Menghormati leluhur, adalah salah satu bentuk kebajikan juga. Agenda ziarah ke makam buyut (kami memanggilnya 'A Co'), ibu dari kakek serta beberapa orang Cekong (adik dari kakek), menjadi bagian dari perjalanan kami ke Sinaboi kali ini.
Sedikit Catatan Kecil dari Sinaboi dan Refleksi
Banyak perubahan telah terjadi di Sinaboi setelah sekian dekade tidak kami kunjungi. Di masa kanak-kanak saya, jarak Bagansiapiapi dan Sinaboi hanya dapat ditempuh lewat jalur laut.
Tempat bersandar feri sekarang menjadi sedikit dari jalan papan yang masih tersisa. Sebagian besar jalan di Sinaboi kini berupa jalan beton.
Saat masih SD, beberapa kali saya berkunjung ke Sinaboi saat liburan sekolah. Salah satu yang saya ingat adalah rumah-rumah panggung. Sore hari saat air laut pasang, anak-anak dengan bebas berenang di depan rumah.
Kini, tidak banyak lagi rumah panggung yang tersisa. Sebagian rumah panggung telah berubah menjadi rumah walet.
Saat beristirahat di area pemakaman, kami sempat mendengar cerita abang ojek yang menggugah hati. Pernah ada penduduk yang mengidap darah tinggi. Suatu malam, penyakitnya kambuh.
Dengan kondisi jembatan kayu, ambulans tidak dapat masuk. Para tetangga lalu membawa pasien dengan gerobak untuk menyeberang jembatan, menuju ambulans yang akan membawanya ke Bagansiapiapi.
Apa daya, pasien tersebut menghembuskan nafas terakhir sebelum mencapai tempat ambulans menunggu. Kisah nyata tentang nasib orang-orang pinggiran yang sulit mengakses fasilitas kesehatan ini sungguh membuat hati trenyuh.
Peristiwa yang saya alami selama setengah hari di Sinaboi, sungguh membuat saya merasa terberkati. Saya bersyukur setelah perjalanan tersebut, saya tidak takut naik motor lagi.