Dalam penelitian yang dilakukan oleh Anggarwal (2017), mengungkapkan kesenjangan generasi dapat didefinisikan sebagai pilihan pribadi, pendapat dan persepsi dari generasi yang berbeda. Masih dalam penelitiannya beliau juga menyatakan bahwa konsep kesenjangan generasi lebih menonjol terjadi pada masyarakat Asia yang terlalu menjunjung fokusnya pada budaya yang dimiliki.
Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Persepsi Antar Generasi Gong Si Bolong sebagai Warisan Budaya Takbenda (Studi Kasus pada Komunitas Gong Si Bolong di Tanah Baru, Depok, Jawa Barat). Peneliti bermaksud mengetahui persepsi dari anggota komunitas gong si bolong tentang warisan budaya takbenda mereka, dan juga karena komunitas gong si bolong memiliki anggota yang terdiri dari berbagai generasi, maka peneliti ingin membandingkan persepsi generasi tua dan generasi muda yang ada dalam komunitas tersebut.
METODE PENELITIAN
Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Menurut Rahardjo (2017) studi kasus ialah suatu serangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam tentang suatu program, peristiwa, dan aktivitas, baik pada tingkat perorangan, sekelompok orang, lembaga, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan mendalam tentang peristiwa tersebut. Studi kasus yang digunakan adalah studi kasus kualitatif.
Metode yang akan digunakan untuk pemerolehan data adalah dengan menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik wawancara diperlukan adanya instrumen penelitian meliputi sejumlah pertanyaan yang akan diajukan kepada narasumber, observasi atau pengamatan langsung dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh komunitas Gong Si Bolong, sedangkan dokumen meliputi catatan harian kegiatan Gong Si Bolong, surat-surat, laporan resmi atau publikasi kegiatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengetahuan antargenerasi tentang Gong Si Bolong
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan persepsi antar generasi tua dan muda terkait aspek pengetahuan tentang tradisi. Generasi tua memiliki persepsi yang lebih mendalam tentang kesejarahan tradisi dan alasan-alasan dari perkembangan tradisi, hingga ke hal-hal mistis yang melingkupi tradisi. Berbeda dengan generasi muda yang hanya mengetahui dalam asal usul tradisi secara singkat dan tidak peduli dengan hal-hal mistis atau kepercayaan yang terkait dengan tradisi ini.
Hal ini selaras dengan penelitian Rahmawati dan Sabardila (2022) yang membahas tradisi Kenduren di desa Banyuanyar dan menemukan bahwa sebagian warga tidak lagi mempercayai cerita orang tua zaman dahulu. Sebaliknya, generasi tua yang ada pada komunitas tersebut memiliki banyak pengetahuan tentang asal usul dari kesenian ini. Tidak hanya tempat dan tahun ditemukan, mereka juga mengetahui kronologi yang terjadi pada saat itu dan terlihat memang mempercayainya. Terlihat bagaimana mereka juga menceritakan asal usulnya dari berbagai sumber yang mereka dengar dan tahu, tanpa memfilter cerita tersebut.
Kesenjangan ini tentu dapat dijelaskan karena aspek durasi keterlibatan dengan tradisi dan fase modernisasi yang membuat generasi muda memiliki lebih banyak referensi hiburan alih-alih memberikan perhatian pada tradisi lokal yang sudah tidak banyak hadir di ruang publik. Riset ini juga menunjukkan bahwa generasi muda lebih memperhatikan perkembangan yang ada pada komunitas dalam aspek keanggotaan komunitas yang semakin sedikit.
Yang menarik saat ini adalah adanya unsur shalawat dalam pertunjukan GSB. Bagi generasi muda ini adalah contoh bagaimana tradisi ini mengalami pergeseran dari tradisi lalu. Meski generasi tua tidak terlalu menganggap sebuah pergeseran. Hal ini diasumsikan karena praktik shalawat masih dekat dengan para generasi tua yang semakin religius. Sehingga perubahan ini seakan terjadi secara halus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan orientasi hidup generasi tua yang semakin religius.