Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Resiliensi Lansia di Dunia yang Berubah

1 Oktober 2022   10:44 Diperbarui: 1 Oktober 2022   14:07 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lansia (Sumber: Shutterstock)

Hari Lansia Internasional tahun ini bertema “Resiliensi Lansia di Dunia yang Berubah”. Mengapa resiliensi lansia diangkat menjadi tema?

Ada banyak tantangan nyata di dunia yang terus berubah saat ini. Sebut saja Pandemi COVID-19, perang Ukraina vs. Rusia dan meningkatnya jumlah konflik di berbagai belahan dunia, perubahan iklim dan tantangan sosial ekonomi termasuk krisis bahan bakar dan energi. 

Banyak lansia berhasil menavigasi tantangan-tantangan tersebut dengan sukses. Mereka adalah lansia yang memiliki resiliensi. Tema Hari Lansia tahun ini mengajak kita mendengarkan suara kaum lansia dan mengakui kebijaksanaan, pengetahuan, serta pengalaman mereka.

Apa Itu Resiliensi

American Psychological Association (APA) mendefinisikan resiliensi sebagai “proses dan hasil dari keberhasilan beradaptasi dengan pengalaman hidup yang sulit atau menantang, terutama melalui fleksibilitas mental, emosional, dan perilaku serta penyesuaian terhadap tuntutan eksternal dan internal.” [1]

Melansir Psychiatric Times, resiliensi dapat diamati dari respons manusia terhadap tantangan yang dihadapinya. Sebagai contoh, kegagalan bisa menjadi pengalaman yang menghancurkan bagi beberapa orang; namun, orang lain mungkin melihatnya sebagai momen berharga yang membuka jalan menuju pertumbuhan dan peningkatan pribadi. [2]

Beberapa penelitian menunjukkan heritabilitas resiliensi berkisar antara 33% dan 52%. Namun demikian, pola asuh juga berperan penting. Anak-anak yang terpapar tingkat stres yang lebih tinggi, lebih rentan terhadap penyakit mental. Dengan demikian, kebijaksanaan, resiliensi, dan kesehatan mental yang lebih baik diusahakan dengan berbagi pelajaran pengalaman hidup dari generasi tua ke generasi yang lebih muda. [3]

3 Langkah Meningkatkan Resiliensi

Meskipun resiliensi dapat dipupuk melalui pola asuh yang baik, seringkali kita temui lansia dengan resiliensi yang rapuh. Perspektif negatif dan penolakan untuk menjadi tua mungkin menjadi penyebabnya.

Mereka juga mungkin kewalahan dengan kesepian dan kesedihan. Kehilangan pasangan dan teman, semakin jarang bertemu dengan anggota keluarga, dan tidak lagi terlibat dalam aktivitas, dapat menjadi pengalaman yang mengecilkan hati bagi siapa pun.

Sebagai pralansia, saya merasa perlu mempersiapkan diri untuk mulai belajar meningkatkan resiliensi. Dari beberapa bacaan dan pengalaman yang saya amati, berikut adalah 3 langkah yang menurut saya dapat meningkatkan resiliensi memasuki masa lansia.

Pertama, membangun koneksi yang sehat

Beberapa tahun yang lalu, saya dan seorang sepupu menggagas ide membuat grup WhatsApp (WAG) sebagai ruang kumpul virtual bagi seluruh keluarga besar yang ingin bergabung. Seorang tante (adik kedua ayah saya), sudah berusia sekitar 70-an tahun pada saat itu.

Hingga kini, dalam usia yang sudah genap 77 tahun, beliau menjadi salah satu anggota yang aktif berbagi. Salah satu yang saya kagumi, beliau cukup rajin berbagi video yang dibuat oleh “Bagansiapiapi Tempo Dulu”, salah satu komunitas pemerhati sejarah dan budaya di kampung halaman saya.

Resiliensi lansia di dunia yang berubah | sumber foto: apa.org
Resiliensi lansia di dunia yang berubah | sumber foto: apa.org

Dengan langkah sederhana itu, beliau telah memperkenalkan sejarah dan budaya Bagansiapiapi kepada generasi muda di WAG keluarga besar kami. Sebuah langkah inspiratif yang pantas dihargai.

Saya juga mulai berusaha menghadiri undangan reuni dari teman-teman lama yang selama ini kurang saya ikuti karena kesibukan kerja. Selain itu, bergabung dengan beberapa komunitas, bagi saya merupakan kebahagiaan tersendiri.

Saya percaya, membangun koneksi yang sehat dengan keluarga besar dan teman-teman memberi kesempatan untuk saling memperhatikan dan saling mendukung dalam kesusahan. Pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan kebahagiaan dan resiliensi.   

Kedua, menerima krisis sebagai bagian dari hidup

Ilustrasi membangun jembatan, mengatasi krisis | sumber foto: Psychiatric Times
Ilustrasi membangun jembatan, mengatasi krisis | sumber foto: Psychiatric Times

Ingat ungkapan “this too shall pass”? Filosofi ini mengingatkan bahwa kesusahan seberat apapun, akan berlalu.

Dari pembicaraan saya dengan beberapa orang lansia, krisis yang paling besar adalah ketika pasangan berpulang. Cukup banyak juga yang mengalami pergumulan dalam masa transisi dari pekerja aktif ke masa pensiun.

Saya sendiri cukup banyak bergumul ketika mendampingi ibu saya yang menderita penyakit serius hingga beliau wafat. Ibu yang selama seperempat abad mendukung saya, sehingga dapat bekerja di kantor dengan tenang, tiba-tiba memerlukan saya untuk mendampingi beliau 24 jam dalam sehari.

Dukungan dari atasan yang mengizinkan saya bekerja dari rumah sakit (waktu itu belum ada pandemi Covid-19 dan WFH maupun WFA belum menjadi tren), dukungan dan perhatian dari keluarga besar, serta dukungan dan doa dari para sahabat membantu saya melalui krisis tersebut.

Hidup mungkin tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan. Sikap menerima krisis sebagai bagian dari hidup dan meyakini bahwa kesusahan seberat apapun, akan berlalu, akan membantu kita melalui krisis tersebut.

Ketika kita berhasil melalui suatu krisis, ada hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik. Hal itu membuat kita lebih resilien ke depannya.

Ketiga, memulai perjalanan menerima diri

Menjadi tua adalah suatu keniscayaan. Penuaan yang hadir dengan segala kelemahan dan keterbatasan fisik, sungguh tidak dapat dicegah.

Khawatir tentang situasi ini tidak mengubahnya. Penolakan terhadap proses penuaan hanya melahirkan rasa tidak berdaya.

Saya menyadari banyaknya kekeliruan dan hal-hal negatif yang telah saya buat sepanjang perjalanan hidup. 

Tidak jarang saya berandai-andai, berpikir bahwa kondisi atau hubungan dengan seseorang mungkin akan menjadi lebih baik jika saya melakukan sesuatu yang berbeda dari yang telah saya lakukan.

Dalam perjalanan menerima diri, saya menyadari bahwa ada banyak hal yang tidak berada dalam kendali saya. Berusaha menerima ketidaksempurnaan diri membantu saya pelan-pelan lepas dari sifat perfeksionis dan kecenderungan menyalahkan diri sendiri. Saya masih berjuang untuk itu.

Wasana Kata

Tiga langkah di atas adalah usaha saya untuk meningkatkan resiliensi sebagai seorang pralansia. Saya percaya, masih ada banyak langkah yang lain, yang mungkin akan saya pelajari dalam perjalanan selanjutnya.

Kepada seluruh warga senior yang membaca artikel ini, saya ucapkan “Selamat Hari Lansia Internasional”. Semoga Anda senantiasa sehat dan bahagia.

Jakarta, 01 Oktober 2022

Siska Dewi

Referensi: 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun