Mohon tunggu...
Anna Melody
Anna Melody Mohon Tunggu... -

Melihat dari sudut pandang berbeda...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sochi dan Dokter Berdarah Biru

10 Juni 2016   09:57 Diperbarui: 10 Juni 2016   17:33 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah sepenggal percakapan yang terkonfirm sebagian dengan adanya berita tentang permintaan Ketua Mahasiswa Rusia (Permira) yang bertemu Pak Jokowi di Sochi Rusia beberapa waktu lalu untuk memfasilitasi para Diaspora (WNI) yang kuliah kedokteran di luar negeri untuk tidak dipersulit mendapatkan izin praktek di negeri sendiri.

Percapakapan di atas gamblang mengungkapkan beberapa fakta:

  • Sekolah dokter mahal, baik dokter umum maupun spesialis
  • Sekolah dokter spesialis tempat terbatas/sengaja dibatasi?
  • Sekolah dokter ke luar negeri, pulangnya dipersulit mendapatkan izin praktek

3 hal di atas jelas ekslusivitas:

  • Hanya orang kaya yang bisa jadi dokter
  • Hanya yang punya keluarga dokter (sponsor) yang dapat jadi dokter spesialis
  • Hanya yang kuliah di Indonesia yang bisa praktek di Indonesia.

Kok jadi persis aturan di kelompok gangster? wkwkwk..

Memang tidak 100% seperti itu (masih ada yang berprestasi yang dapat beasiswa di Indonesia, masih ada yang bukan keluarga dokter dapat jadi dokter spesialis), tetapi sebagian besar di lapangan seperti itu.

Hal ini sangat ironi, karena jumlah dokter spesialis sangat kurang di Indonesia dan tidak merata sampai ke daerah-daerah, yang menyebabkan :

  • Pelayanan yang "sebagian besar" kurang manusiawi. Katakanlah 1 dokter menangani >100  pasien BPJS setiap hari, maka setiap pasien hanya dapat 2-3 menit. Baru masuk, buka resep sudah langsung disuruh keluar ruangan = rasa empati semakin terkikis dan lama-lama persis robot, kenapa tidak sekalian bikin ATM saja untuk menggantikan peran dokter? Tinggal masukkan nomor pasien, keluar resep untuk bulan berikutnya? Hahaha.... Setidaknya mesin ATM masih bisa tersenyum dan mengucapkan selamat pagi, wkwkwk....
  • Kualitas dokter yang semakin menurun. Dokter adalah profesi yang sangat membutuhkan logika tinggi dan kepintaran. Dengan sistem seperti sekarang, tidak perlu pintar/memenuhi syarat, asalkan punya uang dan punya kerabat dokter = menjadi dokter. Hasilnya? Persentase salah diagnosis dan salah obat yang tinggi.
  • Banyaknya "permainan" dengan farmasi. Sudah rahasia umum bahwa adanya permainan di dunia kedokteran mengenai komisi pada obat yang diresepkan. Ini adalah akibat dari sistem pendidikan berbiaya tinggi sehingga mau tidak mau harus mencari cara untuk "balik modal".
  • Kematian puluhan/ratusan ribu pasien setiap tahunnya. Contoh dokter bedah jantung anak, data terakhir hanya ada 5 orang se-Indonesia dan kekurangan dokter ini telah menyebabkan 15-20 ribu/tahun anak dengan jantung bocor tidak tertangani alias meninggal dunia setiap tahunnya! Ini baru 1 kondisi penyakit, belum ratusan jenis penyakit lainnya.

Pilihan solusi untuk memperbaiki kecukupan jumlah dokter dan kualitasnya:

  • Kembalikan dunia kedokteran menjadi dunia kemanusiaan dan berempati tinggi dengan kuliah kedokteran gratis/beasiswa sebanyak-banyaknya (salut kepada Unpad yang sudah memulainya), dan hanya bagi yang berprestasi dan bermotivasi sosial, bukan beasiswa untuk kroni. 
  • Akui fasilitas di Indonesia belum memadai untuk menghasilkan jumlah dokter yang cukup, maka segera penuhi permintaan Ketua Mahasiswa Rusia (Permira)  untuk menghapuskan segala halangan WNI yang kuliah kedokteran di luar negeri untuk praktek dan mengabdi di Indonesia.

Apa yang terjadi di Indonesia berlawanan dengan Malaysia:

  • Di saat kita "mengusir" para diaspora, mereka justru memberikan beasiswa sebanyak-banyaknya kepada para dokter mereka supaya melanjutkan sekolah ke luar negeri = kualitas dokter menjadi semakin baik.
  • Perbandingan dokter dan pasien di sana jauh lebih baik, sampai harus iklan ke Indonesia untuk mencari pasien tambahan, hahaha... hasilnya? Dokter-dokter mereka sangat perhatian terhadap pasiennya dan mau diajak komunikasi = komunikasi lancar = manusiawi = rasa empati semakin tinggi.

Jadi, jangan heran bila kelas menengah ke atas keluar negeri mencari kesehatan. Bukan kesehatan saja yang mereka cari, tapi dokter yang mau mendengar dan manusiawi, yang sayangnya tidak mereka temukan di RS Swasta Indonesia meskipun membayar mahal.

Sistem sekarang sudah seperti "mafia", membebankan biaya supermahal untuk kuliah, memilih orang-orang tertentu (kroni) yang boleh menjadi dokter spesialis dan menghalangi WNI yang sekolah luar negeri untuk kembali mengabdi di Indonesia (sesama WNI tetapi dianggap "musuh" bagi yang kuliah lokal, karena sadar diri kualitas tidak sebandingkah?).

Jadi jangan sok melindungi HAM para pedofil dengan menolak hukuman kebiri yang sudah berlaku di banyak negara, tetapi di lain pihak malah melestarikan sistem pendidikan kedokteran yang setiap tahunnya membunuh puluhan ribu rakyat Indonesia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun