“Iya, Bu, saya anak sulung. Adik saya dua orang. Yang bungsu tahun ini lulus SMP dan ingin melanjutkan ke SMA. Yang tengah sudah lama putus sekolah. Dia hanya lulus SD. Sejak lulus SD hingga saat ini, dia menganggur saja.”
“Adik-adikmu tinggal di mana?”
“Di kampung, Bu.”
“Siapa yang membiayai hidup mereka?”
“Saya.”
Ya, Tuhan! Saya pandangi gadis muda yang kini tertunduk di depan saya. Usianya belum tiga puluh tahun. Tiwi, dalam usia yang masih relatif muda, dengan semua beban hidup yang harus dia tanggung, masih sempatkah memikirkan dirinya sendiri?
“Kamu dan adik-adik masih ada kontak dengan ayah? Apa pekerjaan ayahmu sekarang?”. Dengan bertanya demikian, saya berharap mendapat jawaban bahwa sedikit banyak Tiwi masih dapat berbagi beban dengan ayahnya.
“Ayah terkadang masih kontak saya, Bu. Hanya jika beliau ingin minta uang!”
Deg! Sungguh jawaban yang di luar dugaan saya. “Apakah kamu ikuti permintaannya?”
“Saya dididik untuk berbakti kepada orangtua, Bu. Jadi, setiap kali ayah saya minta uang, saya harus mentransfer sejumlah uang sesuai permintaannya.”
Konsep “bakti kepada orangtua” dan “tanggung jawab anak sulung” yang salah kaprah?
Saya mencoba membayangkan bagaimana Tiwi mengatur keuangannya. Tiwi bercerita bahwa sudah tiga bulan atasannya membayarkan katering makan siang dan makan malam untuk dirinya. Dengan demikian, dia dapat menghemat biaya makan.