Hal yang sama dilakukan Cahaya dan saudara-saudaranya hingga bak keempat. Setelah itu, selimut dan baju-baju tebal itu akan dibilas di bawah pancuran teras rumah yang turun dengan begitu deras. Seperti mengetahui bahagia yang terpancar dari wajah Cahaya, hujan pun seakan enggan berhenti. Dan sekali lagi, ibu Cahaya mencampurkan sabun cuci dan setengah air di bak untuk kedua kalinya. Kali ini, busa yang muncul sangat banyak. Hal itu karena tingkat kotornya sudah berkurang. Ibu, Cahaya dan saudara-saudaranya sangat menikmati kegiatan rutin saat mencuci selimut ini.
Setelah puas bermain air dan busa, Cahaya dan saudaranya akan bermain prusutan di teras rumahnya. Membasahi teras yang berlantai keramik dengan air dari timba dan selanjutnya meluncurkan tubuh dengan begitu bahagia. Biasanya, Cahaya dan kakak-kakaknya bergantian saling mendorong tubuh dengan posisi duduk dipenuhi busa sabun. Karena teras rumah yang panjang dan luas membuat mereka leluasa bermain dengan riang.
Ketika Cahaya dan kakak-kakaknya bermain, biasanya Mardiyah yang menyelesaikan pekerjaan mencuci selimut selanjutnya. Bersama kakaknya tertua, ibu Cahaya membilas selimut-selimut itu dengan air hujan hingga berulang-ulang. Kemudian, selimut-selimut itu akan diperas, dipelintir hingga tidak ada air tersisa. Dan keesokan harinya, selimut-selimut itu baru akan dijemur hingga kering di samping rumah.
Hujan lebat yang turun pada siang hari di awal musim hujan menjadi waktu yang sangat Cahaya tunggu. Mungkin karena ibunya sering melarang  bermain hujan-hujan jika tidak ada perlu. Takut pilek, badan panas dan batuk yang selalu Cahaya dengar jika ia izin untuk main air hujan. Tak jarang, Cahaya dan kakak-kakaknya sering beralasan untuk mencuci handuk atau bahan tebal lainnya agar diperbolehkan bermain hujan.
Selain mencuci selimut dan bahan-bahan tebal ketika hujan lebat turun, ibu Cahaya juga sering me-ngelurkan perlengkapan rumah tangga yang kotor untuk dicuci. Panci dengan berbagai ukuran, Tampah dan banyak lagi perlengkapan rumah tangga tak luput dibersihkannya. Lebih sering menggunakan kayu bakar dari pada kompor minyak atau LPG, tentu saja membuat peralatan dapur lebih cepat kotor dan hitam sekali di bagian bawahnya. Jilatan api kayu bakar membuat pantat panci-panci itu begitu gelap bak malam apabila telah gelap gulita.
Merebus air untuk minum, memasak nasi, memasak sayur. Apalagi ketika memasak untuk mengurus orang yang bekerja di sawah yang begitu banyak. Biasanya, per-lengakapan dapur akan terpakai semua. Bagi Mardiyah, hujan lebat bisa membuatnya menghemat listrik karena tidak butuh pompa listrik untuk untuk menyedot air yang begitu banyak jumlahnya. Bekas air cucian piring yang bersih pun seperti sayang dibuang oleh ibu Cahaya. Biasanya, air sisa cucian beras akan dikumpulkan di timba untuk menyiram tumbuhan-tumbuhan di depan atau belakang rumah. Sisa teh, sirup atau minuman dan makanan yang tak habis pun dikumpulkan jadi satu kemudian dicampur bekatul untuk makan hewan peliharaan seperti ayam, bebek dan entok.
Dalam kamus ibu Cahaya, tidak ada istilah membuang air, makanan dan minuman sia-sia. Semua dimanfaatkannya. Kadang dalam hati Cahaya bertanya, dari mana ibunya memperoleh ilmu menghemat energi tersebut. Ibunya sekolah tingkat dasar saja tidak sampai lulus. Ia bahkan buta aksara latin. Ibunya hanya bisa membaca huruf arab. Jangankan menulis namanya, tanda tangan saja tidak bisa.
Cahaya dan saudaranya memang hidup agak dikekang oleh ibunya, pekerjaan rumah tangga seperti menyapu, masak, mencuci dan membantu di sawah sudah sejak kecil dikenalkan ibu kepada semua anak-anaknya. Hidup di desa yang berada di tepi sungai besar sehingga banyak kegiatan mencari ikan, udang, kizing atau remis yang banyak dilakukan oleh teman-temannya, bahkan tak pernah dirasakan Cahaya. Ibunya selalu melarang anak-anaknya ikut mencari ikan jika ada ikan dan udang yang tiba-tiba mabuk setiap tahun. Ia hanya melihat dari atas sungai saja.
Sebenarnya ada keinginan yang kuat dalam diri Cahaya untuk bisa mencari ikan atau udang yang sedang mabuk di pinggir sungai saat sedang surut airnya. Tapi apalah daya ia terlalu takut melanggar larangan ibunya.
"Banyak hal lain yang bisa membuat kita bahagia disaat susah meski itu sifatnya hanya sementara. Setidaknya, sejenak kita bisa melupakan lara."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H