Masa puber adalah masa ketika remaja mengeksplorasi hubungan dengan teman sebaya, baik sebagai teman maupun pasangan romantis. Beberapa orangtua mungkin antusias menanti anak memperkenalkan pasangan romantis kepada mereka.
Tantangan muncul ketika anak remaja Anda tertarik pada orang dari jenis kelamin yang sama. Bagaimana orangtua menyikapinya?
Dilansir dari laman Alodokter, pola ketertarikan seseorang secara seksual ataupun emosional kepada individu lainnya dengan jenis kelamin tertentu disebut orientasi seksual.
Perjalanan seseorang untuk memahami, mengakui dan berbagi informasi tentang orientasi seksualnya yang "berbeda" disebut "coming out". Bagi sebagian orang, perjalanan ini mungkin cepat dan mudah. Bagi orang lain, mungkin lebih lama dan lebih sulit.Â
The American Association of Pediatrics (AAP) membagi perjalanan ini menjadi empat tahapan.
Aku merasa "berbeda" dari anak-anak yang lain ....
Orientasi seksual yang dianggap paling umum adalah perasaan romantis kepada lawan jenis. Sebagai contoh: pria tertarik kepada wanita atau wanita tertarik kepada pria.
Namun, ada beberapa remaja yang merasa "berbeda". Mereka tertarik kepada sesama jenis, kepada lawan jenis sekaligus sesama jenis, atau kepada transgender.
Dapat dipahami jika remaja yang merasa berbeda ini juga merasa takut atau gugup. Beberapa di antara mereka dapat merasa terisolasi dari teman sebayanya.
Mungkin aku adalah gay (atau lesbian, bi, atau trans), tetapi aku tidak yakin, dan aku tidak tahu bagaimana perasaanku ...
Selain merasa berbeda, beberapa remaja mulai bertanya-tanya apakah mungkin mereka "gay" (atau lesbian, bi atau trans) atau label lain. Saat pertama kali berpikir demikian, perasaan mereka mungkin campur aduk.Â
Beberapa remaja mungkin mencoba menekan perasaan ini untuk memenuhi harapan masyarakat atau menyesuaikan diri. Mungkin juga mereka menekan perasaan ini agar tidak mengecewakan orangtua atau keluarga mereka.
Dengan menekan perasaan ini, mereka mungkin menjadi kewalahan. Hal ini meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya. Misalnya, mereka mungkin mengasingkan diri dari orang lain karena takut diekspos atau "dikucilkan".
Aku menerima bahwa diriku adalah gay, tetapi apa kata keluarga dan teman-temanku?
Dalam perkembangannya, beberapa remaja mungkin menerima orientasi seksual mereka yang berbeda tetapi belum siap membagikan informasi ini kepada siapa pun. Mereka mungkin bertanya-tanya bagaimana reaksi keluarga dan teman-teman mereka.Â
Para remaja ini mungkin membuka diri kepada komunitas online atau teman sebaya yang mereka anggap dapat menerima, sebelum memberi tahu keluarga mereka.
Aku telah memberi tahu sebagian besar keluarga dan temanku bahwa aku adalah gay (atau lesbian, bi, atau trans)
Setelah merasa cukup aman dan dapat menerima jati dirinya, para remaja akan berbagi informasi itu dengan orang-orang yang dicintai. Hal ini tentu membutuhkan keberanian dan kekuatan, terutama bagi remaja yang tidak yakin bagaimana tanggapan keluarga mereka.
Mereka mungkin takut mengecewakan atau membuat marah keluarga. Dalam beberapa kasus, mereka mungkin takut disakiti secara fisik atau diusir dari rumah. Sekali lagi, orangtua juga membutuhkan waktu untuk menghadapi berita seperti ini.
Meskipun mungkin perlu berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk memahami orientasi seksual anak, penting bagi orangtua untuk menunjukkan cinta dan dukungan kepada anak.Â
Bahkan jika orangtua tidak dapat menerima hal tersebut pun, menunjukkan dukungan dan cinta kepada anak tetap perlu dilakukan. Dilansir dari laman AAP, di bawah ini beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua dalam menyikapi "coming out" anak mereka.
Belajar memahami dengan cinta
Saat mengungkapkan orientasi seksual yang berbeda, anak mungkin mengharapkan orangtua segera menerima dan memahami kondisi mereka. Bagi anak, merasa dicintai dan diterima apa adanya adalah hal yang sangat penting.
Namun, orangtua mungkin perlu melalui proses sebelum dapat menerima dan memahami orientasi seksual, pikiran, dan perasaan anak. Proses tersebut mungkin mencakup tahapan keterkejutan, penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, dan penerimaan.
Terlepas dari apakah orangtua dapat menerima orientasi seksual anak yang berbeda atau tidak, enam langkah di bawah ini diharapkan dapat membantu orangtua agar dapat tetap menunjukkan cinta dan memberi ruang untuk kesehatan mental anak mereka.
Pertama, saat anak mengungkapkan orientasi seksualnya kepada Anda, tanggapi dengan cara yang mendukung. Pahami bahwa orientasi seksual sering kali terungkap seiring waktu ketika orang menemukan lebih banyak tentang diri mereka sendiri.
Kedua, terima dan cintai anak Anda apa adanya. Cobalah untuk memahami apa yang mereka rasakan dan alami. Bahkan jika ada perbedaan pendapat, mereka membutuhkan dukungan dan validasi Anda untuk berkembang menjadi remaja dan dewasa yang sehat.
Ketiga, bela anak Anda ketika mereka dirisak. Anda tidak dapat meminimalkan tekanan sosial atau risakan yang mungkin dihadapi anak Anda. Yang dapat Anda lakukan adalah membantu mereka menghindari dan mengatasi perisakan.
Keempat, jelaskan bahwa cercaan atau lelucon mengenai orientasi seksual tidak dapat ditoleransi. Ekspresikan ketidaksetujuan Anda terhadap jenis lelucon atau cercaan ini ketika Anda menemukannya di komunitas atau media.
Kelima, waspadai tanda-tanda bahaya yang mungkin mengindikasikan perlunya dukungan kesehatan mental, seperti kecemasan, rasa tidak aman, depresi, harga diri rendah, dan masalah emosional apa pun pada anak Anda.
Keenam, cari dukungan dan pendampingan dari psikolog jika Anda merasa perlu. Penting bagi anak untuk mengetahui bahwa mereka tidak sendirian.
Memahami pentingnya dukungan untuk kesehatan mental anak
Dukungan atau penolakan dapat sangat memengaruhi kemampuan anak muda untuk secara terbuka berbagi atau mendiskusikan perasaan mereka. Orangtua perlu memahami bahwa orientasi seksual yang berbeda bukanlah gangguan mental.
Penolakan dari keluarga dapat memengaruhi kesehatan dan perkembangan emosional anak dan mungkin meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya.
The Trevor Project, sebuah organisasi pencegahan bunuh diri dan intervensi krisis untuk kaum muda LGBTQ, melakukan survei pada tanggal 13 Oktober hingga 31 Desember 2020. Survei dilakukan terhadap sekitar 35.000 LGBTQ usia 13-24 tahun di seluruh Amerika.
Hasil survei yang diumumkan pada bulan Mei 2021 mengungkapkan bahwa remaja LGBTQ memiliki risiko bunuh diri yang lebih besar dibandingkan anak lain seusia mereka, terutama jika mereka mengalami diskriminasi.
Dalam sebuah wawancara dengan ABC News, Amy Green, psikolog klinis yang menjadi wakil presiden penelitian untuk the Trevor Project berkata, "Kalau saja ada satu orang dewasa yang menerima anak muda LGBTQ dalam hidup mereka, hal itu akan memperkecil kemungkinan percobaan bunuh diri anak muda tersebut. Kami ingin mengetuk hati Anda untuk menjadi satu orang itu."
Beberapa teman saya yang memiliki orientasi seksual berbeda, mengendalikan kecenderungan tersebut dengan cara mendekatkan diri pada Tuhan dalam doa dan ibadah sesuai iman dan kepercayaan masing-masing. Dengan mendekatkan diri pada Sang Ilahi, mereka merasa dikasihi.Â
Sebuah artikel pada laman katolisitas.org menerangkan bahwa kecenderungan homoseks dalam diri bukanlah dosa. Akan menjadi dosa ketika kecenderungan itu diwujudkan dalam tindakan homoseksual.
Alangkah indahnya jika orangtua dapat membimbing agar anak dengan kecenderungan homoseks tidak melakukan hubungan seksual sesama jenis dan tetap serius dalam komitmen untuk menjaga kemurniannya. Â Â
Ya, anak LGBTQ, seperti semua anak lainnya, membutuhkan dukungan, cinta, dan perhatian dari keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketika didukung dan dicintai saat mereka tumbuh dan berkembang, mereka akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang bahagia dan sehat.
Jakarta, 15 Agustus 2021
Siska Dewi
Referensi: satu, dua, tiga, empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H