Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Rumah Belajar RBK", Oase bagi Remaja Penyandang Disabilitas Intelektual

21 Maret 2022   07:00 Diperbarui: 22 Maret 2022   10:31 2252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senangnya menerima pembagian hasil usaha | dokumentasi Rumah Belajar RBK

Sejak tahun 2012, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Sindrom Down Sedunia (World Down Syndrome Day/WDSD). Hari ke-21 bulan ke-3 dipilih untuk menandakan keunikan triplikasi (trisomi) kromosom ke-21 yang menyebabkan sindrom down (1).

Melansir halodoc.com (2), tipe paling umum dari sindrom down adalah ketika ada tiga kromosom nomor 21 di setiap sel tubuh. Ini yang disebut trisomi kromosom ke-21. Jenis sindrom down ini mencapai 95 persen dari total kasus yang ada.

Normalnya, manusia memiliki 46 kromosom di setiap selnya, 23 diwarisi dari ibu dan 23 lainnya diwarisi dari ayah. Orang dengan kondisi sindrom down memiliki 47 kromosom di setiap selnya. Lalu, apa itu kromosom?

Kromosom adalah kumpulan DNA yang melingkar rapat dan terletak di dalam nukleus (inti sel) pada hampir setiap sel dalam tubuh. Kumpulan DNA ini merupakan molekul mirip benang yang membawa informasi herediter (turunan) dari mulai tinggi badan, warna kulit, hingga warna mata (3).

PBB dalam prinsip-prinsip umum Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UN CRPD) menyerukan partisipasi dan inklusi penuh dan efektif dalam masyarakat.

Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini di seluruh dunia, orang-orang dengan sindrom down dan penyandang disabilitas belum mendapatkan apa yang disebut partisipasi dan inklusi yang penuh dan efektif dalam masyarakat (4).

Orang dengan sindrom down sering disebut sebagai orang dengan disabilitas intelektual. Namun, tahukah Anda bahwa tidak semua disabilitas intelektual disebabkan oleh sindrom down?

Kiki, Terlahir Normal, Kini Menyandang Disabilitas Intelektual

Kiki, penyandang disabilitas intelektual yang terlahir normal | dokumentasi Made Wetane
Kiki, penyandang disabilitas intelektual yang terlahir normal | dokumentasi Made Wetane

Adalah Ignatius Chriseptian (Kiki), sulung dari pasangan suami isteri (pasutri) Made Wetane dan Erna Laksmana. Pemuda yang kini memasuki usia 29 tahun ini terlahir normal.

Tiga hari setelah kelahirannya, diketahui bahwa pencernaan Kiki tidak baik. Kiki divonis menderita penyakit hirschsprung.

Normalnya, saraf di usus besar berfungsi mengontrol pergerakan usus. Pergerakan usus besar inilah yang mendorong feses (tinja) keluar.

Namun, pada penyakit hirschsprung, saraf di usus besar tidak terbentuk dengan sempurna. Akibatnya, feses menumpuk di dalam usus besar (5).

Pada usia 10 hari, Kiki menjalani operasi besar. Ususnya dikeluarkan dari perut. Yang baik dipertahankan, yang buruk dibuang.

Terlahir dengan berat badan 4,3 kg, pada usia 7 bulan menjelang operasi besar kedua, berat badan Kiki tersisa 3,6 kg. Pada operasi kedua yang berlangsung selama 5-6 jam, semua usus besar dan sedikit usus halus Kiki, dibuang. Sisa ususnya di tarik ke lubang anus.

Meskipun operasi tersebut sudah direncanakan, ternyata mesin oksigen di rumah sakit (RS) terpakai semua saat Kiki memerlukannya. Pukul 2 dini hari, orangtua Kiki mendadak harus mencari RS yang ada mesin oksigen tersedia.

Pada saat itulah, Kiki sedikit mengalami kekurangan oksigen. Dia terselamatkan karena mendapat ICU khusus anak. Namun, perkembangan motorik, saraf, dan intelektualnya terganggu.

Kiki menjalani operasi ketiga untuk memotong kelebihan usus yang keluar dari lubang anus pada usia 10 bulan. Jadi, pada tahun pertama hidupnya, Kiki harus bolak-balik masuk RS.

Orangtua mana yang tidak sedih melihat penderitaan anak sulung mereka seperti ini? Namun, Made bersyukur bahwa Tuhan selalu memberi kekuatan kepadanya dan isteri di saat lemah.

Pasutri Made dan Erna menyadari bahwa anak adalah anugerah sekaligus amanah. Mereka tahu bahwa tidak semua keluarga mampu merawat anak disabilitas dan percaya bahwa Tuhan akan memberi mereka kekuatan dan kemampuan.

Kiki sempat masuk sekolah biasa. Karena tidak bisa mengikuti, orangtuanya memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa (SLB).

Mendirikan "Rumah Belajar RBK", Oase bagi Remaja Disabilitas Intelektual

Belajar membuat Rosario, bermain angklung, membuat kue kering | dokumentasi Rumah Belajar RBK
Belajar membuat Rosario, bermain angklung, membuat kue kering | dokumentasi Rumah Belajar RBK

Pada tahun 2014, Kiki lulus dari SLB. Melihat kemampuan anaknya yang terbatas, Made memahami bahwa sangat kecil kemungkinan dia akan diterima bekerja.

Made memberanikan diri mendirikan "Rumah Belajar RBK", singkatan dari Rumah Belajar Remaja Berkebutuhan Khusus. Ini adalah komunitas yang bertujuan memberdayakan remaja dengan disabilitas intelektual agar dapat tetap berkegiatan setelah menyelesaikan sekolah di SLB.

Awalnya, ada 5 anak yang terlibat bersama orangtua mereka. Made mensyaratkan orangtua ikut terlibat karena komunitas ini bukan sekolah, pun bukan tempat penitipan anak.

Para orangtua setuju bahkan berinisiatif bergotong royong memberikan iuran bulanan untuk membayar keamanan, kebersihan, dan lain-lain. Made tidak menentukan besaran iuran. Hal itu tergantung kesanggupan dan kerelaan para orangtua.

Mula-mula, para remaja diajari membersihkan rumah. Mereka belajar menyapu, mengepel, mengelap kaca, menyiram tanaman, membuat teh, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Hal itu dilatih setiap hari. Sesuatu yang mungkin belum pernah dilakukan para remaja tersebut di rumah mereka.

Seiring berjalannya waktu, Made mengajari mereka matematika dan bahasa Indonesia pada pagi hari. Mereka juga diajari mengenal uang, hari, bulan, tahun, jam, dan sebagainya.

Setelah istirahat, mereka diajari keterampilan dan tata boga secara bergantian. Proyek pertama adalah membuat gelang Rosario.

Ada teman Made yang mengetahui tentang komunitas ini dan memberi order. Ternyata hasilnya memuaskan. Order pun berlanjut beberapa kali.

Seiring berkembangnya kemampuan para remaja, mereka mencoba membuat kue kering. Made lalu menawarkan kepada teman-temannya.

"Tuhan tidak tidur," kata Made. "Ada teman saya yang order cukup banyak. Awalnya karena kasihan. Kue-kue tersebut dia bagikan kepada banyak orang. Ternyata mereka bilang rasanya enak, jadilah order berdatangan."

Kue kering produk Rumah Belajar RBK | dokumentasi Rumah Belajar RBK
Kue kering produk Rumah Belajar RBK | dokumentasi Rumah Belajar RBK

Oatmeal Cookies, salah satu produk unggulan | dokumentasi Rumah Belajar RBK
Oatmeal Cookies, salah satu produk unggulan | dokumentasi Rumah Belajar RBK

Tahun ke 3, Made berkenalan dengan "Precious One", sebuah komunitas tunarungu. Komunitas ini sudah mencoba rasa kue buatan "Rumah Belajar RBK" dan tertarik berkolaborasi.

Hampers, produk kolaborasi Rumah Belajar RBK dan Precious One | dokumentasi Rumah Belajar RBK
Hampers, produk kolaborasi Rumah Belajar RBK dan Precious One | dokumentasi Rumah Belajar RBK

"Setiap hari besar, kami menerima pesanan sampai ratusan toples. Puji Tuhan!" lanjut Made. "Semua keuntungan hasil penjualan kami bagikan kepada anak-anak."

"Mereka ada yang tidak tahu uang, tetapi kami tetap menghargai upaya mereka. Kami mau angkat derajat mereka lebih baik, dan beri mereka kesempatan yang sama dengan anak-anak normal. Kami tidak mau hanya berharap dari orang lain dan ingin memberdayakan anak-anak agar berani mencoba usaha sendiri," pungkasnya.

Senangnya menerima pembagian hasil usaha | dokumentasi Rumah Belajar RBK
Senangnya menerima pembagian hasil usaha | dokumentasi Rumah Belajar RBK

Pada hari-hari biasa, setiap hari mereka mengerjakan order rutin untuk mengemas sendok dan tisu dalam kantong plastik. Ini adalah order dari sebuah katering. Setiap bulan, mereka harus menyelesaikan 25.000 paket.

Wasana Kata

Di "Rumah Belajar RBK", para remaja berasal dari berbagai latar belakang. Agama mereka pun berbeda-beda. Made mengajari mereka toleransi.

Bukan itu saja. Mereka juga diajari berbagi dari keuntungan yang diperoleh. Mereka pernah berbagi sembako untuk satpam, tukang sampah, tukang sapu, dan lansia di kompleks.

Made sungguh bersyukur bahwa banyak hati yang tergerak dan ikut membantu. Bayangkan Anda melihat sekelompok remaja penyandang disabilitas intelektual berbagi sembako kepada hampir 100 orang. Mereka menjamu para pekerja kompleks, melayani, dan membawa makanan ke meja makan.

Bagi saya, "Rumah Belajar RBK" ini sungguh sebuah oase bagi para remaja penyandang disabilitas. Menyaksikan hasil karya dan menikmati kue-kue kering buatan mereka, jiwa saya melambungkan pujian bagi Tuhan yang telah menciptakan keajaiban ini.

Drg. Rantini, sahabat saya sejak SD, tak henti bercerita tentang rasa terima kasihnya kepada pasutri Made dan Erna yang begitu tulus membantu remaja berkebutuhan khusus dengan membangun Rumah Belajar RBK. Chrisdo Yonnesky (Ido), putra bungsu Rantini, adalah salah satu anak didik yang mendapat kesempatan bertumbuh bersama Rumah Belajar RBK.

Rantini sungguh bersyukur bahwa putra bungsunya kini tumbuh menjadi anak yang mandiri. Kami berharap, semoga semakin banyak orang baik yang tergerak untuk mendukung kiprah Rumah Belajar RBK dalam memberdayakan remaja berkebutuhan khusus.

***

Semua foto dalam artikel ini digunakan dengan seizin Bapak Made Wetane, pendiri Rumah Belajar RBK

***

Jakarta, 21 Maret 2022

Siska Dewi

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun