Lingkungan kerja toksik tidak tercipta dalam satu malam. Umumnya, lingkungan kerja toksik terjadi akibat pengabaian terhadap budaya organisasi selama bertahun-tahun.
Emtrain, sebuah perusahaan konsultan lingkungan kerja, melakukan survei terhadap 40.000 pegawai dari 125 perusahaan sepanjang tahun 2019. Hasil survei menunjukkan lingkungan kerja toksik adalah sesuatu yang umum ditemukan.
Laporan survei bertajuk “Workplace Culture Report 2020” kiranya dapat membuka mata para pemimpin organisasi. Dikatakan bahwa dinamika sosial dalam organisasi dapat menciptakan toksisitas tanpa disadari.
Mari kita sigi beberapa fakta yang ditemukan Emtrain.
38% responden menyebut adanya dinamika “in-group” dan “out-group” sebagai sumber konflik. “In-group” dapat berupa kesamaan ras, gender, hobi, dan lain-lain. Mereka yang “out-group” kurang mendapat empati dan kepercayaan dari manajer maupun rekan kerja.
Hampir 33% responden mengidentifikasi kekuasaan sebagai pemicu konflik di tempat kerja. Beberapa manajer menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki.
Hanya 50% responden melihat norma perilaku yang kuat di dalam organisasi.
Hanya 33% responden yang sangat setuju bahwa mereka dapat menjadi diri sendiri di tempat kerja.
Hanya 42% responden yang mengaku bahwa mereka menunjukkan empati di tempat kerja.
Hampir 30% responden telah meninggalkan tempat kerja karena konflik.
Sembilan cara mendetoksifikasi lingkungan kerja toksik
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mendetoksifikasi lingkungan kerja toksik?