Mohon tunggu...
Anna Nurhayati
Anna Nurhayati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Geliat Pustakawan Menjadi Simpul Literasi Sekolah

17 Oktober 2017   04:19 Diperbarui: 17 Oktober 2017   04:25 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan semata merawat buku

Utama menghidupkan semesta ilmu

Menemani mereka yang sedang menjalani pencarian

Menjadi saksi tumbuh yang mekar-mekar peradaban

 

Kepada Pustakawan yang merawat dan mencintai buku

Hormat kita selayaknya tertuju

Kepada pustakawan yang tekun dan mengabdi

Harapan kita sungguh terperi

 

Sajak-sajak indah sengaja saya tuangkan dalam tulisan ini. Sajak indah yang dituliskan oleh Duta baca Indonesia Najwa Sihab. Dua bait sajak yang cukup mewakili sebuah profesi yang selama ini tidak banyak dikagumi layaknya profesi lain di negara ini. Pustakawan bukan profesi primadona di jenjang perguruan tinggi. Namun akhir-akhir ini namanya mulai mengemuka ketika pemerintah membumikan literasi sebagai tuntutan menyiapkan ketrampilan abad 21. 

Tuntutan mencetak insan pembelajar mandiri dan inovatif. Berbagai penelitian tentang keberaksaraan atau terkenal dengan nama literasi ini menunjukkan hasil yang mencengangkan. Semua survey literasi bangsa ini selalu berada di level bawah. Realise terakhir oleh  World's Most Literate Nations Ranked  tahun 2016 berdasarkan hasil survey tentang jumlah sirkulasi surat kabar, kepemilikan komputer untuk akses di rumah dan  jumlah  perpustakaan di sebuah negara. Indonesia lagi-lagi berada di posisi buncit yaitu peringkat 60 dari 61 negara. Hal yang mencengangkan posisi ini berada di bawah negara tetangga Malaysia, bahkan Thaliand. Hasil survey ini semakin menelanjangi kondisi dan prilaku masyarakat Indonesia yang jauh dari dunia pengetahuan untuk meningkatkan taraf hidup secara masiv.

Terpuruknya survey literasi ini, membuat pemerintah tak tinggal diam. Bak sedang menghadapi darurat literasi, di tingkat sekolah Gerakan Literasi Sekolah (GLS) menjadi program unggulan untuk menyelesaikan masalah, paling tidak menaikkan level peringkat literasi.

Kembali pada sajak Najwa di atas, rasanya semua isi hati Saya tumpah tercurah. Sajak yang mewakili hati Saya dan teman-teman satu profesi dalam ikatan pustakawan sekolah. Jauh sebelum pemerintah melancarkan program GLS, dengan tertatih-tatih membumikan budaya literasi demi mencerdaskan anak negeri. Kami berjuang dengan dukungan jauh dari kata maksimal oleh ekosistem sekolah. Perpustakaan yang seyogyanya menjadi pusat berkembangnya peradaban pengetahuan, hanya berfungsi sebuah bangunan pelengkap penilaian administrasi semata. Parahnya, perpustakaan ditempatkan di sebuah ruang sisa yang sempit, di pojok sekolah jauh dari jangkauan siswa.

Pustakawan bukan hanya menjaga sebuah gedung, menunggu pengunjung datang meminjam buku, bukan sekedar merawat, menyampul dan menata buku ke dalam deretan panjang rak-rak kayu kecoklatan. Pustakawan menjadi bagian sinergi sebuah simpul literasi sekolah untuk membentuk insan berkarakter berwawasan global, pembelajar mandiri dan berkemajuan.

Perpustakaan bukan lagi menjadi barisan pertama untuk dikorbankan. Pimpinan sekolah hendaknya menyadari dan mau berkaca dengan berbagai penelitian bahwa keberadaan perpustakaan mampu meningkatkan prestasi siswa. Sekolah-sekolah mengandalkan perpustakaan sebagai fasilitas utama pembelajaran, menunjukkan peningkatan pertumbuhan siswa khususnya di bidang keaksaraan, literasi informasi, ketrampilan teknologi.

Pertama kali menginjakkan kaki untuk sebuah pengabdian di sekolah dasar, terbersit di benak saya adalah ruangan bercat abu-abu, penuh buku paket tertata rapi dalam rak coklat. Kursi dan meja baca study carel seolah membatasi ruang diskusi siswa, sangat kaku. Namun ternyata semua salah, bukan ruangan yang kaku dan membosankan seperti perpustakaan SD pada umumnya. 

Dinding cerah full colour memberikan nuansa keceriaan khas jiwa anak-anak. Hamparan karpet dan meja pendek bergambar karakter motivasi seolah siap menyambut kehadiran siswa untuk membaca sembari duduk lesehan. Perpustakaan bernuansa hommy  semakin memikat anak untuk berlama-lama di dalamnya untuk membaca buku. 

Beberapa siswa sedang membaca di sebuah meja berbentuk segi lima berwarna merah bercorak. Wajah mereka serius, mata mereka bergerak mengikuti barisan kalimat buku bertuliskan Ensiklopedi Mini.  Beberapa siswa lain melihat buku bergambar sambil sesekali jari mereka menunjukkan gambar di halaman buku itu, sesekali satu diantara mereka berceloteh, seolah mengetahui maksud gambar-gambar itu. Di bagian lain perpustakaan, seorang guru sedang menerangkan materi daur hidup air dengan video interaktif koleksi perpustakaan.

Pimpinan di sekolah ini seolah mematahkan anggapan tentang pimpinan tidak memperhatikan fasilitas perpustakaan. Terbukti alokasi anggaran khusus untuk penambahan koleksi rutin setiap tahun. Tak heran jika koleksi tiap tahun kian bertambah variasinya. Koleksi fiksi hingga referensi seperti kamus dan ensiklopedi pengetahuan, terkelola menggunakan sistem perpustakaan yang semakin memudahkan siswa menemukan bahan bacaan yang dibutuhkan.

Tak berhenti disana, pustakawan sebagai resource agent, menawarkan bahan bacaan dan informasi kekinian dengan melakukan kerjasama dengan wali kelas dalam bentuk pojok baca kelas. Jenis bahan bacaan tentu saja disesuiakan dengan kurikulum yang sedang berjalan. Sirkulasi bahan bacaan dari pojok kelas menjadi tanggung jawab siswa yang tergabung dalam wadah pustakawan kecil. 

Mitra perpustakaan ini akan mengatur bahan bacaan baik dari pinjaman perpustakaan sekolah atau dari orang tua mereka. Suasana di pagi hari menjadi menyenangkan manakala di sela-sela mengerjakan latihan pagi diselingi membaca buku. Sadar akan perubahan prilaku siswa yang semakin menggila, guru kreatif semakin memberikan kesempatan untuk membaca di tengah jam pelajaran dengan panduan dan kesepakatan satu kelas. Bersama pustakawan, guru membacakan kisah atau buku sebagai jembatan materi saat itu.

Perjalanan pustakawan bukan memuseumkan ilmu pengetahuan. Tugas sebagai agen pembangun pengetahuan mengarahkannya untuk senantiasa sabar dan telaten membimbing siswa menemukan pengetahuan baru melalui sumber daya yang tersedia. Layaknya seorang pedagang, pustakawan harus mempromosikan sumber informasi pengguna tertarik mamanfaatkan. Pedangang yang tidak mengambil "keuntungan."

Tangan hangatnya seolah memberikan ketenangan setiap orang yang mengalami kepanikan dunia informasi. Ketika siswa datang berbondong-bondong menyelesaikan tugas dari kelas yang harus selesai hari itu juga, pustakawanlah yang akan membantu menenangkan kepanikan siswa.  Ya, bisa dikatakan sebagai agen penolong (rescue agent) ketika mencarikan sumber bacaan dengan cepat dan tepat. Ibarat berada di tengah padang pasir, dahaga mereka terobati dengan kesigapan agen penolong ketika mencarikan air. Jika boleh meminjam slogan pegadaian, pustakawan mampu menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Ciri pembelajaran abad 21 ditekankan pada proses belajar. Siswa lebih aktif untuk mencari jawaban setiap permasalahan. Sadar atau  tidak anak-anak terbiasa dengan konekasi teknologi informasi. Lorong-lorong maya sebaiknya mulai diperkenalkan sebagi sumber informasi selama pembelajaran. Masalahnya, selama ini tidak ada bekal ketrampilan dalam berselancar mencari sumber rujakan, seperti menggunakan ensiklopedi, menggali informasi internet secara tepat, hingga mengevaluasi informasi yang benar-benar dapat menjawab permasalahan siswa.

Kenyataannya,lain, pembelajaran selama ini belum mampu mendekatkan siswa terhadap berbagai sumber bacaan untuk menyelesaikan tugas dari guru. Parahnya, jika ada pembelajaran memanfaatkan perpustakaan,  karena mengisi kekosongan jam pelajaran. Akibatnya, anak akan memiliki mindset perpustakaan menjadi tempat kedua ketika jam kosong.

Berdaya tidaknya perpustakaan dalam mendukung kurikulum bergantung pada tangan dingin pustakawan ketika menyediakan resource, database, alamat web yang  pantas dibaca siswa dan sesuai pelajaran. Menurut seorang ahli informasi Ida Fajar mengatakan, pustakawan bermain menjadi jembatan gaps antara siswa dan guru, informasi online dan kurikulum.

Kepiawaian seorang pustakawan menjadi agen mengembangkan literasi informasi terlihat ketika menemani para peselancar informasi hingga menemukan pengetahuan baru. Tahapan pembelajaran bisa dikembangkan menjadi salah satu model pembelajaran kolaborasi apik antara guru dan pustakawan. Materi ketrampilan menggunakan sumber rujukan dapat disisipkan ke dalam silabus pembelajaran. Model kolaborasi ini menjadi sangat efektif untuk meningkatkan level literasi, dari sekedar pembiasaan membaca di kelas.

Permasalahan literasi menjadi "gawe" besar pemerintah. Gerakan Literasi Sekolah menjadi salah satu ikhtiar pemerintah dalam menangani  masalah literasi di sekolah. Sukses dari sebuah usaha tentu dibarengi dengan dukungan berbagai pihak dari pemerintah hingga ekosistem sekolah sendiri.

Berbicara masalah literasi bukanlah hal mudah diterapkan, bukan sekedar mengetahui bagaimana cara membaca. Literasi membutuhkan kombinasi ketrampilan dan pengetahuan siswa dalam membedakan pesan yang benar-benar dibutuhkan, untuk kemudian dikembangkan sesuai pengalaman pribadi menjadi pengetahuan baru. 

Pustakawan memiliki peran dalam mentranfer pengetahuan melalui sumber bacaan. Pustakawan bukan lagi sebagai penjaga ruangan berisi deretan buku dalam sebuah sistem, tanpa  usaha menyampaikan khasanah    peradaban pengetahuan. Jika tugas mereka masih memuseumkan sumber bacaan, sama saja membiarkan ilmu pengetahuan mengendap dan tidak berkembang.

Kesiapan pustakawan diuji untuk menemukan kembali tantangan dalam transformasi perpustakaan sekolah, menciptakan hubungan pembelajaran, inovasi, dan penciptaan pengetahuan yang berorientasi pada generasi pembelajar mandiri.

Secara kualifikasi pendidikan pustakawan tentu memiliki bekal dan pengetahuan untuk mempromosikan semua sumber daya perpustakaan. Namun tantangan sekarang bagaimana andil dalam  mempersiapkan generasi melenial yang inovatif. Pustakawan berperan menjadi simpul literasi bersama ekosistem sekolah lainnya. Jika simpul digambarkan sebagai kumpulan tali yang melebur menjadi satu ikatan, maka permasalahan tentang literasi di sekolah ini akan mudah dipecahkan. Sinergi dalam ekosistem sekolah menjadi sebuah power mewujudkan generasi pembelajar mandiri dan inoatif.

Lagi saya kutip sajak indah Najwa Sihab, sebagai penegas bahwa pustakawan bukan sekedar penjaga buku namun pengabdi ilmu pengetahuan dan menjadi simpul literasi, menuju generasi pembelajar sepanjang hayat.

.......Jika bangsa yang besar selalu menghormati pahlawan

Bangsa yang maju niscaya menghargai pustakawan

Sebab menjadi pustakawan adalah kehormatan

Pustakawan mengabdi pada ilmu pengetahuan

Karena literasi kunci menjadi berdaya

Panjang umurlah semua pegiat pustaka

(Anna Nurhayati, S.I.Pust)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun