SD Sejahtera III adalah sekolah dasar swasta pertama di desa Sindangsari, Tanjung Bintang, Lampung Selatan. Sekolah ini didirikan oleh pasutri Yohanes Baptista Sularto (Sularto) dan Alfonsa Mariyati (Mariyati) pada tahun 1970.
Sebuah kecelakaan lalu lintas merenggut nyawa Sularto pada tahun 1992. Tiga tahun kemudian, penyakit demam berdarah membawa Oktamilasari, anak bungsunya, menyusul sang ayah.
Kepergian suami dan anak dalam rentang 3 tahun tentu membawa rasa kehilangan yang dalam bagi Mariyati. Namun Mariyati berjanji pada diri sendiri bahwa ia harus tegar. Ada 5 anak dan puluhan murid SD Sejahtera III yang perlu dijaga kelangsungan pendidikannya.
"Saat suami saya wafat, Herrys, anak pertama, masih semester 5 di Fakultas Pertanian Unila," Mariyati berkisah. "Ferry, anak kedua, baru masuk Seminari Tinggi di Bandung. Adik-adiknya masih SD, SMP dan SMA. Saya harus berjuang agar semua anak bisa sekolah dan SD Sejahtera III bisa tetap hidup."
Kini, dalam usia 76 tahun, dengan segala keterbatasan yang ada, Mariyati masih setia berbagi kasih lewat pengabdian di SD Sejahtera III yang telah dilakoninya selama lima dekade.
Semangat Berbagi dari Sepasang Pengantin Baru
Mariyati berasal dari Wates, Kulonprogo, Yogyakarta. Saat berusia 20 tahun, ia merantau ke Palembang. Ia mengajar di SD Xaverius Putri pada tahun 1964 - 1966. Setelah itu, ia pindah ke SD Xaverius Tanjung Karang, Bandar Lampung. Di sana Mariyati bertemu dengan belahan jiwanya, Sularto, seorang rekan guru asal Sleman.
Setelah menikah pada tahun 1969, pasutri muda ini memutuskan untuk membangun hidup baru di desa Sindangsari yang dikelilingi kawasan perkebunan karet PTPN VII Unit Usaha Kedaton yang sangat luas. Kini sebagian perkebunan karet itu dijadikan Kawasan Industri Lampung.
Di desa ini mereka menemukan banyak anak tidak bersekolah karena memang belum ada sekolah. Orang tua dari anak-anak itu adalah buruh perkebunan karet, petani, atau pedagang. Ketika para orang tua bekerja, mereka membawa serta anak-anak. Tak jarang anak-anak itu ikut membantu pekerjaan orang tua.
Sularto dan Mariyati prihatin melihat kondisi ini. Bagaimana masa depan anak-anak itu jika mereka tidak bersekolah? Bukankah mereka perlu belajar? Tetapi ke mana mereka dapat bersekolah? Tersentuh oleh situasi itu, Sularto dan Mariyati terpanggil untuk berbuat sesuatu.
Setelah melalui proses pendekatan yang panjang dengan para orang tua dan mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat, mereka mulai mengumpulkan anak-anak untuk diajari membaca, menulis dan berhitung. Proses belajar mengajar dilakukan di rumah seorang tokoh masyarakat yang baik hati.
"Awalnya terkumpul sekitar 60 anak usia 9-10 tahun," Mariyati mengenang. "Saya meminta meja dan kursi bekas dari sekolah Xaverius dan dari suster-suster Hati Kudus. 60 anak itu semuanya mulai dari kelas 1. Selama 3 tahun pertama, saya mengajar sendiri. Kelas 1 masuk jam 7.30-9.30. Kelas 2 masuk jam 10.00-12.00. Kelas 3 masuk siang. Tahun ketiga, mulai ada guru lain yang membantu."
Ketika ditanya mengenai uang sekolah, Mariyati tertawa. "Tahun pertama tidak pakai uang sekolah. Mereka membayar pakai gabah, semampunya. Tahun kedua, disepakati ada uang sekolah Rp.25,- per anak per bulan. Nombok, pasti. Tetapi kami senang. Kami senang dan berharap dengan pendidikan yang kami berikan, anak-anak desa Sindangsari tidak tertinggal dari anak-anak di daerah lain."
Cikal bakal SD Sejahtera III
Kata pepatah, ‘tak ada rotan akar pun jadi’. Berbekal harapan dan kegigihan demi menolong anak-anak desa, Sularto dan Mariyati mendapat izin mendirikan sebuah bangunan sekolah yang terbuat dari kayu di atas tanah milik Gereja. Inilah cikal bakal SD Sejahtera III. Sebuah sekolah sederhana untuk anak-anak desa.
Walaupun tidak punya banyak uang, Sularto dan Mariyati tidak pernah merasa diri miskin. Mereka selalu merasa diberkati oleh Tuhan, sumber hidup dan kekuatan mereka.
Kasih Tuhan yang mereka alami dalam hidup, memampukan mereka melayani dengan hati gembira. Mereka mengalami bahwa Tuhan lebih dahulu mengasihi mereka. Ya, semua karena kasih. Kasih memungkinkan banyak hal baik terjadi. Minimnya dana tidak menghalangi Sularto dan Mariyati berkarya.
“Tahun 1978, anak-anak kami mulai masuk sekolah. Suami saya masih bekerja sebagai katekis purnawaktu di Keuskupan. Saya melamar jadi guru agama PNS untuk membantu keuangan keluarga. Saya diterima di SDN I Margodadi di Pringsewu. Terpaksa saya kost di Pringsewu. Suami saya yang mengurus SD Sejahtera III dan anak-anak kami yang waktu itu sudah 4 orang.”
Mariyati bersyukur, 3 tahun kemudian ia dipindahtugaskan untuk mengajar di SDN II Sindangsari yang berlokasi dekat rumah. “Saya mengajar di SDN II hingga pensiun pada tahun 2004. Jadi, inilah rutinitas saya selama 23 tahun: pagi ke SD Sejahtera III memastikan guru-guru sudah hadir, lalu buru-buru berangkat ke SD negeri naik sepeda. Pulang mengajar, saya mengurus rumah dan anak-anak.”
28 Tahun Setelah Kepergian Sularto
“Setelah suami saya wafat, saya bersama para guru meneruskan karya mendidik anak-anak di SD Sejahtera III. Saya bersyukur ada guru yang mau setia mengabdi bersama dengan imbalan seadanya. Di SD Sejahtera III, anak-anak dididik untuk memiliki nilai-nilai dasar dalam hidup bersama, seperti saling menghormati, saling menolong, toleransi, saling memaafkan, sopan santun, sportivitas, disiplin diri, cinta Tanah Air, dan sebagainya.” Mariyati melanjutkan ceritanya.
Herrys bercerita tentang kedisiplinan Mariyati mengelola keuangan. Di SDN II Sindangsari, Mariyati juga dipercaya membagikan gaji guru. Herrys tidak tahu bagaimana cara ibunya mengelola keuangan dua sekolah dan satu keluarga. Di SD Sejahtera III, banyak murid yang menunggak SPP bahkan hingga setahun. Namun ia melihat ibunya selalu tenang.
Mariyati berhasil menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh manajemen SDN II, yang diembannya hingga pensiun. Mariyati juga berhasil mendidik anak-anaknya. Selain Ferry yang kini menjadi Pastor, empat orang anaknya yang lain berhasil menjadi sarjana. SD Sejahtera III pun tetap berdiri hingga merayakan pesta ulang tahun emas di tahun ini.
Salah satu organisasi yang tergerak adalah ‘Cerdas Foundation’ yang sejak beberapa tahun terakhir menyantuni beberapa anak yang tidak mampu. Dengan bantuan dari ‘Cerdas Foundation’, anak-anak tersebut dapat membayar uang sekolah sehingga mengurangi jumlah siswa yang menunggak.
Berbagi Kebahagiaan Lewat JNE
Terkesan oleh dedikasi dan kesetiaan Mariyati berbagi kasih selama lima dekade, ada donatur yang tergerak memberi bantuan berupa paket Komik Sains kepada para siswa SD Sejahtera III dengan menggunakan jasa JNE yang telah tiga dekade menjadi penghubung untuk mereka yang ingin saling berbagi kebahagiaan.
Beberapa siswa SD Sejahtera III sedang membaca komik sains (foto: dokpri)
Wasana Kata
SD Sejahtera III adalah karya nyata Sularto dan Mariyati di jalur pendidikan untuk memanusiakan manusia muda. Mereka ibarat penabur benih, tetapi Tuhan sendirilah yang memberikan pertumbuhan. Setelah SD Sejahtera III merayakan pesta ulang tahun emas, Ferry menuturkan bahwa pihak yayasan masih terus berjuang meningkatkan kesejahteraan para guru.
Saya merasa beruntung diberi kepercayaan untuk menuliskan kisah Ibu Mariyati dan SD Sejahtera III. Semoga artikel ini dapat menginspirasi banyak orang baik untuk ikut berbagi kasih dengan mendukung kelangsungan dan perkembangan karya pendidikan ini. Indahnya berbagi kebahagiaan!
Jakarta, 28 Desember 2020
Siska Dewi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H