Mohon tunggu...
Anna Melody
Anna Melody Mohon Tunggu... -

Melihat dari sudut pandang berbeda...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Tragis Ibu Masak Batu, Salah Siapa?

3 November 2015   15:25 Diperbarui: 4 November 2015   17:56 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pak Andun dan keluarga, sumber gambar : analisadaily.com"][/caption]

Dengan tegas penulis katakan, salah program keluarga berencana yang tidak jalan!

Media memberitakan dengan besar-besaran hanya berfokus di makan batu dan bantuan dari polresnya. Tentu kita harus mengapresiasi bantuan yang diberikan oleh Kapolres Cianjur AKBP Asep Guntur, dan memang memasak batu adalah hal trenyuh yang disukai wartawan untuk menarik simpati pembaca.

Tetapi fakta bahwa anaknya 7 hanya diulas sambil lalu dalam 1 kalimat : "sulit memberikan makan 7 orang anaknya."

Sudah seharusnya media dan kita semua memberikan perhatian banyak mengenai penyebab dan latar belakang hal seperti ini terjadi, kenapa mereka tidak mengikuti keluarga berencana? Alasannya apa atau tidak ada sosialisasi dari daerah?

Geram rasanya, sampai kapan bangsa ini akan maju kalo terus memproduksi rakyat miskin melalui banyak anak? Benar, produksi, kita produsen rakyat miskin!

Pemikiran banyak anak banyak rezeki, ataupun alasan2 lain seperti spiritual dll harus segera dikoreksi, Tuhan tidak pernah mengatakan kita harus punya anak sebanyak-banyaknya, lalu tidak perlu diurus, keliaran dimana-mana, lulus SD saja dan beri mereka makan batu ! Itu bukannya menjalankan ajaran agama, malah berdosa karena menelantarkan anak-anak yang dititipkanNya.

Penulis tidak menyarankan seextreem China yang mewajibkan 1 anak dan membunuh semua kelebihannya, itu tidak beradab. Tetapi sudah seharusnya kita benar-benar serius menangani hal ini, misalnya dengan tawaran sterilisasi gratis setelah 2 anak, pernahkah itu dilakukan? (tawaran, bukan mewajibkan)

kalau perlu diberi insentif bagi yang mau berKB, karena beban masa depan negara, pengangguran, dampak sosial dll jauh lebih besar daripada insentif satu kali.

Selain sterilisasi juga masih banyak cara kb yang lain, yang harus disosialisasikan dan dikontrol oleh pemda setempat. Misalnya saat menikah sudah diedukasi, saat melahirkan, saat imunisasi anak, bahkan jauh sebelum menikah harus masuk kurikulum pendidikan sehingga rakyat tidak menikah dini, problem lain lagi yang menjadi penyebab generasi tidak berkualitas karena alat reproduksi belum sempurna.

Penulis rasa dengan tawaran dan edukasi yang masif, rakyat akan memahami. Para pemuka agama juga harus turut bergerak memberi pengertian yang benar.

Sebenarnya, seperti keluarga Pak Andun ini pasti akan pakai kb juga, mereka sendiri pasti mikir, masa mau dilanjutkan sampai anak ke 17?

Jadi semua orang pasti akhirnya mengendalikan kelahiran juga dengan berbagai cara, hanya sadarnya yang terlambat. Setelah anak ke 5-6-7 dan tidak bisa makan, baru sadar.

Sudah sangat jelas jumlah anak sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kesehatan anak-anak tersebut. Bila anak Pak Andun 2 orang, mungkin mereka sekarang sudah makan nasi 3x sehari dan bisa sekolah hingga smu bahkan kuliah.

Jatah 1 butir telur untuk berdua, harus dimakan bertujuh. Bila ini terjadi puluhan tahun, bisa dibayangkan perbedaan gizinya?

Sekarang mereka harus "makan batu", makan 1x/hari, tidak sekolah dst, lalu kita berteriak kenapa indonesia miskin dan dijajah asing? 

Mereka akan tertawa terbahak-bahak melihat kita yang lucu dan lugu... setiap hari hanya bisa demo, berdebat dan terus beranak pinak menduplikasi kemiskinan... 

http://news.detik.com/berita/3060665/kisah-ibu-masak-batu-kapolres-cianjur-pak-andun-kerja-serabutan-masih-kami-bantu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun