Merayakan Hari Persahabatan, saya teringat janji kepada Bie Lei yang belum saya penuhi. Saat mengajak saya pulkam bareng, Bie Lei bercerita bahwa salah satu agenda kami adalah foto-foto di sekolah.
“Nanti kita pakai seragam, terus kita foto-foto di sekolah,” katanya. “Kamu tulis artikel buat kenang-kenangan ya.”
Meskipun belum dapat membayangkan seperti apa rencana Bie Lei untuk acara foto-foto di sekolah, saya mengiyakan permintaannya. Saya memang ingin membuat sebanyak mungkin catatan dari perjalanan pulkam kali ini.
Kunjungan ke sekolah kami lakukan pada tanggal 3 Juli 2023. Awalnya, kami berkumpul di depan gedung TK/SD Methodist pada jam yang ditentukan.
Sesuai kesepakatan bersama, kami tidak mengenakan seragam sekolah. Sebagai gantinya, kami sepakat memakai baju putih dan bawahan bebas.
Saat kami tiba, pintu gerbang sekolah dalam posisi terkunci. Akhirnya, kami sepakat naik becak menuju gedung SMP/SMA Methodist di Jalan Utama. Beruntung, kepala sekolah SMP berkenan menerima kami.
Sejarah Sekolah Methodist Bagansiapiapi
Karena artikel ini saya tulis dalam rangka merayakan Hari Persahabatan dengan teman-teman SD, tidak ada salahnya mengenang kembali sejarah sekolah yang mempertemukan kami.
Sekolah Methodist Bagansiapiapi didirikan pada tahun 1922 dengan nama “光华学校”(Guang Hua Xue Xiao). Pada saat didirikan, sekolah ini hanya memiliki jenjang SD. [1]
Sempat ditutup pada tahun 1930, sekolah dibuka kembali pada tahun 1932 dengan nama “美华学校” (Mei Hua Xue Xiao/ Bi Hua).
Pada awalnya, gedung gereja digunakan sebagai sekolah. Mengingat kebutuhan akan tempat yang lebih luas, pada tahun 1938 dibentuk panitia pembangunan yang dipimpin oleh misionaris dari Swedia.
Dari hasil pengumpulan dana, dibangun gedung gereja dan pastori, serta bagian depan TK dan SD yang berjumlah 4 kelas. Peresmian gedung gereja dan kelas tersebut dilakukan pada tanggal 11 Agustus 1940.
Pada tahun 1941, saat terjadi Perang Dunia II, gereja dan sekolah ditutup. Gedungnya digunakan untuk markas tentara penjajah.
Setelah Jepang kalah perang, gedung tersebut dikembalikan pada bulan November 1945 dalam keadaan rusak. Diperlukan dana yang sangat besar untuk merehabilitasi bangunan gereja dan sekolah, namun kondisi ekonomi pada saat itu masih terpuruk.
Pencarian dana untuk rehabilitasi gedung dimulai kembali pada tahun 1947. Proses rehabilitasi gedung gereja dan sekolah dilakukan pada tahun 1948. Pada tahun 1949, sekolah kembali dibuka.
Pada tanggal 15 Januari 1958, setelah sekian lama menyandang nama Bi Hua, nama sekolah berganti menjadi Methodist.
Saya bergabung di SD Methodist pada awal Januari 1971, sebagai siswi SD kelas 3. Sebelumnya, saya bersekolah di SD Andalas.
Saya tidak tahu siapa yang memutuskan untuk memindahkan saya dari SD Andalas ke SD Methodist. Apakah kakek, nenek, atau ibu saya.
Saya juga tidak tahu apa pertimbangkan mereka memindahkan saya. Yang saya tahu, di SD Methodist inilah saya diperkenalkan kepada Sahabat Sejati yang rela menyerahkan diri bagi para sahabat-Nya.
Hanya 5 tahun saya bersekolah di sekolah yang sama dengan teman-teman seperjalanan saya. Dari kelas 3 SD sampai kelas 1 SMP.
Naik ke kelas 2 SMP, pada bulan Januari 1976, ibu memutuskan untuk membawa saya ke Jakarta. Saya pun hilang kontak dengan sebagian besar teman-teman sekolah.
Ya, pada era 1970-an, komunikasi belum semudah saat ini. Satu-satunya sarana komunikasi hanya berkirim surat via pos. Hal itu hanya saya lakukan dengan beberapa teman dekat saja.
Perjalanan Pulang Kampung Bersama
Tidak pernah saya duga, hampir 50 tahun kemudian, kami dapat melakukan perjalanan pulang kampung bersama. Yang lebih menggembirakan, kami kembali berkumpul di sekolah yang mempertemukan kami, mengenang kembali masa kecil yang indah.
Bie Lei membawa cucunya, Rani membawa anaknya, saya bersama anak dan menantu yang kami daulat untuk menjadi seksi dokumentasi.
Bagaimana rasanya pulkam bersama teman-teman yang selama puluhan tahun tidak berjumpa dan hanya saling bertegur sapa via WAG dalam beberapa tahun terakhir ini? Awalnya, saya sempat merasa ragu, terlebih karena sesungguhnya saya adalah introver sejati.
Saya lebih menyukai kesendirian. Banyak orang menyebut saya si pendiam yang susah dimengerti. Suasana yang terlalu ramai bisa membuat saya merasa terganggu dan sangat lelah.
Ternyata keraguan saya tidak beralasan. Perjalanan kali ini menjadi selingan yang cukup menyegarkan di tengah hari-hari saya yang akhir-akhir ini terlalu penuh dengan kesibukan kerja.
Rasanya benar-benar kembali ke bangku sekolah. Duduk manis di kursi-kursi yang tersusun rapi dalam kelas, mendengarkan cerita kepala sekolah SMP Methodist saat ini, layaknya murid-murid yang sedang mengikuti pelajaran.
Ada sebuah cerita beliau yang menyentuh hati. "Saat ini, kami tidak mengutip uang pembangunan dari para murid. Mengapa? Karena para alumni yang murah hati telah memberi bantuan yang cukup untuk sarana fisik di sekolah. Namun demikian, saya ingin mengetuk hati bapak/ibu jika berkenan menjadi orangtua asuh untuk membiayai uang sekolah sebagian murid yang masih membutuhkannya."
Beberapa orang teman bahkan tidak melewatkan kesempatan bermain basket di lapangan. Menantu saya pun tidak mau ketinggalan.
Grup kami memang hanya sekitar 20 orang. Mungkin karena skalanya relatif kecil, tidak terlalu sulit bagi saya, si introver ini, untuk melebur.
Dengan berusaha tersenyum dan menyapa, mengajukan pertanyaan dan mendengarkan dengan penuh perhatian ketika teman bercerita, ternyata saya dapat menikmati perjalanan ini.
Perjalanan nostalgia yang kelak akan menjadi nostalgia itu sendiri. Selamat Hari Persahabatan untuk semua teman saya di mana pun berada.
***
30 Juli 2023
Siska Dewi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H