Mohon tunggu...
Anna Melody
Anna Melody Mohon Tunggu... -

Melihat dari sudut pandang berbeda...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pak JK, Ini Alasan "Minoritas" Lebih Kaya dari "Mayoritas" [Bagian-3]

2 Juni 2017   17:18 Diperbarui: 2 Juni 2017   17:26 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemiskinan dan Pendidikan, sumber gambar : edunews.id

Trilogi Penyebab Kesenjangan Mayoritas dan Minoritas di Indonesia – Bagian 3

Kita memasuki alasan ketiga penyebab kesenjangan “Mayoritas dan “Minoritas”.

Apa itu? Pendidikan!

Kembali ke penyebab-1 DISINI, karena jumlah anak yang “lebih” sesuai dengan finansial, kaum “Minoritas” mempunyai dana yang lebih banyak untuk pendidikan = anak-anaknya bisa sekolah lebih tinggi = bisa mencari pekerjaan lebih baik = otomatis lebih sejahtera.

Berbanding terbalik dengan sebagian besar kaum “Mayoritas”, selain dana tidak mencukupi karena dibagi banyak anak, juga akses buku/pendidikan di pedesaan masih sangat minim.

Pendidikan adalah awal dan akar dari segala masalah dalam suatu bangsa. Dengan pendidikan, rakyat bisa berpikir sendiri, bagaimana bertahan hidup, bagaimana bekerja, dst.

Semakin tinggi pendidikan, semakin sadar berapa anak yang sanggup dihidupi (penyebab-1), semakin sadar hidup harus bermental baja dan sadar bahwa selama ini kita hanya “dikibuli” elite politik kita sendiri (penyebab-2).

Singkatnya, bila ada pendidikan, apapun ras dan agamanya, akan “bisa mencari” akal sendiri untuk mengusahakan kesejahteraan bagi diri dan keluarganya, dimana hasil akhirnya adalah bangsa yang sejahtera.

Tanpa pendidikan, kita hanyalah manusia robot yang menerima subsidi beras, listrik, bbm, dll dari pemerintah, terus menerus bermental meminta-minta dan bergantung kepada “server pengendali” (pemerintah/para elite berkuasa).

Dan tebak, siapa penyebab terpuruk dan minimnya akses pendidikan di Indonesia?

Pernahkah kita bertanya tanya, kenapa Jepang, Korea, bahkan Malaysia/Singapura yang sekitar tahun 1945 kondisinya lebih parah dari Indonesia, sekarang bisa menjadi negara maju dan rakyatnya sebagian besar berpendidikan S1, S2, S3?

Kenapa kita sudah 70 tahun, tetap saja hampir 50% hanya lulusan SD saja? Ada yang bisa menjawab?

Kenapa pendidikan rakyat sendiri sengaja diabaikan oleh para elite politik kita yang notabene kaum “Mayoritas”? Kenapa mereka “tidak ingin” rakyatnya/kaumnya sendiri menjadi pintar?

Apakah karena rakyat yang maaf “kurang berpendidikan” lebih mudah diatur, diadu domba, tidak ngelunjak, mudah dimanfaatkan, apalagi kalau dikasih kabar hoax, senengnya bukan main? 

Kalau sebagian besar lulusan S1, bisa-bisa kita ada 1000 partai dan 100 calon presiden nanti, hahaha...

Sekali lagi gaya kolonial penjajah, ternyata dilanjutkan juga di bidang pendidikan oleh para elite politik kita.

Takut kekuasaan direbut oleh rakyat yang sudah pintar berpolitik. Takut korupsi diketahui, dst. Karena itu meski Indonesia sudah merdeka, mereka tetap mendesain kebijakan agar ekonomi/bisnis dipegang oleh kaum “Minoritas” yang ras/agamanya “TIDAK diperbolehkan” mempunyai jabatan di pemerintahan, sehingga kursi kekuasaan aman.

Lalu solusinya bagaimana :

1. Pak Jokowi sudah di jalan yang benar dengan KJP dan Kartu Indonesia Pintar sekarang, hanya saja hasilnya kurang dramastis dan butuh waktu untuk terlihat. Perlu terobosan seperti akses material pendidikan dan ribuan buku yang GRATIS melalui internet serta penyediaan sejuta gadget.

Daripada membangun bangunan sekolah sana sini yang sarat dikorupsi, lebih baik dana difokuskan membangun jaringan internet dan material multimedia gratis dari tk hingga kejuruan/kuliah yang bisa diakses rakyat hingga pedalaman.

Dunia sudah berada di era digital, negara maju lain sudah memasuki era pendidikan tanpa batas lokasi, bila kita tetap menggunakan cara pendidikan 50tahun lalu, maka bukan saja tidak mampu mengejar ketertinggalan, tapi makin lama makin tertinggal.

Selain itu akses internet tanpa didahului pendidikan, akan SANGAT BAHAYA. informasi hoax menyebar kemana2 dan yang baca menelannya mentah2, karena tidak mempunyai pendidikan yang cukup untuk mencerna.

2. Adakan asuransi pendidikan nasional seperti BPJS, dimana semua orang wajib menabung untuk biaya sekolah dan kuliah anak-anaknya kelak + bisa diberlakukan sistem subsidi silang antara yang kaya dan miskin.

*pendidikan kejuruan juga setara kuliah, bukan ijasah s1,s2,s3 nya yang penting, tetapi skill/seberapa dalam keahlian spesifiknya yang penting.

Sebagian biaya asuransi pendidikan bersama tersebut, juga bisa digunakan untuk membangun insfrastruktur pendidikan digital seperti di negara maju.

Bodoh sekali pemikiran bahwa rakyat jangan sekolah tinggi-tinggi, nanti lowongan pekerjaannya tidak ada, sarjana sekarang kan banyak yang menganggur, cukup SD saja supaya bisa tenaganya bisa diserap oleh pabrik dll.

Kenapa bodoh? Karena artinya kita tidak sadar bahwa selain kompetisi tenaga kerja "otot" sekarang sudah antar negara, selain itu pekerjaan dengan otot, sekarang dan semakin lama akan semakin tergantikan semua oleh robot/mesin.

Contoh sederhana, pabrik rokok, pabrik rokok itu semua sudah pakai mesin dan otomatis, mereka hanya pura pura memakai tenaga kerja manusia untuk “menyandera” pemerintah, begitu pajak/harga rokok dinaikkan, langsung mengancam PHK, padahal PHK besar-besaran sudah terjadi karena semua berubah menggunakan mesin.

Ini juga faktor penting kenapa keluarga berencana sangat urgent dan penting, karena masa depan manusia bukan hanya bersaing sesama manusia, apalagi bersaing antar ras dan agama, kita akan bersaing dengan RAS ROBOT!

Mereka tidak kenal lelah, tidak pernah mengeluh, tidak minta gaji naik, kerja teliti dan presisi, tidak suka debat agama, tidak ngerumpi dan hobby baca berita hoax,

dan yang paling penting, tidak suka demo minta ini itu, hahaha.

Bisakah kita berkompetisi dengan mereka menggunakan otot saja? Bisa sih, pukul aja robotnya sampai rusak, wkwkwk.

*ini kita baru membicarakan robot/mesin biasa, belum Artificial Intelligence.

3. Transparansi dan transparansi, budget pendidikan terbesar di APBN, tapi budget besar tanpa transparansi dan mengunci kesempatan korupsi (artikel sebelumnya) = atm bagi para koruptor, dan itulah yang terjadi selama puluhan tahu kemarin.

4. Jangan hanya berharap kepada pemerintah saja, kita semua, khususnya “Mayoritas” sebaiknya berfokus mengejar ketertinggalan dengan melakukan banyak kegiatan sosial di bidang pendidikan.

Yang kita lakukan sekarang sebaliknya. Sudah enggan belajar, setiap hari energi dan pikiran dibuang percuma untuk jadi pengikut sosmed penyebar kebencian, mencaci dan membenci kaum “Minoritas”.

Apakah dengan mencaci, lalu kaum “Minoritas” bisa turun IQnya dan kekayaannya? Yang ada justru disaat kita membenci, mereka belajar dan bekerja 12 jam sehari.

Dan sekali lagi hukum matematika bekerja disini, siapapun juga, apapun ras dan agamanya, selama dia rajin belajar dan bekerja = sukses dan sejahtera.

Itu ilmu pasti dan ilmu pasti adalah hukum Tuhan itu sendiri.

PENUTUP

Akhir kata kemiskinan di Indonesia sudah kronis, tanpa tindakan nyata dan bahu membahu dari kedua kaum, Mayoritas dan Minoritas, maka solusi tidak akan maksimal.

Kaum minoritas harus menyadari bahwa Bhinneka Tunggal Ika hanya bisa terwujud bila terjadi keseimbangan dan pemerataan akses pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Bhinneka Tunggal Ika tidak akan terjadi bila Anda hidup di rumah mewah dikelilingi perumahan kumuh, dan Anda diam saja melihat hal tsb.

Anda harus aktif turut serta mengentaskan kemiskinan di Indonesia, jangan egois dan hanya berhenti di menyalakan lilin, tapi jadilah lilin yang turut menerangi negeri ini, tempat dimana Anda lahir, hidup dan mati.

Kaum mayoritas harus menyadari, bahwa Anda sebagai pembuat kebijakan dan pemegang kursi kekuasaan, bertanggung jawab penuh atas hasil pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyatnya.

Setiap sen yang Anda korupsi/suap yang Anda terima, adalah duit rakyat miskin yang mayoritas adalah kaum Anda sendiri.

Dan bagi kita semua kaum menengah keatas, apapun ras dan agamanya, yang selama ini diam saja melihat ini semua, mari bergerak, sederhana saja dengan melakukan apapun yang kita bisa,

Karena Tuhan akan meminta pertanggungjawaban atas setiap sen dan setiap orang miskin yang DIA titipkan di sekeliling kita.

#FridayIdeas

Artikel selanjutnya : Cara Menurunkan Angka Pengangguran Menjadi 0% dalam 2 Tahun (setelah lebaran :)

Artikel terkait :

Trilogi Bagian-1- Banyak Anak

Trilogi Bagian-2 - Mental Perantau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun