Mohon tunggu...
Anni Rosidah
Anni Rosidah Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku Arah Cahaya

Jaga Selalu cita-cita dan mimpimu. Jangan Pernah kau padamkan. Mesti setitik, cita-cita dan mimpi itu akan mencari jalannya

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Arah Cahaya Part 2 (Sakit, Antara Minda dan Salira)

1 Agustus 2023   13:07 Diperbarui: 7 September 2023   16:37 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu berjalan pelan seakan enggan bangkit dari buaian. Sedih dan duka menghampiri me-nambah syahdu sedan keheningan. Berjuta rona kehidupan perlahan tapi pasti menghampiri segala perubahan. Laksana air mengalir dari atas ketinggian, menuju celah tanpa bisa dikendalikan. Itulah kehidupan. Setiap pergantian detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun mampu menghadirkan berjuta pengharapan. Harapan akan indah dan berwarnanya masa depan.

Tak kercuali bagi insan lemah yang selalu haus buaian dan kasih sayang. Kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua bagi anak-anak manusia. Tapi apalah daya, Rona kehidupan yang berlapis banyaknya menawarkan berjuta keadaan. Tak semua sempurna, tak semua sesuai dengan mau kita. Perlu usaha dan do'a agar indah rona mengampiri setiap lika-liku hidup kita. Itu juga yang dihadapi Cahaya Insani, seorang gadis desa yang lugu dan pendiam yang tak kuasa menahan lara. Lara karena masalah dalam keluarga. Sakit yang dialaminya, antara minda dan salira.

Hari ini, entah sudah berapa kali Cahaya sakit. Sejak duduk di bangku SLTP, setiap kali menghadapi ujian atau ada masalah di rumah yang menyangkut orang tuanya, sudah bisa dipastikan Cahaya akan mengalami sakit berhari-hari hingga berminggu-minggu lamanya. Begitu pun ketika menginjak bangku Madrasah Aliyah (setara SLTA), setiap ujian atau ada masalah, ia selalu saja sakit. Sakit yang belakangan didiagnosa dokter sebagai penyakit Typhus kronis, namun tidak mengharuskan Cahaya untuk opname di rumah sakit. Apalagi, Cahaya termasuk anak yang sangat susah minum obat. Entah ini obat yang ke berapa kali ia buang saat ibunya menyuruh minum obat agar cepat sembuh.

Meski udara begitu panas yang seakan mampu mengeringkan tumpukan pakaian, namun tidak yang dirasakan Cahaya. Ia merasa kedinginan di tengah panasnya puncak musim kemarau. Suhu tubuh yang sangat tinggi, menggigil kedinginan selalu dirasakan saat sakitnya kambuh.

"Ayo minumlah obat ini, supaya cepat sembuh," pinta Mardiyah, ibu Cahaya sambil menyodorkan enam macam obat dengan berbagai ukuran yang sudah dikeluarkan dari bungkusnya beserta sebuah pisang dan segelas air juga segelas besar susu putih hangat.

"Nanti habiskan susunya ya, Nduk. Kamu kan tidak mau makan sama sekali," ucap Mardiyah dengan sabar.

Cahaya hanya mengangguk sambil bangun dari tidurnya perlahan. Kali ini Cahaya tidak bisa menolak. Segera ia minum obat yang diberikan ibunya meski dengan usaha ekstra agar obat itu bisa masuk ke tubuhnya tanpa muntah. Setelah beberapa menit minum obat, tampak keringat dingin bercucuran dari keningnya, segera dibuka selimut cokelat tebal yang sedari kemarin malam tidak pernah dilepasnya.

Hal seperti itu terjadi hingga berulang-ulang. Setelah minum obat, suhu tubuhnya akan berangsur dingin, dan delapan jam kemudian akan panas lagi hingga obat dari dokter habis tapi belum juga membaik kondisinya.

                "Ayo, kita periksa ke dokter lagi, obatmu sudah habis," pinta Mardiyah sambil membawakan jaket tebal bersiap-siap berangkat.

                "Aku diantar bapak saja, Mik," pinta Cahaya kepada ibunya.

                Emik adalah pangilan kepada ibunya yang waktu kecil terasa galak, tapi ketika anak-anaknya remaja, serasa menjadi teman yang begitu sabar.

Memang, setiap kali berobat, Yasif, kakak laki-laki Cahaya dan ibunya yang mengantar. Entah kenapa, kali ini Cahaya minta diantar bapaknya.

"Ya sudah, ayo!" jawab Abdul, ayah Cahaya yang saat itu sedang santai di rumah.

Segera Abdul mengambil motor GL hitam merah yang masih terparkir di teras rumah. Sore itu, sekitar jam empat Cahaya berobat ke dokter langganannya yang berjarak sekitar 5 kilometer dari rumah. Sesampainya di tempat praktek dokter, tampak tiga pasien laki-laki usia dewasa dan seorang ibu sambil menggendong anak perempuan sedang menunggu antrean.

                Segera Cahaya duduk di tempat duduk pasien disusul bapaknya yang mengambilkan nomer antrean. Setelah menunggu hampir 30 menit, giliran Cahaya masuk ke ruang praktek dokter. Sambil menahan demam dan menggigil kedinginan, ia langsung tidur di tempat periksa. Dokter memeriksa mata dan mulutnya.

                "Sudah berapa hari sakitnya?" tanya dokter sambil mengambil stetoskop yang sedari tadi digantungkan di lehernya dan membuka kancing baju bagian atas Cahaya untuk memeriksa bagian dada dan perut dengan lembut.

                "Diare?" tanya dokter lagi.

                "Iya Dok," jawab Cahaya lemah.

                "Bisa jadi karena kebanyakan pikiran ini," ungkap dokter.

                "Pikiran apa Dok?" timpal Abdul, bapak Cahaya.

                "Ya ditanyakan saja kepada anaknya," sahut dokter lagi.

                "Diminum obatnya, makan yang halus-halus. Jangan makan nasi atau yang pedas-pedas. Makan bubur atau lontong saja dulu. Jangan banyak pikiran juga."

                "Iya Dok, terima kasih," jawab Cahaya tak bersemangat.

                Dalam hati, Cahaya sangat bersyukur kali ini bisa berobat dengan bapaknya. Apalagi dokter juga mem-beritahu jika sakitnya bisa saja karena banyak pikiran. Ia ingin bapaknya yang sok sibuk dan jarang memerhatikan keluarga itu tahu dan bisa berubah. Tidak bertengkar dengan ibunya yang sering berujung kekerasan dalam rumah tangga.

                Abdul, bapak Cahaya, dulu sebelum menjadi Kepala Dusun adalah seorang ayah yang baik dan sangat menyayangi keluarga. Cahaya bahkan ingat betul, dulu waktu kecil ketika malam-malam terbangun karena kebelet pipis atau buang air besar, ia lebih memilih membangunkan dan diantar bapaknya ke kamar mandi dari pada ibunya.

Ke mana-mana Cahaya selalu diajak. Membeli ke-perluan menanam di sawah, ke rumah teman-teman kelompok tani, hingga makan ke warung-warung langganan. Tapi keadaan itu berubah saat ayahnya sudah bertahun menjadi kepala dusun. Ayahnya menjadi sangat sibuk dan jarang di rumah. Tak lagi hangat dan peduli dengan keluarga. Tak hanya itu, Mardiyah yang seorang ibu rumah tangga dan petani yang sangat ulet bahkan hampir seringkali melakukan dan mengatur pekerjaan di sawah seorang diri. Karena suaminya yang sangat sibuk dan hampir tidak pernah lagi fokus mengurus keluarga. Layaknya kacang yang lupa kulit, induk yang lupa anak, dan burung yang lupa kandangnya.

                Bahkan belakangan tersiar kabar kalau Abdul, mempunyai hubungan dengan wanita lain, mantan pacarnya dulu. Mungkin karena itulah, sekarang bapak Cahaya seakan tidak mau tahu urusan keluarga, sibuk dengan kepentingannya sendiri. Tidak hanya itu, lelaki setengah baya itu juga bahkan mempunyai banyak hutang di bank. Jika waktu jatuh tempo hutang belum dilunasi, tak jarang ayahnya menjual semua hasil panen jerih payah ibu dan menggadaikan BPKB motor yang dipunya.

                Jika sang ibu bertanya, tak ayal akan terjadi pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga. Itulah yang menjadi salah satu penyebab sakit yang selalu diderita Cahaya. Selalu memikirkan pertengkaran orang tuanya yang tak kunjung usai, sementara ia dan saudara-saudaranya tidak bisa berbuat apa-apa. 

                Hari demi hari dilalui Cahaya dalam sakitnya yang tak kunjung sembuh. Sebenarnya, ia sangat ingin bisa seperti kakak-kakak dan adiknya yang tidak pernah menjadikan beban masalah pertengkaran orang tuanya. Tapi tentu, hati dan pikiran orang tidak bisa sama, meskipun itu saudara sekandung. Kakak dan adiknya yang kebal dengan berbagai konflik keluarga yang terjadi di rumah mereka. Sementara Cahaya, selalu saja menganggap masalah orang tuanya sebagai beban terberat yang harus ditanggungnya.

Suatu malam, tubuh Cahaya kembali merasakan demam tinggi dan menggigil. Sang ibu yang merawat bahkan sampai kehilangan akal. Diambilnya segelas besar air putih dengan dibacakan segala do'a. Setelah itu, sang ibu membaluri wajah dan kaki Cahaya dengan air putih yang sudah dibacakan doa dan memberikan sisanya untuk diminum Cahaya. Anehnya, setelah itu, Cahaya dapat tidur dengan nyenyak dan sembuh keesokan harinya.

                Berhari-hari absen sekolah, Cahaya kembali masuk sekolah setelah sembuh. Dengan diantar kakak laki-lakinya, Cahaya berangkat ke sekolah. Cahaya memang termasuk anak yang pintar dan rajin, meskipun seminggu tidak masuk sekolah, ia bisa mengejar ketertinggalan pelajaran. Di kelas, meskipun ia sering sakit dan jarang masuk, tetapi selalu memperoleh peringkat tiga besar.

                Kehidupan remaja yang penuh bahagia dan tawa dengan teman maupun pasangan cinta monyet ala remaja tak mampu ia rasakan. Keadaan orang tua yang tidak harmonis membuat Cahaya tidak begitu tertarik dengan pacaran. Ia bahkan sangat geli dan merasa aneh jika didekati kakak kelas atau temannya yang tertarik dengannya.

Waktu itu, setelah salat Dhuha di sekolah, seorang pemuda kakak kelasnya datang meminta salaman dan langsung mencium tangannya. Sontak ia melepaskan tangannya dan pergi dengan cuek. Kakak kelasnya itu memang seringkali mencari perhatian dan menggoda Cahaya. Namun Cahaya cuek dan tidak tertarik untuk pacaran. Dia bahkan sangat heran melihat teman-teman sekolahnya yang sangat patuh dan taat kepada pacarnya.

                "Aku gak boleh sama pacarku," kata Mita, teman sekelas Cahaya dalam obrolan santai di kelas saat istirahat.

                "Ya Allah, sama pacar saja kok patuh banget, padahal kalau dikasih tahu orang tua belum tentu sepatuh itu," batin Cahaya.

                Ketika anak-anak, mereka lebih percaya pada guru dari pada kepada orang tuanya, ketika remaja, mereka lebih nurut sama pacar dari pada orang tuanya. Bahkan tak jarang selalu mengiyakan apa pun yang diminta oleh orang yang dicintainya namun selalu menolak jika diperintah ibunya.

 

"Bisa jadi sakit fisik yang sedang kau alami adalah bentuk protes tubuhmu atas beban pikiran yang melampaui batas. Kalau sudah demikian, tentu bukan perawatan dan obat medis dengan biaya tak murah yang mampu menyembuhkan. Tapi lingkungan yang sehat dan penuh kebahagiaan adalah solusinya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun