Pada pertengahan Mei 2020, terdapat kasus baru mengenai revenge porn yang dialami oleh seorang siswi SMA. Kasus ini menjadi viral setelah korban menceritakan pengalamannya melalui Twitter. Mantan pacar siswi SMA ini, yang disebut R menyebarkan videonya setelah mengancam dan korban mengakhiri hubungan.Â
Sejauh ini masih belum banyak pemberitaan mengenai tindak lanjut kasus ini. Namun informasi terkini dari korban menyatakan bahwa korban telah melaporkan pelaku kepada Komnas Perempuan (id.quora.com).
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di era ini membuat kejahatan seksual makin beragam. Salah satunya adalah dengan menyebarkan video atau foto bermuatan seksual yang aslinya ketika dibuat ditujukan untuk konsumsi pribadi.Â
Motifnya bisa bermacam-macam namun yang paling sering terjadi adalah sakit hati atau balas dendam. Kekerasan seksual dengan melakukan penyebaran foto/video itu sendiri sudah cukup buruk untuk dialami korban. Belum lagi jika ditambah dengan pemberitaan di media yang menampilkan bocornya video privat ke kanal publik secara dangkal dan cenderung memiliki sudut pandang untuk menyalahkan korban yang biasanya adalah perempuan.
Pers memiliki peran yang kuat dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai isu-isu yang sensitif seputar kekerasan seksual. Persepsi ini dibangun dengan judul yang dipilih, konten didalam berita itu sendiri, sudut pandang, hingga ilustrasi yang digunakan.Â
Hal yang sangat disayangkan adalah masih saja ada media yang menggunakan sudut pandang yang berorientasi pada sensasi, terlalu berfokus pada korban seakan-akan korban adalah sumber utama kasus kekerasan bisa terjadi, memojokkan korban dan tidak memberikan konklusi bagi pelaku.Â
Judul yang dibuat dikemas dengan sangat seksi dan dapat memantik pembacanya untuk berfantasi seksual yang sebenarnya bukan tujuan utama dari berita kekerasan seksual.Â
Tujuan pemberitaan kekerasan seksual seharusnya adalah membuka mata masyarakat dan menyadarkan publik bahwa kekerasan seksual khususnya dengan menyebarkan video/foto yang kerap kali dilakukan oleh kekasih atau mantan kekasih korban adalah perbuatan yang tidak bermoral, pelaku harus diproses secra hukum, dan kita harus merangkul korban.
Masyarakat masih belum memahami betapa berbahayanya kejahatan dengan menyebarkan video/foto seksual pribadi karena yang tersebar adalah video atau foto dari korban yang ketika dibuat terkadang dilakukan dengan sukarela.Â
Hal ini semakin dikuatkan dengan beragam berita yang dapat dengan mudah ditemui di media. Salah satu contohnya dalah sebuah berita berjudul "Viral, Video 'Anu-Anuan' Siswi SMA Makassar Disebar Mantan Pacar" yang diterbitkan di Cektkp.id pada yanggal 13 Januari 2018.Â
Judul ini sangat mempermainkan persepsi dari pembacanya. Dibumbui dengan kata-kata bombastis 'viral' dan tidak lugas seperti 'anu-anuan', judul ini juga seakan memberitahu pembaca bahwa Siswi SMA Makassar ini bukan perempuan baik-baik hingga videonya bisa disebar oleh mantan pacarnya, alih-alih pelaku merupakan orang yang tidak berakhlak dengan menyebarkan video sebagai pembalasan dendam. Lain halnya dengan berita berjudul "Video Panas Siswi SMK Viral di WA Group Ini Faktanya" yang dipublikasikan oleh Beritamerdekaonline.com pada 14 Juni 2019 dan "Viral! Video Siswi SMK di Sulut Digerayangi Tubuhnya, 6 Pelajar Diamankan" yang dipublikasikan oleh Infoasatu.com pada 10 Maret 2020 yang lalu.Â
Pasalnya kedua berita ini menggunakan ilustrasi footage asli dari video yang dimaksud dalam beritanya. Belum lagi media-media yang dianggap 'kredibel' juga menggunakan judul yang seksi seperti Detik.com yang menulis judul berita "Mahasiswa di Balik Viral Video 3 Siswi SMA Live IG Buka Bra" yang dipublikasikan tanggal 13 Mei 2020 atau Kumparan.com dengan "Viral Video Siswi SMA Dilecehkan, Payudaranya Diremas oleh Teman Sekolahnya" yang dipublikasikan pada 9 Maret 2020. Kedua judul tersebut membuat pembaca mendapatkan imajinasi seksual yang tidak sehat. Hal yang mengecewakan adalah Kumparan.com, Detik.com, dan Beritamerdekaonline.com merupakan media siber yang telah diverivikasi oleh Dewan Pers.
Dalam Kode Etik Jurnalistik berita-berita yang sudah disebutkan sebelumnya bisa jadi telah melanggar beberapa pasal. Diantaranya adalah pasal 3 yang bertuliskan "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.".Â
Dalam kasus ini judul yang seksi sebenarnya hanyalah intepretasi dangkal dari wartawan atas fakta yang terjadi. Juga pasal 2 yang berbunyi "Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang professional dalam melaksanakan tugas jurnalistik". Dengan menggunakan footage video alsi wartawan tidak menghargai pengalaman traumatik korban. Kerja pers kita masih perlu banyak perbaikan. Terutama media siber tidak seharusnya berita dibuat semata-mata demi jumlah klik. Karena klik yang menjadi keuntungan bagi media merupakan pengalaman nyata yang traumatis bagi korban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H