Bagansiapiapi, mobil kami berhenti di jembatan kayu Sinaboi. Saya terkesiap melihat jembatan dengan panjang sekitar 103 meter. [1]
Setelah menempuh perjalanan sejauh 30 Km selama kurang lebih satu jam dari kotaUntuk masuk ke Sinaboi, kami harus menyeberangi jembatan tersebut. Harus diakui, saya takut.
Berjalan kaki menyeberangi jembatan kayu yang tidak rata dan sedikit rusak pada beberapa bagian, bagaimana jika saya jatuh? Apa yang akan terjadi jika saya tercebur ke dalam sungai?
Seorang pemuda mendekati kami, menawarkan ojek motor. Kami datang bertujuh, namun ojek motor yang tersedia hanya tiga.
Akhirnya disepakati bahwa tante, om, dan sepupu saya akan menyeberang terlebih dahulu. Setelah itu, dua ojek motor akan kembali dua kali untuk menjemput saya, anak saya, dan dua orang teman seperjalanan.
Sambil menunggu, saya sempat berbincang-bincang dengan seorang ibu. Beliau bercerita bahwa jembatan tersebut adalah satu-satunya jalan masuk ke Sinaboi.
Menurut ibu yang tidak ingin disebut namanya, jembatan Sinaboi memang sudah diperbaiki beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir ini. Sempat ada wacana membangun jembatan beton permanen, namun belum terealisasi karena besarnya anggaran.
Setelah menunggu beberapa lama, tibalah ojek motor yang akan menjemput saya. Sekali lagi hati saya diliputi keraguan.
Teringat suatu malam pada Maret 1986. Saat itu, kami bekerja lembur menyelesaikan SPT Tahunan para klien.
Malam itu, saya pulang dibonceng seorang kolega. Mungkin karena terlalu lelah, saya tertidur dalam perjalanan dan terjatuh.
Entah berapa lama saya tidak sadarkan diri. Ketika terbangun, saya sudah terbaring di ranjang rumah sakit.