Ya, pada era 1970-an, komunikasi belum semudah saat ini. Satu-satunya sarana komunikasi hanya berkirim surat via pos. Hal itu hanya saya lakukan dengan beberapa teman dekat saja.
Perjalanan Pulang Kampung Bersama
Tidak pernah saya duga, hampir 50 tahun kemudian, kami dapat melakukan perjalanan pulang kampung bersama. Yang lebih menggembirakan, kami kembali berkumpul di sekolah yang mempertemukan kami, mengenang kembali masa kecil yang indah.
Bie Lei membawa cucunya, Rani membawa anaknya, saya bersama anak dan menantu yang kami daulat untuk menjadi seksi dokumentasi.
Bagaimana rasanya pulkam bersama teman-teman yang selama puluhan tahun tidak berjumpa dan hanya saling bertegur sapa via WAG dalam beberapa tahun terakhir ini? Awalnya, saya sempat merasa ragu, terlebih karena sesungguhnya saya adalah introver sejati.
Saya lebih menyukai kesendirian. Banyak orang menyebut saya si pendiam yang susah dimengerti. Suasana yang terlalu ramai bisa membuat saya merasa terganggu dan sangat lelah.
Ternyata keraguan saya tidak beralasan. Perjalanan kali ini menjadi selingan yang cukup menyegarkan di tengah hari-hari saya yang akhir-akhir ini terlalu penuh dengan kesibukan kerja.
Rasanya benar-benar kembali ke bangku sekolah. Duduk manis di kursi-kursi yang tersusun rapi dalam kelas, mendengarkan cerita kepala sekolah SMP Methodist saat ini, layaknya murid-murid yang sedang mengikuti pelajaran.
Ada sebuah cerita beliau yang menyentuh hati. "Saat ini, kami tidak mengutip uang pembangunan dari para murid. Mengapa? Karena para alumni yang murah hati telah memberi bantuan yang cukup untuk sarana fisik di sekolah. Namun demikian, saya ingin mengetuk hati bapak/ibu jika berkenan menjadi orangtua asuh untuk membiayai uang sekolah sebagian murid yang masih membutuhkannya."
Beberapa orang teman bahkan tidak melewatkan kesempatan bermain basket di lapangan. Menantu saya pun tidak mau ketinggalan.