Seiring bertambahnya pengalaman akan kesetiaan, kasih dan penyelenggaraan ilahi, saya belajar berserah diri dalam setiap refleksi. Saya belajar membiarkan Dia memegang kendali atas hidup saya.
Kedua, mengatur ulang urutan prioritas  Â
Setelah mengambil jeda, saya merasa lebih damai. Dalam situasi emosi yang lebih tenang, saya dapat melihat lebih jernih kondisi yang saya hadapi.
Ada saatnya saya harus meletakkan pekerjaan di bawah keluarga dalam urutan prioritas saya. Sebagai contoh, ketika ibu saya dirawat inap selama hampir tiga bulan, saya meminta izin dari atasan agar dapat bekerja dari rumah sakit.
Saya bersyukur memiliki atasan yang sangat memerhatikan kesejahteraan psikologis saya. Beliau memahami posisi saya sebagai anak tunggal dari seorang ibu tunggal dan memberi dukungan yang luar biasa.
Pada saat yang lain, pekerjaan dan keluarga dapat bertukar tempat. Ini terjadi ketika saya harus menghadiri pertemuan penting dengan relasi bisnis yang diadakan setelah jam kerja. Acara tersebut bertepatan waktunya dengan rencana makan malam bersama keluarga dalam rangka hari ulang tahun salah seorang anak saya.
Saya bersyukur memiliki suami dan anak-anak yang memahami kondisi saya. Mereka sepakat menjadwal ulang acara makan malam yang sudah direncanakan beberapa waktu sebelumnya tanpa saya minta dan tanpa membuat saya merasa bersalah.
Ketiga, senantiasa bersyukur dalam segala perkara
Rasa syukur membantu saya mencukupkan diri dengan apa yang ada. Rasa syukur membantu saya menerima hal-hal yang tidak menyenangkan.
Saya termasuk orang yang overthinking dan sering khawatir tentang banyak hal. Belajar bersyukur membantu saya mengatasi kekhawatiran tersebut.
Hal ini tidak berarti saya tidak pernah lagi khawatir. Namun, setiap kali kekhawatiran datang menghinggapi, saya akan menarik nafas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan.