Semua permasalahan dan konflik yang terjadi di wilayah Timur Tengah memang tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Perang Dunia I yang terjadi sekitar kurang lebih satu abad silam. Adanya perang ini tentu saja telah melahirkan berbagai krisis dalam hubungan internasional. Perang Dunia I juga yang kemudian membukakan jalan dalam pembentukan negara-negara baru di Timur Tengah. Terbentuknya negara-negara baru ini, tentu tidak terlepas dari adanya campur tangan Barat.
Pada satu abad silam, wilayah tersebut masih dalam lingkup satu kesatuan di bawah imperium kekhalifahan Ottoman. Tetapi, sejak terjadinya berbagai peristiwa global di sepanjang awal abad ke-20, telah banyak mengubah kawasan ini. Tentu, Negara Inggris dan Prancislah yang memiliki peran penting atas campur tangannya terhadap wilayah Timur Tengah.
Kedatangan Negara Barat ke berbagai wilayah dunia Islam ini disebabkan oleh tidak adanya kesatuan dari para penguasa lokal Muslim. Saat itu, masa kekhalifahan Ottoman sedang lumpuh. Di sisi lain pun, perkembangan Eropa di berbagai bidang, seperti teknologi, militer, dan ilmu pengetahuan tengah memasuki era kejayaannya.
Seiring dengan melemahnya kekhalifahan Ottoman tersebut, aktivitas Barat di beberapa wilayah Timur Tengah, seperti Palestina, Lebanon, dan Suriah semakin menonjolkan diri pada pertengahan abad ke-19. Sehingga, saat itu, Inggris dan Prancis berhasil mengambil simpati para penguasa Arab dengan menjanjikan sebuah negara Arab yang merdeka, serta dapat terlepas dari kekuasaan Ottoman.
Adanya harapan para penguasa Arab untuk dapat melepaskan diri dari kekuasaan Turki Utsmani inilah, yang justru mengakibatkan adanya campur tangan Barat di kawasan Timur Tengah. Saat itu, Turki Utsmani bersekutu dengan Jerman dan Austria-Hungaria mengalami kekalahan. Sehingga, banyak wilayah Turki Utsmani yang memang jatuh ke tangan tentara sekutu.
Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Inggris dan Prancis, untuk dapat menguasai kawasan Timur Tengah. Sehingga, memunculkan banyak negara baru dan menyebabkan perpecahan di negara-negara Timur Tengah tersebut. Bahkan, adanya perpecahan itu juga yang mengakibatkan terjadinya perang saudara antar negara.
Mandat Inggris dan Prancis telah menjalin sebuah kesepakatan, untuk berbagai pengaruhnya di wilayah Timur Tengah. Kesepakatan ini yang dikenal dengan Perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916. Perjanjian ini bertujuan untuk membahas soal pembagian wilayah Timur Tengah, yang sebelumnya memang dikuasai oleh kekhalifahan Ottoman.
Mandat Inggris yang semakin kejam ini telah melakukan suatu deklarasi pada bulan November tahun 1917 yang dikenal dengan Deklarasi Balfour. Deklarasi ini menjanjikan adanya tanah air bagi orang-orang Yahudi di Palestina, serta doktrin-doktrin untuk membentuk sebuah negara di Palestina. Tentu, konflik inilah yang menjadi akar masalah di wilayah Timur Tengah hingga saat ini.
Konflik Abadi Arab-Israel
Konflik berkepanjangan yang terjadi antara Arab dan Israel memang tidak mudah untuk dicarikan pembandingnya. Karena, kualitas konflik ini disebabkan oleh adanya kompleksitas persoalan, banyaknya kepentingan, serta banyaknya aktor yang bermain di dalamnya. Hal ini juga yang menyebabkan kuantitas terjadinya peperangan menjadi sangat tinggi, karena situasi konfliktual tetap bertahan dalam waktu yang panjang dan tidak menemukan titik terang penyelesaian.
Konflik ini terjadi sangat panjang dan mendalam. Hal ini terjadi karena tidak hanya mencakup kepentingan politik, keamanan, pertahanan, ekonomi, dan sosial saja. Tetapi, juga mencakup dimensi yang sangat mendasar, seperti ideologi, gengsi, sebuah keyakinan yang dianggap absolut, serta adanya sentimen kebangsaan yang memang akan sangat sulit dipersatukan dalam satu pikiran yang sama.
Pun hal lain yang menjadi faktor terjadinya konflik ini juga, yaitu pertama, walaupun Israel berada di tengah-tengah wilayah Arab, tetapi memiliki perbedaan yang sangat tajam terkait agama, cara pandang terhadap dunia, serta kultur yang diterapkan. Kedua, konflik ini memang terlanjur berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Sehingga, membangun sebuah stigma dan prejudice bahwa pihak Israel adalah korban.
Sehingga, mereka menganggap bahwa semua penderitaan merupakan akibat yang dihasilkan dari berbagai kejahatan yang melekat. Ketiga, kurang adanya perhatian masyarakat internasional dan tidak tegasnya Amerika Serikat untuk memberhentikan perang terbuka yang tidak berimbang tersebut. Keempat, Israel telah menolak usulan kehadiran pasukan internasional di wilayah perbatasan Utara negara tersebut, sehingga tidak ada lagi kekuatan nyata yang memang dapat mencegah eskalasi peperangan (Ibnu Burdah, 2008).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H