Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Hati Harus Memilih

29 Juli 2020   22:57 Diperbarui: 2 Agustus 2020   04:02 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ataukah mereka mau sedikit berkompromi mengambil kesempatan kerja yang ada meskipun tidak sepenuhnya sesuai impian mereka, demi mendapatkan modal awal bernama pengalaman kerja?

Atau, barangkali mereka tertantang untuk berani menciptakan lapangan kerja baru bagi diri sendiri dan, kelak, bagi orang lain?  

Jalan Tuhan Tidak Selalu Sama dengan Jalan Kita

Berbicara tentang pilihan pekerjaan, saya teringat seorang sepupu yang kini menjadi pucuk pimpinan sebuah perusahaan yang cukup ternama, yang bergerak di bidang industri makanan dan minuman kesehatan.

Sepupu saya ini sejak kecil bercita-cita menjadi guru dan tidak pernah bermimpi akan bekerja di perusahaan. Cerita suram yang sering didengarnya dari orang lain tentang pengalaman bekerja di perusahaan, membuatnya menyimpulkan bahwa perusahaan bukan tempat untuk dia berkarya. Saat lulus kuliah, dia sangat ingin menjadi pengajar atau peneliti.

Namun, kegagalan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjana di luar negeri hampir setahun setelah lulus sarjana, telah mengubah jalan hidupnya. Kegagalan itu menyadarkannya bahwa mungkin Tuhan memang ingin dia bekerja di perusahaan, menapak di jalan yang sebelumnya dia anggap "gelap", untuk suatu kebaikan yang belum dia pahami.

Kesadaran itu membuatnya memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan tempat di bekerja saat ini. Kini, sudah 25 tahun dia berkarier di sana. Dia pun telah mencapai posisi tertinggi sebagai presiden direktur di perusahaan tersebut.

Di tempat yang kini disebutnya sebagai "rumah kedua", dia ingin belajar menemukan terang di ruang-ruang yang dia sebut "gelap" sebelumnya. Dia ingin belajar membangun perusahaan di mana hati bisa berperan sepenting otak, idealisme bisa diteguhkan di tengah kalkulasi profit, dan pertemanan bisa dijalin di dunia yang kata orang penuh persaingan.

Ketika Hati Harus Memilih

Cerita tentang sepupu saya hanya salah satu contoh. Saat ini, duapuluh lima tahun telah berlalu sejak dia memutuskan untuk mengikuti suara hati, menapak di jalan yang sebelumnya sangat dia hindari, hanya dengan berpegang pada satu keyakinan bahwa mungkin Tuhan ingin dia memilih jalan yang tak ingin dipilihnya, untuk suatu kebaikan yang belum dia pahami.

Setelah duapuluh lima tahun, dia masih setia berjalan di jalan itu. Dia masih setia pada cita-citanya untuk membangun perusahaan berlandaskan hati dan idealisme, dengan semangat kolaborasi bukan kompetisi.

Saat menghadapi situasi di mana kita harus membuat pilihan menyangkut hal penting dalam hidup, seringkali kita mendengar nasihat "dengarkan suara hati". Namun, bagaimana kita yakin bahwa suara yang kita dengar adalah betul-betul suara hati dan bukan suara pikiran kita?

Di kantor tempat saya bekerja, setiap hari Jumat pertama dalam bulan, diadakan persekutuan doa. Sejak merebaknya pandemi COVID-19 dan kantor memberlakukan work from home, persekutuan doa pun berhenti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun