi pemberi ijazah itu berisi dzikir harian yang harus dibaca sebanyak seribu kali setiap hari.
"Jumat-ya Allah, Sabtu-laailahaillAllah, Minggu-ya hayyu ya qoyyum, Senin-la hawla walaquwwata illa billahil 'aliyil adhim, Selasa-Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala alihi sayyidina Muhammad, Rabu-astraghfirullohal adzim, Kamis-subhanAllahu adhimi wabihamdih. Imam AL-Ghozali rahimahullah berkata, aku memperoleh kebahagiaan dan keberkahan dengan mengamalakan segala wirid ini," ucap Cahaya membaca lirih kertas kecil yang ia bawa.
        Sejak saat itu, setiap kali berkunjung ke rumah dosen atau orang alim, ia selalu minta ijazah atau amalan untuk memperoleh kemudahan dalam hidupnya. Nyicil doa, itulah yang ada di hati Cahaya. Memohon kepada Allah terhadap apa yang diinginkan pada masa-masa sekarang dan akan datang dalam hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H