Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ini 9 Cara Detoksifikasi Lingkungan Kerja Toksik

25 Mei 2021   06:00 Diperbarui: 13 Mei 2022   22:35 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keterbukaan (photo by RF_studio from Pexels)

Lingkungan kerja toksik tidak tercipta dalam satu malam. Umumnya, lingkungan kerja toksik terjadi akibat pengabaian terhadap budaya organisasi selama bertahun-tahun.

Emtrain, sebuah perusahaan konsultan lingkungan kerja, melakukan survei terhadap 40.000 pegawai dari 125 perusahaan sepanjang tahun 2019. Hasil survei menunjukkan lingkungan kerja toksik adalah sesuatu yang umum ditemukan.

Laporan survei bertajuk “Workplace Culture Report 2020” kiranya dapat membuka mata para pemimpin organisasi. Dikatakan bahwa dinamika sosial dalam organisasi dapat menciptakan toksisitas tanpa disadari.

Mari kita sigi beberapa fakta yang ditemukan Emtrain.

38% responden menyebut adanya dinamika “in-group” dan “out-group” sebagai sumber konflik. “In-group” dapat berupa kesamaan ras, gender, hobi, dan lain-lain. Mereka yang “out-group” kurang mendapat empati dan kepercayaan dari manajer maupun rekan kerja. 

Hampir 33% responden mengidentifikasi kekuasaan sebagai pemicu konflik di tempat kerja. Beberapa manajer menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki.

Hanya 50% responden melihat norma perilaku yang kuat di dalam organisasi.

Hanya 33% responden yang sangat setuju bahwa mereka dapat menjadi diri sendiri di tempat kerja.

Hanya 42% responden yang mengaku bahwa mereka menunjukkan empati di tempat kerja.

Hampir 30% responden telah meninggalkan tempat kerja karena konflik.

Sembilan cara mendetoksifikasi lingkungan kerja toksik

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mendetoksifikasi lingkungan kerja toksik? 

Scott Mautz, seorang motivator yang ahli di bidang kepemimpinan dan employee engagement, memperkenalkan 9 cara untuk mendetoksifikasi lingkungan kerja toksik.

Pertama, mulailah memberi otonomi

Ada sejumlah besar pemimpin yang mendikte apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya hingga hal sekecil-kecilnya. Mereka menanamkan budaya “Perintah dan Kontrol” yang terlalu berlebihan.

Budaya ini secara tanpa disadari telah meracuni orang-orang yang dipimpinnya. Untuk memberdayakan anggota tim, seorang pemimpin perlu memberi otonomi yang cukup.

Saya setuju dengan Mautz bahwa pemberian otonomi memberdayakan anggota tim. Namun demikian, saya memilih mengimplementasikan cara ini secara bertahap. Menurut saya, kontrol tetap dibutuhkan ketika seseorang diberikan tanggung jawab baru.

Seiring dengan bertambahnya jam terbang seorang anggota, kinerjanya dapat dinilai oleh pemimpin. Semakin tinggi tingkat keterandalan seorang anggota tim, semakin besar otonomi yang dapat diberikan kepadanya.

Kedua, segera atasi pegawai yang berkinerja buruk

Jangan biarkan kanker menggerogoti bagian tubuh yang sehat. Orang-orang berkinerja baik akan frustrasi menonton orang-orang berkinerja buruk memenuhi tempat kerja.

Pastikan karyawan yang berkinerja buruk memahami kekurangan mereka. Beri mereka waktu untuk memperbaiki kinerja. Jika gagal berulang kali, jangan ragu memberhentikan mereka.

Ilustrasi lingkungan kerja toksik (photo from Pixabay)
Ilustrasi lingkungan kerja toksik (photo from Pixabay)
Selain itu, tetapkan semangat akuntabilitas. Minta pertanggungjawaban dari setiap orang atas setiap hasil dari pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka.

Ketiga, berikan sumber daya yang cukup

Setiap orang memiliki keterbatasan. Sebelum memberikan target kepada seorang anggota tim, Anda perlu memastikan bahwa dia memiliki kemampuan untuk mencapai target tersebut dan keluar sebagai pemenang.

Pegawai yang merasa mereka tidak siap untuk menang dan tidak memiliki sumber daya untuk mencapai target yang ditetapkan, akan menjadi sangat frustrasi. Rasa frustrasi ini pada akhirnya akan menurunkan produktivitas mereka.

Keempat, segera terapkan keterbukaan

Ilustrasi keterbukaan (photo by RF_studio from Pexels)
Ilustrasi keterbukaan (photo by RF_studio from Pexels)
Bagikan informasi secara terbuka. Jaga pikiran tetap terbuka. Dorong orang lain untuk membagikan pendapat mereka. Ini berarti transparan dan jujur dalam komunikasi Anda.

Pemimpin yang bersikap terbuka mendorong pegawai merasa nyaman untuk berbicara. Pegawai yang nyaman berbicara akan menyampaikan buah pikirnya secara terbuka dan relatif tidak mengeluh.

Kelima, jangan meremehkan pegawai, tunjukkan kepedulian yang tulus

Ketika orang merasa diremehkan, budaya toksik akan mudah tumbuh. Banyak perilaku toksik timbul karena orang merasa tidak dipedulikan.  

Pada saat seorang pemimpin menaruh minat yang tulus pada pegawai, budaya kerja yang sehat akan bersemi. Pegawai merasa pribadi mereka bertumbuh dan karier mereka berkembang.

Keenam, perjelas kriteria promosi

Sumber toksisitas yang besar berasal dari para pemimpin yang memiliki ‘anak emas’ dan hanya mempromosikan karyawan tertentu. Hal ini dapat menimbulkan rasa ketidakadilan.

Pepatah berkata bahwa pada saat seorang pemimpin menciptakan satu anak emas, dia menciptakan seribu anak tiri. Para "anak tiri" ini akan merasa percuma bekerja baik karena tidak akan ada peluang untuk maju.

Hentikan perilaku ini. Tetapkan kembali kriteria promosi yang jelas dan adil. Komunikasikan kriteria tersebut kepada semua.

Ketujuh, tetapkan visi yang jelas dan komunikasikan secara terus-menerus

Toksisitas berasal dari kurangnya arah. Rumuskan visi yang jelas dan menarik. Bagikan kepada semua. Pegawai perlu mendengar visi secara konstan untuk mempercayai dan mengikutinya.

Kedelapan, sisipkan harapan pada realita

Lingkungan kerja toksik mungkin memiliki pegawai yang merasa putus asa. Pegawai ini mungkin memandang realita dari sudut pandang negatif dan berusaha memengaruhi lingkungan untuk mengikuti sudut pandangnya.

Perbaiki hal ini segera. Ajak dia melihat realita dengan sudut pandang yang positif dan sisipkan harapan.

Kesembilan, tetapkan aturan pengambilan risiko

Banyak pemimpin berbicara tentang perlunya karyawan mengambil risiko. Namun, ketika risiko yang diambil tidak berjalan dengan baik, karyawan akan terpukul.

Hindari ini dengan menetapkan dan mengkomunikasikan secara luas aturan pengambilan risiko. Apa yang termasuk risiko yang baik? Apa yang termasuk risiko yang buruk? Siapa yang perlu menyetujui risiko yang akan diambil?

Rekrutmen yang tepat dan budaya perusahaan yang sehat mencegah lingkungan toksik

Ilustrasi rekrutmen yang tepat (photo by Fauxels from Pexels)
Ilustrasi rekrutmen yang tepat (photo by Fauxels from Pexels)
Mardi Wu, CEO sebuah perusahaan yang menginspirasi gaya hidup sehat, mengatakan bahwa seorang CEO perlu menyempatkan waktu membangun budaya perusahaan. Mardi juga terlibat langsung dalam proses rekrutmen.

Ketika saya bertanya mengapa ia menyempatkan diri untuk berbincang langsung dengan para calon pegawai, termasuk fresh graduate, Mardi menjawab,

“Saya ingin memastikan bahwa calon pegawai yang bergabung hanyalah mereka yang memang memiliki visi dan misi yang searah dengan perusahaan. Dengan demikian, mereka tetap mampu mencatat kinerja yang luar biasa tanpa perlu adanya insentif ataupun kontrol yang terlalu ketat.”

Jakarta, 25 Mei 2021

Siska Dewi

Referensi: satu, dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun