Abstrak
Salah satu tantangan dalam menjaga tradisi budaya seiring perkembangan zaman adalah adanya kesenjangan persepsi antar generasi tua dan muda terhadap budaya. Kesenjangan persepsi atas tradisi ini kemudian kerap mengarah pada konflik antar generasi muda pada budaya yang dianggap sudah kuno dan tidak sesuai zaman. Salah satu warisan budaya Indonesia adalah Gong Si Bolong, salah satu kesenian dari kota Depok, yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi antar generasi tentang tradisi Gong si Bolong sebagai warisan budaya tak benda. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan persepsi generasi dalam aspek pengetahuan dan sikap terhadap tradisi, namun tidak pada aspek nilai-nilai yang mereka yakini atas tradisi Gong si Bolong. Kelompok tua memiliki pengetahuan lebih luas dalam memahami Gong si Bolong pada aspek kesejarahan. Sebaliknya generasi muda hanya memahami tradisi pada aspek teknis pertunjukan saja. Yang menarik adalah walaupun ada kesenjangan dalam memandang pentingnya menjaga otentisitas tradisi alih-alih melakuan modifikasi, namun generasi muda justru menunjukkan kecenderungan untuk memelihara keaslian tradisi. Untuk aspek nilai, baik generasi tua maupun muda setuju bahwa mereka punya tanggung jawab dan kewajiban untuk memelihara dan melestarikan tradisi ini.
Kata Kunci: Persepsi Antar Generasi, Warisan Budaya Takbenda, Gong Si Bolong, Tradisi.
LATAR BELAKANG
Tradisi budaya menjadi salah satu kebiasaan turun temurun suatu kelompok yang sering kali menimbulkan banyak persepsi terhadapnya, sebab di masa modern ini pola pikir generasinya turut berkembang mengikuti perkembangan zaman sehingga banyak orang yang menganggap tradisi budaya sebagai suatu hal yang bersifat kuno atau ketinggalan zaman.
Terjadinya pemikiran yang berbeda juga menjadi sesuatu yang biasa di lingkungan masyarakat, karena setiap manusia pasti memiliki sebuah pandangan yang berbeda-beda dalam menjumpai sesuatu hal di lingkungan mereka, dan hal tersebut berimbas terhadap penyikapan mereka tentang hal tersebut. Â Senada dengan hasil penelitian Rahmawati dan Sabardila (2022) yang membahas tradisi kenduren di desa Banyuanyar, menjelaskan bahwa sebagian masyarakat memilih tidak melaksanakan tradisi ini, karena tidak percaya pada cerita sejarah orang tua zaman dulu dan karena pola pikir sudah berkembang mengikuti zaman yang luas dan modern.Â
Oleh karena itu, dalam setiap generasi pasti akan memiliki pandangan yang berbeda terhadap satu hal, seperti generasi muda yang mendapat pendidikan, memiliki pandangan yang lebih terbuka terhadap suatu hal disekitar mereka, sehingga ketika mereka menjumpai budaya lama, maka mereka akan menganggap hal tersebut terlalu kuno karena dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman.
Warisan budaya, menurut Davidson yang dikutip dalam Karmadi (2007) diartikan sebagai sebuah produk atau hasil budaya dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa . Salah satu warisan budaya yang masih ada hingga sekarang adalah kesenian gong si bolong. Gong si bolong merupakan budaya asli yang berasal dari Depok, dan sudah diakui menjadi warisan budaya takbenda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Warisan Budaya Takbenda ini diwariskan dari generasi ke generasi, yang secara terus menerus diciptakan kembali oleh masyarakat dan kelompok dalam menanggapi lingkungan sekitarnya, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan memberikan rasa identitas yang berkelanjutan, untuk menghargai perbedaan budaya dan kreativitas manusia
Dikutip dari situs warisan budaya.kemdikbud.go.id, Gong Si Bolong adalah seni gamelan yang berasal dari Kota Depok yang kerap kali digunakan untuk mengiringi beberapa pertunjukan kesenian tradisional, di antaranya: jaipong, wayang kulit Betawi, dan tari tayub. Iit Septyaningsih (2014) menyebutkan bahwa seni gamelan Gong Si Bolong merupakan perpaduan antara musik Gamelan Betawi, perpaduan dari Gamelan Sunda, Melayu dan Cina. Kesenian gong si bolong dijalankan oleh suatu komunitas yang ada di daerah Tanah baru, Depok. Pada kala itu, komunitas kesenian Gong Si Bolong sering kali mendapat panggilan untuk tampil di berbagai pertunjukan, namun saat ini masyarakat lebih tertarik kepada kebudayaan dari luar dan yang menyebabkan kesenian Gong Si Bolong terpinggirkan dari masyarakat. Salah satunya yaitu Upacara Baritan yang merupakan tradisi dari komunitas Gong Si Bolong yang tersingkirkan beriringan oleh perkembangan zaman. Upacara yang dahulu selalu dirayakan setiap tahunnya kini sudah tidak dirayakan lagi karena tekanan dari masyarakat sekitar.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Sukma, dkk (2022) para pemuda di sekitar komunitas Gong Si Bolong saat ini belum banyak berpikir tentang pelestarian budaya lokal. Namun walaupun demikian komunitas Gong Si Bolong masih terus berusaha mengikutsertakan pemuda sebagai bagian dari anggota komunitas ini, terlihat sampai saat ini masih terus ada dilakukan latihan dan kegiatan walaupun tidak sebanyak dahulu.
Anggota komunitas gong si bolong tersebut terdiri dari beberapa generasi yang berbeda, dengan begitu pandangan yang dimiliki oleh setiap generasi terhadap warisan budaya mereka juga pasti akan berbeda-beda. Terlebih dengan masuknya globalisasi dan modernisasi yang semakin pesat, membuat generasi saat ini dan generasi terdahulu mempunyai sebuah kesenjangan dalam aspek informasi yang akhirnya dapat mengubah pandangan generasi saat ini terhadap budaya yang mereka miliki.Â
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Anggarwal (2017), mengungkapkan kesenjangan generasi dapat didefinisikan sebagai pilihan pribadi, pendapat dan persepsi dari generasi yang berbeda. Masih dalam penelitiannya beliau juga menyatakan bahwa konsep kesenjangan generasi lebih menonjol terjadi pada masyarakat Asia yang terlalu menjunjung fokusnya pada budaya yang dimiliki.
Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Persepsi Antar Generasi Gong Si Bolong sebagai Warisan Budaya Takbenda (Studi Kasus pada Komunitas Gong Si Bolong di Tanah Baru, Depok, Jawa Barat). Peneliti bermaksud mengetahui persepsi dari anggota komunitas gong si bolong tentang warisan budaya takbenda mereka, dan juga karena komunitas gong si bolong memiliki anggota yang terdiri dari berbagai generasi, maka peneliti ingin membandingkan persepsi generasi tua dan generasi muda yang ada dalam komunitas tersebut.
METODE PENELITIAN
Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Menurut Rahardjo (2017) studi kasus ialah suatu serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam tentang suatu program, peristiwa, dan aktivitas, baik pada tingkat perorangan, sekelompok orang, lembaga, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan mendalam tentang peristiwa tersebut. Studi kasus yang digunakan adalah studi kasus kualitatif.
Metode yang akan digunakan untuk pemerolehan data adalah dengan menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik wawancara diperlukan adanya instrumen penelitian meliputi sejumlah pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber, observasi atau pengamatan langsung dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh komunitas Gong Si Bolong, sedangkan dokumen meliputi catatan harian kegiatan Gong Si Bolong, surat-surat, laporan resmi atau publikasi kegiatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengetahuan antargenerasi tentang Gong Si Bolong
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan persepsi antar generasi tua dan muda terkait aspek pengetahuan tentang tradisi. Generasi tua memiliki persepsi yang lebih mendalam tentang kesejarahan tradisi dan alasan-alasan dari perkembangan tradisi, hingga ke hal-hal mistis yang melingkupi tradisi. Berbeda dengan generasi muda yang hanya mengetahui dalam asal usul tradisi secara singkat dan tidak peduli dengan hal-hal mistis atau kepercayaan yang terkait dengan tradisi ini.
Hal ini selaras dengan penelitian Rahmawati dan Sabardila (2022) yang membahas tradisi Kenduren di desa Banyuanyar dan menemukan bahwa sebagian warga tidak lagi mempercayai cerita orang tua zaman dahulu. Sebaliknya, generasi tua yang ada pada komunitas tersebut memiliki banyak pengetahuan tentang asal usul dari kesenian ini. Tidak hanya tempat dan tahun ditemukan, mereka juga mengetahui kronologi yang terjadi pada saat itu dan terlihat memang mempercayainya. Terlihat bagaimana mereka juga menceritakan asal usulnya dari berbagai sumber yang mereka dengar dan tahu, tanpa memfilter cerita tersebut.
Kesenjangan ini tentu dapat dijelaskan karena aspek durasi keterlibatan dengan tradisi dan fase modernisasi yang membuat generasi muda memiliki lebih banyak referensi hiburan alih-alih memberikan perhatian pada tradisi lokal yang sudah tidak banyak hadir di ruang publik. Riset ini juga menunjukkan bahwa generasi muda lebih memperhatikan perkembangan yang ada pada komunitas dalam aspek keanggotaan komunitas yang semakin sedikit.
Yang menarik saat ini adalah adanya unsur shalawat dalam pertunjukan GSB. Bagi generasi muda ini adalah contoh bagaimana tradisi ini mengalami pergeseran dari tradisi lalu. Meski generasi tua tidak terlalu menganggap sebuah pergeseran. Hal ini diasumsikan karena praktik shalawat masih dekat dengan para generasi tua yang semakin religius. Sehingga perubahan ini seakan terjadi secara halus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan orientasi hidup generasi tua yang semakin religius.
Kesenjangan Sikap antar generasi tentang Gong Si Bolong
Sebaliknya, generasi tua mendorong adanya keterbukaan untuk melakukan modifikasi dalam kesenian GSB. Keterbukaan akan modifikasi karena mereka melihat bahwa perkembangan zaman telah mengubah selera masyarakat, sehingga perubahan sulit dihindari. Ditambah lagi, masuknya shalawat dalam Gong si Bolong dianggap oleh mereka sebagai bentuk modifikasi yang dilakukan, meskipun secara sejarahnya kesenian ini juga dianggap sebagai syiar.
Kesenjangan sikap ini juga tampak dalam memilih peran dan partisipasi dalam komunitas GSB. Generasi tua lebih memiliki peran yang banyak, seperti mengajar, mengembangkan komunitas, menyebarluaskan, dan bahkan turut menjadi pemain dalam pertunjukan. Generasi tua tampak lebih multitasking, meskipun bisa saja ini juga sebagai gambaran bahwa generasi tua masih mendominasi banyak peran dalam komunitas. Entah karena tidak mau mempercayakan dengan generasi muda atau justru kesulitan mencari generasi muda yang siap berkontribusi banyak untuk pengembangan atau menjaga tradisi ini. Untuk generasi muda, peran mereka dalam komunitas hanya sekedar menjadi pemain dan belajar. Hal ini diasumsikan karena keterbatasan waktu untuk terlibat dalam komunitas.
Dalam aspek menyampaikan informasi, generasi tua terlihat sangat antusias dalam menyebarkan pengetahuan-pengetahuan tentang kesenian Gong Si Bolong. Tidak hanya sampai di kesenian ini, bahkan beberapa asal-usul dari kesenian Betawi juga disampaikan. Berbeda dengan generasi muda yang hanya memperlihatkan sikap formalitas dalam menyampaikan pandangannya tentang kesenian ini.
Nilai antar generasi tentang Gong Si Bolong
Terkait dengan nilai, riset ini menunjukkan bahwa generasi muda meyakini bahwa pelestarian tradisi ini menjadi tanggung jawab mereka saat ini. Apalagi sejak ditetapkan tradisi kesenian ini sebagai warisan budaya tak benda. Generasi muda ini menyadari bahwa minimnya minat anak muda dalam menjaga tradisi budaya tradisional. Oleh karena itu mereka meyakini bahwa cara mereka menjaga tradisi adalah dengan mempelajari kesenian ini.
Jika generasi muda meyakini bahwa menjaga tradisi GSB sebagai tanggung jawab mereka, sebaliknya generasi tua memandang menjaga tradisi sebagai bentuk kewajiban untuk melestarikan budaya.
Artinya, dari aspek nilai tidak terlalu tampak kesenjangan antar generasi dalam melihat tradisi sebagai sebuah warisan budaya yang perlu dilestarikan. Kedua generasi sepakat untuk menjaga tradisi GSB sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajiban. Meskipun ada perbedaan dalam pengetahuan dan sikap terhadap tradisi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil paparan dan pembahasan diatas, jelas ditemukan adanya kesenjangan antar generasi muda dan tua dalam mempersepsikan pengetahuan, sikap, dan nilai yang ada pada kesenian Gong Si Bolong. generasi muda dapat dikatakan memiliki pengetahuan yang cukup peka dengan mereka dapat menafsirkan metode pembelajaran dari generasi tua. Dalam hal sikap generasi muda dan tua memang memiliki banyak perbedaan, seperti dalam hal penyampaian. Dari pengamatan peneliti, generasi muda hanya menjawab hal-hal terkait dengan ini hanya berdasarkan formalitas saja dan tidak ada alasan lebih lanjut, berbeda dengan generasi tua yang menjelaskan dengan detail dan sungguh-sungguh. Memang terdapat kesenjangan dan perbedaan yang cukup signifikan dari kedua generasi, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan pandangan yang berbeda juga dari satu generasi.
REFERENSI
Aggarwal, M., Rawat, M. S., Singh, S., Srivastava, S., & Gauba, P. (2017). Generation gap: An emerging issue of society. International Journal of Engineering Technology Science and Research, 4(9), 973-983.
Rahardjo, M. (2017). Studi kasus dalam penelitian kualitatif: konsep dan prosedurnya.
Rahmawati, E. N., & Sabardila, A. (2023). Pro dan Kontra Pelaksanaan Tradisi Kenduren Udan Dawet. Widyacarya: Jurnal Pendidikan, Agama dan Budaya, 7(1), 97-106.
Ramadhani, W. (2016). Strategi Survival Komunitas Seni Tradisional di Era Modernisasi (Studi Kasus Komunitas Gong Si Bolong Di Kota Depok (Bachelor's thesis, Jakarta: Fakultas Ilmu Social Dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah).
Rofiq, A. (2019). Tradisi slametan Jawa dalam perpektif pendidikan Islam. Attaqwa: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 15(2), 93-107.
Santosa, E. T. (2015). Raising children in digital era. Elex Media Komputindo.
Sugiyono. (2013). Metode penelitian pendidikan kuantitatif, kualitatif dan R&D. Alfabeta
Sukma, A. H., Soepriyadi, I., Soejarminto, Y., & Pranawukir, I. (2022). Edukasi dan Penanaman Semangat Pelestarian Seni Gong Si Bolong pada Komunitas Pemuda Depok. Indonesia Berdaya, 3(4), 949-960.
warisanbudaya.kemdikbud.go.id. (2022, 17 Januari). Gong si bolong. Diakses pada 29 April 2023 dari https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2353
warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Pengertian dan Domain Warisan Budaya Takbenda. Diakses pada 29 April 2023 https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H