Putri bungsu saya merasa dirinya adalah seorang disengaged conformist. Dia belanja hanya jika ada kebutuhan, misalnya bahan-bahan untuk tugas kuliah. Saat berbelanja online, dia langsung filter daerah Jakarta Barat dan star seller.
Menurutnya, star seller lebih terpercaya dan barangnya lebih benar. Jika sudah menemukan barang yang dia rasa sesuai, dia akan mencari beberapa perbandingan harga. Biasanya banyak barang yang sama tapi beda harga karena beda seller. Biasanya dia memilih yang paling murah, langsung add to chart dan check out.
Christian, seorang profesional muda, merasa dirinya adalah disengaged conformist dengan alasan yang berbeda.
Aku cenderung pasif terhadap konsumsi dan sangat jarang berbelanja. Aku belanja hanya jika benar-benar ada kebutuhan dan pastinya hanya membeli barang yang sesuai kebutuhanku dengan harga yang cocok. Daripada konsumsi, aku lebih memilih investasi untuk masa depan.
Kesimpulan
Dari diskusi singkat dengan 2 orang sepupu, seorang ipar, 2 orang anak dan beberapa teman di atas, saya menyimpulkan pentingnya bimbingan dari orangtua dalam mengarahkan perilaku belanja anak. Saya juga menyimpulkan bahwa semua anak muda yang saya ajak diskusi cukup dewasa dalam berbelanja.Â
Meskipun anak-anak muda tersebut ada  yang merasa dirinya adalah bagian dari ethical 'confidents', quality-conscious 'independents', value researchers maupun disengaged conformists,  saya melihat ada beberapa kesamaan hal-hal yang dipertimbangkan sebelum melakukan pembelian, yakni kenyamanan pakai, kualitas dan harga.
Kiranya masukan ini dapat bermanfaat bagi para pelaku usaha.
Baca juga: Inilah 5 Tips Menarik Perhatian Konsumen Gen Z
Jakarta, 01 September 2020
Siska Dewi
Referensi: satu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H