Dhika marah besar ketika aku ceritakan tentang respons dokter tersebut melalui Skype. "Tidak! Sungguh tidak profesional jika dokter sama sekali mengabaikan sejarah vaksinasi kamu! Kita sudah berikhtiar. Vaksinasi yang lengkap itu akan melindungi kamu dan bayi kita dari bahaya Rubella, aku percaya itu. Mel, tolong, kamu harus cari second opinion."
Seorang sahabat kami yang berprofesi sebagai ahli mikrobiologi menyarankan kepadaku untuk berkonsultasi ke seorang ahli fetomaternal yang senior dan terkenal di sebuah rumah sakit ibu & anak swasta bergengsi di daerah Jakarta selatan.
"Sub-spesialisasi fetomaternal adalah salah satu cabang kedokteran kandungan dan kebidanan (obstetri dan ginekologi). Dengan ilmunya, dokter fetomaternal dapat mendiagnosis atau mendeteksi kelainan pada janin atau ibu dengan lebih akurat dan spesifik. Pemeriksaan oleh dokter fetomaternal dimaksudkan untuk mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi pada ibu dan bayi dalam kandungan secara dini."(2)
Untuk bertemu dengan dokter fetomaternal tersebut, aku harus antri lumayan lama. Setelah melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan USG, dokter mengatakan bahwa kehamilanku baik-baik saja. Saat aku bertanya lebih lanjut mengenai Rubella positif, hanya sedikit jawaban yang diberikannya, yang tidak berbeda jauh dengan informasi umum dari internet maupun buku.
"Banyak kok kasus seperti ini, ya Wallahualam, sekarang sih janin baik-baik saja." Kata dokter menutup penjelasannya. Entah mengapa, aku merasa tidak nyaman dengan penjelasannya, terutama caranya mengatakan 'Wallahualam (hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya)' namun tanpa dibarengi dengan ikhtiar atau usaha secara keilmuan. Ketika memutuskan untuk bertemu dengan seorang ahli fetomaternal, aku berharap mendapatkan do's and don'ts dari kondisi kehamilanku agar aku tahu apa yang terbaik yang harus aku lakukan sesuai ilmu yang dimiliki ahli fetomaternal tersebut.
Belum puas dengan opini kedua, aku kembali melakukan komunikasi melalui Skype dengan Dhika dan kami sepakat untuk mencari opini dari dokter berikutnya. Pada saat itu, aku teringat akan seorang dokter obgyn yang pernah bekerja di perusahaan tempat kerjaku.
Dokter tersebut adalah anak dari pendiri sebuah rumah sakit ibu dan anak yang cukup terkenal dan mempunyai fasilitas lengkap untuk pengembangan keilmuan bayi tabung dan infertility (kemandulan). Alhamdulillah, dokter tersebut bersedia memeriksa aku ketika dikontak, meskipun pada saat itu, dokter yang adalah ahli bayi tabung tersebut, sudah berkecimpung secara penuh di bidang bayi tabung.
Sesudah Hujan, Ada Pelangi
Memeriksakan kehamilan kepada ahli bayi tabung tersebut membawa konsekuensi yang tidak ringan bagiku. Konsekuensi pertama adalah jarak tempuh karena letak klinik morula (klinik bayi tabung) dokter tersebut cukup jauh dari tempat tinggalku. Karena Dhika masih bertugas di luar kota dan kami tidak mempekerjakan sopir, aku harus menyetir sendiri. Selain waktu yang harus dihabiskan dalam perjalanan, aku juga harus bersedia mengalah dengan pasien program bayi tabung sehingga seringkali harus menghabiskan waktu cukup lama untuk menunggu. Konsekuensi berikutnya adalah biaya.
Namun, aku dan Dhika sangat puas dengan dokter tersebut. Beliau mampu memberikan penjelasan secara keilmuan, mampu memberikan arahan do's and don'ts untuk kehamilanku. Dan yang paling penting, beliau mampu membuat aku dan Dhika yakin bahwa everything will be fine and it will be handled well.
Alhamdulillah, setelah konsultasi rutin dengan dokter terakhir ini, kehamilan pertamaku berjalan sangat lancar. Putri sulungku lahir melalui operasi caesar pada tanggal dan jam persis ulang tahun keempat akad nikah aku dengan Dhika, 11 juni 2010 jam 8.30 WIB.