Mohon tunggu...
Anni Rosidah
Anni Rosidah Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku Arah Cahaya

Jaga Selalu cita-cita dan mimpimu. Jangan Pernah kau padamkan. Mesti setitik, cita-cita dan mimpi itu akan mencari jalannya

Selanjutnya

Tutup

Book

Arah Cahaya Part 7 (Siapa Bilang Cinta Itu Buta)

11 Agustus 2023   12:09 Diperbarui: 7 September 2023   16:29 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah Cahaya naik kelas tiga di Madrasah Aliyah (MA). Jurusan IPA yang dia ambil dengan 24 temannya sekelas memberikan suasana baru. Ada yang sudah pernah satu kelas, ada juga yang pertama kali sekelas. Harus adaptasi dan mengenal lagi. Bagi Cahaya tidaklah masalah, karena ia bisa berteman dengan siapa pun dan lama-kelamaan ia akan menemukan teman yang cocok dengan sendirinya.

                Risa adalah teman sebangkunya yang baru di jurusan IPA. Risa, gadis kecil bersuara lantang ini adalah anak yang ramai, ramah dan ceplas-ceplos apa adanya. Berbeda dengan Cahaya yang kalem, pendiam dan tidak banyak bicara. Meskipun berbeda karakter, namun Cahaya seakan sudah menemukan teman yang cocok di  awal masuk sekolah. Ia dan Risa ke sana kemari berdua dengan kompaknya.

                Muhamad Arya, atau yang biasa disapa Ary, adalah salah satu dari teman laki-laki sekelasnya. Ia adalah orang yang sejak awal menarik perhatian Cahaya. Begitu pun sebaliknya. Ary merupakan teman sekelas Cahaya yang baru di kelas tiga. Datang selalu terlambat dan pulang sebelum waktunya. Bisa dibilang, ia salah satu siswa yang kurang baik. Hampir setiap hari, ketika jam pelajaran dimulai, Ary yang bangkunya di belakang Cahaya, selalu memanggil nama Cahaya untuk meminjam bolpoin. Dan itu, hampir setiap hari. Itu sebabnya Cahaya selalu membawa bolpoin dan pensil serta penghapus lebih jika ada teman-temannya yang meminjam.

                Hari itu, jam pertama pelajaran, Ary selalu terlambat. Ketika ditanya Bu Guru kenapa terlambat, "Nunggu angkutannya lama, Bu," katanya selalu. Segera Bu Guru menyuruhnya masuk.

                "Aya, Cahaya," panggilnya lirih. Tanpa menoleh, Cahaya langsung memberikan bolpoin yang ia pegang." Karena beranggapan Ary hendak meminjam bolpoin seperti biasanya.

                "Aku tidak pinjam bolpoin, cuma mau ngasih permen," katanya sambil memberikan permen yang dibungkus warna biru dengan tulisan i love you.

                Meski suka, tapi ia tak ingin menunjukkannya. Baginya, Ary hanya penyemangat saat berada di sekolah. Tak ingin lebih jauh dari itu.

                Waktu itu, saat jam kosong, seperti biasa Cahaya dan teman sekelasnya sangat bahagia. Apalagi waktu itu pelajaran Bahasa Arab yang tidak disukai banyak anak karena takut pada guru yang mengajar. Cahaya dan teman-teman sekelasnya langsung saja berpindah tempat duduk mengobrol dengan teman yang lain dengan sesuka hati. Cahaya yang duduk di pojok belakang kelas sedang asyik ngobrol dengan tiga teman lainnya. Tiba-tiba Ary menghampirinya dan meminta Risa yang duduk di se-belahnya pindah dengan mengedipkan mata.

                "Aku ke sana dulu ya, Mbak," izin Risa kepada Cahaya.

Risa pun menggelengkan kepala dan mengernyitkan dahinya tanda tidak suka. Meski teman, tapi tidak tahu kenapa Risa selalu memanggil mbak kepada Cahaya. Meski keberatan, toh Risa tetap berdiri dan meninggalkan tempat duduk.

                Ary langsung duduk di sebelah Cahaya dengan senangnya langsung saja ikut nimbrung obrolan cewek-cewek teman sekelasnya. Ketika sedang asyik ngobrol, tiba-tiba, Cahaya merasakan ada yang sedang memegang jemari tangan kirinya dengan paksa. Dan itu adalah tangan Ary. Ia pun langsung berusaha melepaskan tangan tersebut. Karena tak ingin ketahuan kedua teman di depannya yang sedari tadi ngobrol dengannya, Cahaya mencoba melepaskan pegangan itu dengan pelan. Mengetahui Cahaya ingin melepaskan jemarinya, Ary malah semakin erat memegang dan meremas jari Cahaya. Akhirnya Cahaya hanya diam karena tidak ingin kedua temannya tahu kejadian tersebut.

                Setelah peristiwa tersebut, Ary semakin berani mendekati Cahaya. Ary yang biasanya datang terlambat ke sekolah dan kabur sebelum jam pulang sekolah berakhir seakan telah berubah. Kini ia datang dan pulang sekolah tepat waktu. Rajin dan giat belajar. Penampilannya juga lebih fresh dengan gaya rambut baru. Tak lagi gondrong dengan kunciran. Meski tidak ada kata jadian, mereka semakin dekat satu dan lainnya.

                Pagi itu, sebelum jam pelajaran dimulai, Ary membawa seikat bunga flamboyan warna merah dan putih dan memberikannya kepada Cahaya. Meski hanya bunga liar, tapi Cahaya sangat senang. Seperti biasa, Cahaya tidak menunjukkan rasa sukanya. Ia hanya meletakkan bunga itu di sampingnya tanpa memegang.

                Waktu demi waktu, ia lalui masa sekolah dengan suntikan semangat dari saudara dan  teman-temannya. Sebenarnya, jika mau Cahaya bisa saja berpacaran dengan Ary seperti teman-temannya yang lain yang sudah punya pacar atau bahkan sudah bertunangan. Tapi bagi Cahaya saat ini, pacaran bukanlah prioritasnya.

                Setelah hampir setahun memasuki kelas tiga Madrasah Aliyah, ujian nasional segera dimulai. Seperti biasanya, setiap akan ujian, sakit thypus yang diderita Cahaya kembali kambuh. Beban ujian dan hubungan orang tua yang tidak harmonis seakan menjadi masalah besar bagi Cahaya yang tak kunjung menemukan solusi. Akhirnya, ia pun melalui ujian nasional dalam keadaan sakit. Mengerjakan ujian sambil menyenderkan kepala di bangku dan tentu saja hasilnya tidak maksimal karena kondisi tubuhnya yang sangat lemah. Dari pada tidak ikut ujian, dan harus mengikuti ujian susulan, pikirnya.

                Setelah berbulan-bulan menjalani kisah tanpa kunjung mendapat jawaban tentang kepastian hu-bungannya, akhirnya hubungan Cahaya dan Ary mulai merenggang. Ary kembali pada kebiasaannya yang lama, datang ke sekolah terlambat dan pulang sekolah sebelum waktunya. Bahkan suatu hari, seminggu sebelum pe-ngumuman kelulusan. Ary tiba-tiba duduk di samping Cahaya tanpa bicara apa-apa. Cahaya mencium bau alkohol dari baju Ary. Hal itu tentu saja semakin menguatkan Cahaya untuk tidak berhubungan lebih jauh dengan teman sekelasnya itu. Bagi Cahaya, tipe laki-laki pilihannya adalah laki-laki yang lurus, tidak banyak tingkah, kalau bisa tidak pernah pacaran dan rajin beribadah. Sementara Ary, bukanlah tipenya meski sebenarnya ia sangat menyukainya.

                "Siapa bilang cinta itu buta. Cinta seharusnya mampu membawa kita pada hal yang lebih baik, bukan sebaliknya. Karena kalau tidak semua hanya akan berujung pada penyesalan belaka. Karena pelajaran hidup bisa diambil dari mana saja, tidak harus dari pengalaman diri sendiri. Tapi beribu kisah yang pernah ada. Entah itu dari film, sinetron bahkan keluarga, saudara, teman dan tetangga. Kali ini, aku ingin mengambil pelajaran dari hubungan bapak dan emiknya," gumamnya dalam hati.

                Mengetahui kondisi orang tuanya yang selalu bertengkar menjadi beban sendiri bagi Cahaya untuk memilih bagaimana nanti pendamping hidupnya. Baginya, yang terpenting sekarang adalah banyak berdoa agar bisa melanjutkan kuliah, bekerja dan nanti bertemu jodoh dengan orang yang baik, berbahagia selamanya. Mengetahui kepahitan rumah tangga orang tuanya, pelan-pelan mengubah pemikiran Cahaya menjadi lebih dewasa dari pemikiran gadis seusianya.

Saat banyak remaja memilih menjadi nakal, terjerumus dalam pergaulan bebas, narkoba atau kenakalan remaja lainnya untuk melarikan diri dari masalah, Cahaya justru berbeda. Ketimbang menambah masalah keluarga, ia ingin menjadi anak yang baik. Penurut, pendiam, tidak banyak mau agar mampu meringankan beban keluarga.

Nyicil doa jangka pendek untuk kesehatan dan kelancaran sekolah. Tak lupa juga doa cicilan jangka panjang untuk kuliah, pekerjaan dan harapan harmonisnya keluarganya nanti. Perlahan tapi pasti, Cahaya seakan menemukan kekuatannya. Ia yang selalu saja sakit saat mendengar orang tuanya bertengkar atau saat ujian, kini bisa bertahan dengan harapan dan nyicil doa untuk jangka panjang dan jangka pendek dalam kehidupannya.

Apalagi saat kuliah dan jauh dari rumah. Cahaya yang tak pernah lagi mendengar pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga yang diterima oleh ibunya, seakan menjadi obat mujarab akan kesehatan fisik dan mentalnya.

"Aku yakin, tak ada sesuatu sekecil apa pun di dunia ini yang diciptakan sia-sia. Semua pasti punya maksud dan tujuan. Hanya saja perlu waktu untuk bisa memahaminya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun