Pengaruh influencer juga diamini oleh seorang ipar saya, ibu dari 2 remaja putri yang duduk di bangku SMA. Ipar saya mengatakan salah satu anaknya senang belanja online, tetapi tidak terlalu brand-conscious.
Anak yang satu lagi, tidak begitu suka belanja. Dalam berbelanja, anak-anaknya lebih mengutamakan barang-barang yang nyaman dipakai.
Tidak hanya remaja putri. Seorang sepupu saya, ibu dari 2 remaja putra dan 2 remaja putri, mengamati bahwa anaknya yang kedua, seorang remaja putra yang duduk di bangku SMA, juga adalah brand-conscious follower.
Hanya satu sih, anak saya yang sangat mementingkan merek. Apa-apa maunya yang branded dan selalu mengikuti tren. Sekarang dia sedang senang-senangnya follow 2 merek handphone ... semua perkembangan dan spesifikasi dia perhatikan, semua review dari influencer dia simak.
Lalu, bagaimana para orangtua menyikapi hal ini? Kedua orang sepupu saya sepakat bahwa orangtua perlu memegang kontrol agar anak tidak bisa sembarang berbelanja.
Mengingat besarnya pengaruh influencer terhadap perilaku belanja anak mereka, kedua orang sepupu saya berharap agar para influencer bersikap profesional dalam menjalankan tugas.
Dari hasil diskusi, kami berpendapat bahwa seorang influencer yang profesional dapat memberi dampak positif bagi followers-nya. Seorang influencer yang profesional perlu menjaga agar review produk yang diberikan jujur dan dapat dipertanggungjawabkan. Â Â
Premium shopaholics
Premium shopaholics tergila-gila pada kegiatan berbelanja. Mereka meluangkan waktu untuk meneliti dan membandingkan (umumnya secara online) sehingga ada kemungkinan mereka membeli secara spontan.
Untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, premium shopaholics rela membayar lebih. Mereka mencari merek yang dapat membuat mereka menjadi menonjol di lingkungan pergaulan. Segmen ini cenderung tidak mau memilih merek yang tidak terkenal.
Premium shopaholics aktif di media sosial. Bagi mereka, mendapatkan "like" di media sosial adalah sesuatu yang penting. Untuk menarik perhatian mereka, diperlukan cerita yang meyakinkan tentang mengapa suatu produk atau layanan layak dihargai lebih.
Dari para orangtua yang saya ajak diskusi, tidak ada yang merasa anak-anak mereka masuk dalam segmen premium shopaholics. Beberapa anak muda Gen Z yang saya ajak diskusi juga merasa cukup dapat mengendalikan keinginan belanja mereka sehingga tidak sampai tergila-gila. Apalagi sampai tergila-gila belanja barang bermerek mahal hanya untuk terlihat menonjol.