Mohon tunggu...
Anni Rosidah
Anni Rosidah Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku Arah Cahaya

Jaga Selalu cita-cita dan mimpimu. Jangan Pernah kau padamkan. Mesti setitik, cita-cita dan mimpi itu akan mencari jalannya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Arah Cahaya Part 3 (Hujan)

2 Agustus 2023   18:44 Diperbarui: 7 September 2023   15:43 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setiap pahit dan getirnya hidup, pasti ada bahagia yang tercipta. Meski setapak dari luasnya masalah yang ada. Karena manusia selalu saja kurang dalam banyak hal di hidupnya. Jika saja ia mampu melihat sekelilingnya yang lebih menderita, tentu tak perlu lara tak berkesudahan. Karena Yang Maha Kuasa telah berfirman bahwa selalu ada kemudahan dari setiap kesulitan. Jadi, bersabarlah.

Tak terkecuali dalam Rona Cahaya, dalam samudera duka, terdapat secercah bahagia yang ia rasa. Berasal dari dusun kecil, yang dikelilingi sawah bagian kiri kanan dan sungai besar tanpa tanggul pada sisi utara membuat tempat tinggal Cahaya selalu menjadi langganan banjir. Bisa dipastikan, jika hujan lebat turun dalam jangka waktu lama, tamu tak diundang itu akan menghampiri warga sekitar sungai.

Jika demikian, apakah mereka akan merasa susah payah. Ternyata tidak. Warga di dusun itu seakan sudah sangat terbiasa dengan musibah banjir yang selalu melanda. Dalam sekali musim hujan, banjir dengan kapasitas kecil, sedang dan besar bahkan bisa datang lima hingga enam kali. Rumah-rumah di dusun ini, hampir semua mempunyai pondasi yang tinggi. Aktivitas bekerja, di sawah dan lainnya pun tetap dilakukan seperti biasa dan tidak terjadi apa-apa.

Anak-anak tetap bersekolah dengan transportasi rakit besar dari batang pohon pisang yang disatukan dengan pohon bambu lancip sebagai tautannya. Siapa pun bisa menumpang tanpa membayar uang sebagai ongkos. Tak ada sedih atau pun duka, apalagi keluh kesah dari setiap warga. Mereka yang bekerja tetap bekerja seperti biasa, yang ke sawah tetap pergi ke sawah, karena sawah mereka berada di utara sungai yang ada tanggulnya.

Cahaya juga tak paham bagaimana dulu pemerintah membangunnya. Sungai besar, tapi dibangun tanggul hanya di salah satu sisinya saja. Waktu itu, seperti itulah yang Cahaya rasa. Mungkin karena masih kecil, kondisi banjir seakan menjadi waktu yang sangat Cahaya tunggu-tunggu agar bisa bermain air sepuasnya. Meski ia tidak bisa berenang. Hanya berendam dan bermain air dan rakit dari batang pohon sebagai rakitnya.

Siang itu, hujan lebat. Hujan yang turun dengan cepatnya tanpa didahului gerimis sebagai pertanda, seakan sudah tak sabar ingin mengguyur bumi untuk me-numbuhkan biji-biji yang ada. Menghijaukan pemandangan dengan daun-daun yang melambai dengan hijaunya. Menyirami tanaman-tanam kering yang dari kemarin meronta. Karena tak ada yang lebih ikhlas mengguyurnya. Tanpa hitung-hitungan berapa banyak air dan berapa listrik yang akan dibayarnya kecuali hujan yang tiada pelit membasahi tanpa pilih kasih dengan murahnya.

Momen hujan lebat yang turun siang hari menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh Cahaya dan saudara-saudaranya. Karena setiap hujan lebat turun, ibu Cahaya akan mengelurkan dan mencuci semua selimut tebal dan besar yang ada di rumah. Selimut-selimut itu adalah oleh-oleh dari kakaknya yang kerja di luar negeri sebagai pelaut. Hampir setiap pulang bekerja, yang katanya keliling dunia, kakaknya tak lupa membawa selimut dan baju serta jaket hangat yang sangat tebal yang selalu dicuci oleh ibunya setahun sekali menunggu musim hujan tiba.

Di halaman rumah yang luas dengan lantai ubin dan tiga pancuran air dari atap berbahan seng di teras rumah, seakan menjadi tempat yang ideal untuk mencuci selimut-selimut tebal itu. Tiga hingga empat bak yang ada di rumah, semua dipenuhi air dan sabun cuci. Jika air bercampur bak hampir setengah, segera ibu Cahaya menarik bak ke tepian teras agar tidak terlalu penuh, kemudian memasukkan selimut yang sudah dibasahi air hujan sambil meratakan dengan air dan sabun dalam bak yang ada.

Meski jumlah sabun yang dicampurkan sudah begitu banyaknya, namun busa seakan enggan muncul juga. Mungkin karena begitu kotornya sehingga air yang dari tadi berwarna putih berubah warna menjadi coklat kehitam-hitaman. Saat inilah yang ditunggu-tunggu Cahaya. Ibunya akan menyuruhnya masuk ke bak dan menginjak-injak selimut-selimut tadi dengan kedua kakinya.

"Gilaslah selimut-seimut ini dengan kaki hingga bersih. Jika perlu keluarkan dari baknya," suruh wanita setengah baya yang selalu menggunakan bawahan jarik itu.

Cahaya pun melakukan dengan bahagia. Baginya dan kakak-kakaknya yang waktu itu masih kecil, bermain air hujan dan busa menjadi permainan yang tak akan ada bosannya.

Hal yang sama dilakukan Cahaya dan saudara-saudaranya hingga bak keempat. Setelah itu, selimut dan baju-baju tebal itu akan dibilas di bawah pancuran teras rumah yang turun dengan begitu deras. Seperti mengetahui bahagia yang terpancar dari wajah Cahaya, hujan pun seakan enggan berhenti. Dan sekali lagi, ibu Cahaya mencampurkan sabun cuci dan setengah air di bak untuk kedua kalinya. Kali ini, busa yang muncul sangat banyak. Hal itu karena tingkat kotornya sudah berkurang. Ibu, Cahaya dan saudara-saudaranya sangat menikmati kegiatan rutin saat mencuci selimut ini.

Setelah puas bermain air dan busa, Cahaya dan saudaranya akan bermain prusutan di teras rumahnya. Membasahi teras yang berlantai keramik dengan air dari timba dan selanjutnya meluncurkan tubuh dengan begitu bahagia. Biasanya, Cahaya dan kakak-kakaknya bergantian saling mendorong tubuh dengan posisi duduk dipenuhi busa sabun. Karena teras rumah yang panjang dan luas membuat mereka leluasa bermain dengan riang.

Ketika Cahaya dan kakak-kakaknya bermain, biasanya Mardiyah yang menyelesaikan pekerjaan mencuci selimut selanjutnya. Bersama kakaknya tertua, ibu Cahaya membilas selimut-selimut itu dengan air hujan hingga berulang-ulang. Kemudian, selimut-selimut itu akan diperas, dipelintir hingga tidak ada air tersisa. Dan keesokan harinya, selimut-selimut itu baru akan dijemur hingga kering di samping rumah.

Hujan lebat yang turun pada siang hari di awal musim hujan menjadi waktu yang sangat Cahaya tunggu. Mungkin karena ibunya sering melarang  bermain hujan-hujan jika tidak ada perlu. Takut pilek, badan panas dan batuk yang selalu Cahaya dengar jika ia izin untuk main air hujan. Tak jarang, Cahaya dan kakak-kakaknya sering beralasan untuk mencuci handuk atau bahan tebal lainnya agar diperbolehkan bermain hujan.

Selain mencuci selimut dan bahan-bahan tebal ketika hujan lebat turun, ibu Cahaya juga sering me-ngelurkan perlengkapan rumah tangga yang kotor untuk dicuci. Panci dengan berbagai ukuran, Tampah dan banyak lagi perlengkapan rumah tangga tak luput dibersihkannya. Lebih sering menggunakan kayu bakar dari pada kompor minyak atau LPG, tentu saja membuat peralatan dapur lebih cepat kotor dan hitam sekali di bagian bawahnya. Jilatan api kayu bakar membuat pantat panci-panci itu begitu gelap bak malam apabila telah gelap gulita.

Merebus air untuk minum, memasak nasi, memasak sayur. Apalagi ketika memasak untuk mengurus orang yang bekerja di sawah yang begitu banyak. Biasanya, per-lengakapan dapur akan terpakai semua. Bagi Mardiyah, hujan lebat bisa membuatnya menghemat listrik karena tidak butuh pompa listrik untuk untuk menyedot air yang begitu banyak jumlahnya. Bekas air cucian piring yang bersih pun seperti sayang dibuang oleh ibu Cahaya. Biasanya, air sisa cucian beras akan dikumpulkan di timba untuk menyiram tumbuhan-tumbuhan di depan atau belakang rumah. Sisa teh, sirup atau minuman dan makanan yang tak habis pun dikumpulkan jadi satu kemudian dicampur bekatul untuk makan hewan peliharaan seperti ayam, bebek dan entok.

Dalam kamus ibu Cahaya, tidak ada istilah membuang air, makanan dan minuman sia-sia. Semua dimanfaatkannya. Kadang dalam hati Cahaya bertanya, dari mana ibunya memperoleh ilmu menghemat energi tersebut. Ibunya sekolah tingkat dasar saja tidak sampai lulus. Ia bahkan buta aksara latin. Ibunya hanya bisa membaca huruf arab. Jangankan menulis namanya, tanda tangan saja tidak bisa.

Cahaya dan saudaranya memang hidup agak dikekang oleh ibunya, pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, masak, mencuci dan membantu di sawah sudah sejak kecil dikenalkan ibu kepada semua anak-anaknya. Hidup di desa yang berada di tepi sungai besar sehingga banyak kegiatan mencari ikan, udang, kizing atau remis yang banyak dilakukan oleh teman-temannya, bahkan tak pernah dirasakan Cahaya. Ibunya selalu melarang anak-anaknya ikut mencari ikan jika ada ikan dan udang yang tiba-tiba mabuk setiap tahun. Ia hanya melihat dari atas sungai saja.

Sebenarnya ada keinginan yang kuat dalam diri Cahaya untuk bisa mencari ikan atau udang yang sedang mabuk di pinggir sungai saat sedang surut airnya. Tapi apalah daya ia terlalu takut melanggar larangan ibunya.

"Banyak hal lain yang bisa membuat kita bahagia disaat susah meski itu sifatnya hanya sementara. Setidaknya, sejenak kita bisa melupakan lara."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun