cara untuk berpura-pura sakit. Kami pun urun rembuk membahas cara mengatasi kenakalan tersebut.
Suatu ketika, dalam sebuah pembicaraan dengan beberapa orang teman, terbetik kabar bahwa pegawai memiliki banyakSeorang teman mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Industrial Psychology Consultants (Pvt) Ltd (IPC), perusahaan konsultan manajemen sumber daya manusia. Sebuah penelitian yang dilakukan IPC pada tahun 2019 menyimpulkan dua alasan utama pegawai berpura-pura sakit.
Pertama, pegawai berpura-pura sakit karena sistem manajemen yang buruk serta lingkungan kerja yang tidak bersahabat.Â
Kedua, pegawai berpura-pura sakit karena majikan tidak membuat program yang cukup untuk menangani keseimbangan kehidupan kerja (work life balance).
Penelitian menunjukkan korelasi yang erat antara lingkungan kerja, keseimbangan kehidupan kerja dan kesehatan mental. Â Hayley Lewis, seorang psikolog okupasional, menganjurkan pegawai untuk jujur kepada atasan jika dirinya membutuhkan istirahat untuk memulihkan kesehatan mentalnya.
Tidak dapat dimungkiri, membicarakan kesehatan mental masih merupakan sesuatu yang dianggap tabu. Lebih mudah bagi seorang pegawai mengajukan cuti dengan alasan sakit fisik, dibandingkan alasan bahwa dia perlu beristirahat untuk memulihkan kesehatan mentalnya.
Bukan hanya berpura-pura sakit, dilansir dari BBC.com, pegawai seringkali melindungi kolega yang mereka ketahui sedang berpura-pura sakit. Sebuah survei di Inggris menemukan bahwa 66% responden tidak akan memberi tahu atasan jika mereka tahu kolega mereka absen, tetapi tidak sakit.
Memahami alasan di balik cuti sakit palsu akan membantu manajemen perusahaan di dalam memutuskan solusinya. IPC mencatat, ada 11 alasan yang memicu seseorang mengajukan cuti sakit palsu.
Bagian pertama, alasan yang terkait dengan pekerjaan dan lingkungan kerja
Pertama, budaya perusahaan
Beberapa perusahaan memberi tekanan kerja yang besar sehingga pegawai merasa sulit mengambil cuti. Tekanan yang besar ini dapat berupa keharusan bekerja berjam-jam tanpa banyak istirahat.
Hal di atas berpotensi membuat pegawai berpura-pura sakit agar dapat beristirahat dari semua tekanan pekerjaan. Ironisnya, sebuah penelitian yang dilakukan PayScale menemukan 37% pegawai memilih masuk kerja ketika benar-benar sakit dan berpura-pura sakit ketika mereka ingin bersenang-senang.
Kedua, kepemimpinan
Dalam survei yang dilakukan Com Res untuk BBC, ditemukan 58% responden merasa manajer mereka tidak siap untuk menangani sisi emosional bawahan. Chris Kerridge, seorang ahli employee engagement, mengatakan bahwa wajar jika pegawai tergoda untuk memalsukan cuti sakit karena atasan mereka tidak dapat diajak bicara.
"Perusahaan harus melatih manager agar memiliki keterampilan untuk mengidentifikasi tanda-tanda awal kelelahan bawahan. Dibutuhkan pertemuan tatap muka yang teratur untuk memastikan pegawai merasa percaya diri berbicara dengan atasan secara terbuka tentang masalah apa pun yang mereka hadapi." - Chris Kerridge
Ketiga, tidak cocok dengan rekan kerja atau atasan
Tidak semua pegawai senang bekerja dengan rekan kerjanya. Ada pegawai yang takut kepada rekan kerja sehingga mereka lebih suka berpura-pura sakit daripada harus menghadapi rekan kerja tersebut setiap hari.
Sebuah studi menemukan bahwa 1% pegawai berpura-pura sakit karena mereka tidak menyukai rekan kerja atau atasan mereka.
Keempat, stres terkait pekerjaan
Penelitian menunjukkan bahwa satu dari lima orang menderita stres tingkat tinggi terkait pekerjaan. Stres terkait pekerjaan menyebabkan semangat kerja yang rendah sehingga pegawai berpura-pura sakit.
85% responden merasa atasan mereka lebih cenderung berpikir bahwa cuti sakit karena pilek atau flu lebih wajar dibanding cuti sakit karena stres atau kecemasan.
Kelima, tingkat kepuasan terhadap lingkungan kerja
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pegawai yang tidak puas dengan pekerjaannya, lebih besar kemungkinan berpura-pura sakit agar tidak masuk kerja. Semangat mereka biasanya rendah, sehingga mereka merasa kurang termotivasi untuk pergi bekerja.
Dilansir dari International Business & Economic Research Journal, fenomena pegawai berpura-pura sakit karena alasan-alasan di atas dapat diatasi dengan penciptaan budaya perusahaan yang positif.
Peribahasa berkata, "karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Isu tentang pegawai yang merasa tidak cocok dengan kolega atau atasan tertentu agaknya jangan dipandang sebelah mata. Akar masalah harus ditemukan dan solusi harus diterapkan agar hal ini tidak berkembang menjadi toksik.
Menjadikan tempat kerja sebagai lingkungan yang positif dan ramah dapat menurunkan tingkat stres terkait pekerjaan dan meningkatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan faktor penting dalam mengurangi ketidakhadiran.
Program kesehatan juga telah terbukti membantu moral pegawai. Atasan dan rekan kerja yang mau mendengarkan dan mendukung, lingkungan kerja yang positif, membuat pegawai betah di sana.
Pada gilirannya, pegawai akan mengalami bahwa pekerjaan mereka tidak membuat depresi dan menguras sebagian dari hidup mereka. Mereka akan terpacu untuk berkolaborasi, memberikan yang terbaik dari diri masing-masing untuk kemajuan perusahaan.
Bagian kedua, alasan yang terkait dengan ukuran perusahaan
Keenam, ukuran perusahaan
Salah satu studi IPC menemukan level absensi seorang pegawai sebanyak 6,15 hari per tahun di perusahaan dengan jumlah pegawai sampai dengan 50 orang. Pada perusahaan dengan jumlah pegawai di atas 100 orang, level absensi tersebut meningkat menjadi 8 hari per tahun.
Saya sendiri belum pernah mempelajari keterkaitan antara ukuran perusahaan dengan kecenderungan absensi seorang pegawai. Menurut saya, besar kemungkinan temuan ini terkait dengan rentang kontrol.
Bagian ketiga, alasan yang terkait kondisi pribadi dan keluarga
Ketujuh, keperluan pribadi
Hasil survei IPC menunjukkan 60% responden berpura-pura sakit karena memerlukan waktu santai, kurang tidur, banyak tugas rumah tangga yang harus dikerjakan, dan ada acara keluarga. Sementara 34% responden menjawab bahwa mereka hanya tidak ingin berangkat kerja saja.
Undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia mengatur bahwa seorang pegawai berhak atas cuti sakit jika dibuktikan dengan Surat Keterangan Dokter. Dengan pertimbangan kemanusiaan, beberapa perusahaan memberikan kebijakan cuti sakit tanpa surat dokter jika hanya berlangsung satu hari.
Pernah ada teman yang bercerita bahwa beberapa orang pegawai di kantornya secara konsisten mengajukan satu hari cuti sakit tanpa surat dokter setiap bulan. Menyadari kelemahan sistem ini, manajemen memutuskan untuk mencabut kebijakan tersebut.
Bagi saya pribadi, tidak elok rasanya mengajukan cuti sakit untuk masalah pribadi. Bukankah perusahaan telah memberikan kepada kita cuti tahunan sebanyak 12 hari kerja dalam setahun?
Kedelapan, gaya hidup
Studi menunjukkan bahwa gaya hidup merupakan salah satu alasan pemicu pegawai berpura-pura sakit. 25% cuti sakit palsu dipicu oleh gaya hidup buruk, seperti merokok dan penyalahgunaan alkohol.
Keberadaan anak di rumah juga berdampak pada ketidakhadiran, terutama pada pegawai wanita. Semakin muda anak-anak, semakin tinggi tingkat ketidakhadiran. Hal ini berkurang seiring dengan bertambahnya usia anak.
Kesembilan, tekanan ekonomi keluarga
David Ossip, presiden, dan CEO konsultan manajemen tenaga kerja Dayforce mengatakan salah satu pemicu pegawai berpura-pura sakit adalah tekanan ekonomi keluarga. Dia mencontohkan isteri yang sebelumnya tinggal di rumah, kemudian terpaksa bekerja di kantor untuk menyokong ekonomi keluarga.
Kesepuluh, memperpanjang akhir pekan atau hari libur resmi
Sebuah penelitian menemukan beberapa pegawai berpura-pura sakit untuk memperpanjang akhir pekan atau hari libur mereka, hanya untuk mendapatkan satu atau dua hari ekstra untuk menikmati akhir pekan atau hari libur.
Kesebelas, alasan-alasan gila
Menurut penelitian, ada beberapa alasan yang agak gila yang diberikan oleh pegawai untuk berpura-pura sakit yaitu: "tim sepak bola saya kalah dalam pertandingan tadi malam, jadi saya merasa tertekan", "Saya makan terlalu banyak di pesta kemarin, jadi saya merasa tidak enak badan", "anjing saya sakit, saya tidak bisa meninggalkannya begitu saja", "Saya tidak dapat menemukan gigi palsu saya".
Menurut saya, kecuali ibu rumah tangga yang terpaksa bekerja untuk menyokong keuangan keluarga dan memiliki anak usia muda di rumah, semua alasan di bagian ketiga ini memperlihatkan betapa tidak profesionalnya pegawai yang bersangkutan.
Untuk kasus ibu dengan anak usia muda di atas, kerja paruh waktu atau penjadwalan yang fleksibel dapat menjadi solusi. Komunikasi terbuka antara pegawai dan perusahaan diharapkan dapat menghasilkan win-win solution.
Dalam kasus-kasus yang lain di bagian ketiga, penting bagi pegawai untuk memahami konsekuensi memalsukan cuti sakit yakni diberikannya tindakan disipliner atau kemungkinan pemecatan oleh perusahaan.
Akhir kata, semoga ulasan tentang cara mengatasi pegawai yang berpura-pura sakit ini bermanfaat bagi para pembaca. Dan bagi pegawai yang masih coba-coba menggunakan cara-cara yang tidak baik untuk memalsukan cuti sakit, percayalah bahwa perusahaan pasti memiliki cara-cara untuk menangkis upaya Anda.
Jakarta, 11 Juni 2021
Siska Dewi
Referensi: satu, dua, tiga, empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H