WLB tidak demikian. WLB adalah sebuah proses yang harus kita jalani secara terus-menerus seiring dengan berkembangnya keadaan dan prioritas kita.
Sebagai contoh, orang akan menaruh perhatian dan usaha lebih untuk domain yang paling penting baginya. Jika ia menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama, ia cenderung memberi lebih banyak perhatian pada domain ini.
Orang yang menjadikan pekerjaan sebagai prioritas utama mungkin mengalami WLB meskipun dia menghabiskan waktu berjam-jam di tempat kerja dan tidak mampu mencurahkan cukup waktu atau energi untuk keluarga maupun spiritualitas dan kesehatannya.
Sebaliknya, orang yang lebih memprioritaskan keluarga, mungkin mengalami work-life imbalance jika dihadapkan pada kondisi yang sama. Pengalaman mengajarkan kepada saya bahwa prioritas kita pun dapat berubah seiring perubahan kondisi yang kita hadapi.
Pada awal karier, saya sering lembur dan tidak mengenal WLB
Pada awal perjalanan karier, saya tidak mengenal WLB. Saya berdoa dan pergi ke gereja, namun tidak menjadikan domain spiritualitas sebagai prioritas utama.
Saya juga tidak terlalu memusingkan cara hidup sehat. Bagi saya, jika saya tidak jatuh sakit hingga tidak dapat bangun dari tempat tidur, berarti saya sehat-sehat saja.
Saya merasa menyimpan tiga bola dan hanya memainkan dua yang lainnya. Namun, siapakah keluarga saya pada saat itu?
Keluarga saya pada saat itu hanya satu orang, yakni ibu saya, yang selalu mendorong saya agar sukses dalam karier. Tidak heran jika pekerjaan menjadi prioritas utama saya.
Dapat diduga, bekerja lembur tidak membuat saya merasa tidak sejahtera. Namun perlu dicatat bahwa saya tidak kecanduan kerja.
Saya hanya ingin memberikan yang terbaik bagi pekerjaan dan menyenangkan hati ibu saya. Bonusnya, karier saya berkembang dan saya merasa hidup lebih bermakna.