PENDAHULUAN
Laut Cina Selatan merupakan istilah yang digunakan untuk laut semi tertutup yang berbatasan langsung dengan Vietnam (sisi barat), Filipina, Malaysia, dan Brunei (sisi timur), Indonesia dan Malaysia (sisi selatan), serta oleh Cina dan Taiwan (sisi utara). Luas laut ini sekitar 550-650 mil laut (lebar), dan 1200 mil laut (panjang). Meskipun namanya adalah Laut Cina Selatan, bukan berarti kawasan tersebut milik Cina. Penamaan tersebut hanya untuk memudahkan penyebutan kawasan perairan di sebelah selatan Cina.Â
Kawasan ini merupakan jalur pelayaran strategis. Sekitar 14 juta barel minyak mentah melewati Laut Cina Selatan dan Teluk Thailand setiap hari, hampir sepertiga dari pengiriman minyak global berdasarkan Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (USEIA).
Laut Cina Selatan memiliki Sumber Daya Alam dan potensi ekonomi yang berlimpah. Sumber Daya Alam yang sangat potensial adalah cadangan gas alam. Hal ini diperkuat oleh eksplorasi dari Filipina sejak 1970, dan baru ditemukan tahun 1976. Amerika Serikat juga memperkirakan terdapat sekitar 11 miliar barel minyak, 190 triliun kaki kubik dari 4.444 cadangan gas alam di sana.
Perusahaan Minyak Nasional Cina (CNOOC) memperkirakan daerah tersebut menyimpan sekitar 125 miliar barel minyak dan 500 triliun kaki kubik gas alam. Meskipun begitu, jumlah pastinya belum dikonfirmasi. Cadangan minyak dan gas yang diperkirakan oleh pejabat Amerika Serikat setara dengan cadangan minyak di Meksiko, dan mungkin merupakan cadangan minyak kedua terbesar setelah Arab Saudi. Laut ini merupakan salah satu laut yang paling penting secara strategis dan paling diperebutkan di abad ke-21.
Namun, sebenarnya bagaimana awal mula adanya ancaman di Laut Cina Selatan dan sangat mempengaruhi kedaulatan beberapa negara di Asia Tenggara? Serta bagaimana perkembangan kondisi terkini kawasan Laut Cina Selatan? Bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk mempertahankan kedaulatannya di Laut Natuna Utara?
AWAL MULA ANCAMANÂ
Partai Komunis yang mengambil alih kekuasaan di Cina pada tahun 1949 membuat sembilan garis putus-putus (nine dash line) di seputar Kawasan Laut Cina Selatan pada peta resminya tahun 1953. Nine dash line tersebut meliputi wilayah-wilayah yang disengketakan dengan negara lain. Wilayah tersebut seperti Kepulauan Spratly dan Paracel yang disengketakan dengan Vietnam, serta Scarborough Reef yang disengketakan dengan Filipina. Sengketa kemudian terus berlanjut antara Republik Rakyat Cina dan beberapa negara anggota ASEAN. Persengketaan ini terjadi karena klaim tersebut tumpang tindih dengan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara anggota ASEAN.Â
Filipina pada tahun 1994 mengajukan tuntutan ke Pengadilan Arbitrase di bawah Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang kemudian diratifikasi oleh 60 negara. Untuk mendapatkan pengakuan bahwa Laut Cina Selatan merupakan bagian dari teritorialnya, pada tahun 2009 Republik Rakyat Cina mengajukan peta dengan nine-dash line kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pengajuan ini ditentang oleh Vietnam dan Malaysia.Â
Ketegangan terus berlanjut dengan beberapa gesekan serius, seperti saling cegat kapal Angkatan Laut masing-masing negara. Pada tahun 2013, Filipina membawa sengketa dengan Republik Rakyat Cina tersebut ke Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag, Belanda. Pengadilan memutuskan bahwa klaim nine-dash line Cina tidak berdasar dan tidak sesuai dengan hak berdaulat ZEE yang didasarkan pada Konvensi Hukum Laut Internasional/UNCLOS (the United Nations Convention of the Law of the Sea).
Indonesia tidak terlibat langsung dalam sengketa kepulauan Spratly dan Paracel. Indonesia memiliki konflik dengan Cina pada tahun 2016 ketika kapal pengawas perikanan Indonesia dikawal kapal patroli Cina saat menangkap kapal pencuri ikan. Indonesia merespon dengan memperbarui peta negara dan menegaskan kedaulatannya di Laut Natuna Utara. Posisi Indonesia diperkuat oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, sedangkan Cina berlandaskan pada sembilan garis putus-putus yang ditolak.