Bu Dorkas, ibu guru yang cantik itu, memuji karanganku. Sebuah buku kecil dihadiahkannya kepadaku.
Sebelumnya, aku tidak memiliki buku lain selain buku-buku pelajaran. Pada saat itu, kurikulum yang sama diterapkan bertahun-tahun. Buku pelajaran dapat digunakan turun-temurun dari kakak kepada adiknya.
Akan hal diriku, hampir semua buku pelajaran yang aku gunakan adalah bekas tante-tanteku. Karena itu, buku kecil hadiah dari bu Dorkas menjadi harta yang sangat berharga bagiku.
Setiap hari aku menyempatkan untuk membaca buku itu. Semakin aku baca, semakin aku mengenal dan menyayangi Bang Je, Sang Gembala yang baik dan murah hati.
Setiap kali aku dimarahi ibu, setiap kali aku mengecewakan ibu, setiap kali aku merasa takut atau merasa gagal, aku akan membuka buku itu.Â
Apa yang aku cari? Kata-kata Bang Je yang menghibur dan menguatkan aku.
Hingga pada suatu hari, aku mendapat oleh-oleh dari tante Mei yang baru pulang dari Jakarta. Beliau adalah adik ipar tanteku.
Aku senang sekali mendapat oleh-oleh sebuah buku tulis tebal dengan sampul beludru motif bunga yang sangat cantik. Buku tulis itu memiliki gembok lengkap dengan anak kuncinya.
"Ini namanya Diari," kata tante Mei. "Di buku ini, kamu boleh menulis apa saja yang ingin kamu kenang jika sudah besar nanti. Buku ini ada gemboknya. Tidak ada orang lain yang bisa membaca isinya, kecuali kamu izinkan."
Aih, usia delapan tahun yang takkan terlupa!