Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Permata Hati, Anugerah dan Amanah dari Sang Pencipta (1)

18 Juli 2020   21:12 Diperbarui: 18 Juli 2020   21:10 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Courtesy of: Yoanna Yudith (dok pri)

Prolog

Amelia adalah sahabat saya. Dari seorang anak tunggal yang sangat dilindungi orangtuanya, pengalaman hidup membuat Amel bertransformasi menjadi seorang isteri dan ibu yang mandiri dan multitasking.

Amelia dan Dhika, suaminya, memiliki sepasang anak yang hebat. Dewi, putri sulungnya, kini berusia sepuluh tahun lebih sebulan. Dewa, putra bungsunya, berusia tiga tahun lebih empat bulan.

Ternyata, Amelia harus melewati jalan yang berliku dan berbatu saat mengandung anak pertama, terlebih saat mengandung dan melahirkan anak kedua. Bagi Amel, anak adalah anugerah dan amanah dari Sang Pencipta yang harus dia syukuri dan dia perjuangkan.

Amelia dan Dhika yakin teguh, bahwa Allah yang maha Pengasih dan Pemurah senantiasa setia menjaga dan melindungi hambaNya yang tekun berdoa dan berusaha. Baiklah kita ikuti kisah Amel di bawah ini ... 

Dewi dan Dewa, Permata Hatiku

Aku baru saja selesai menunaikan shalat maghrib bersama kedua permata hatiku. Seperti biasa, selesai shalat, Dewi dan Dewa memeluk aku dan mencium tanganku. Hatiku selalu tersentuh oleh cerita tentang doa-doa sederhana yang mereka sampaikan kepada Allah setelah selesai shalat.

"Aku tadi berdoa, ya Aloh, semoga kita bisa bermain selalu seru." celoteh Dewa.

"Kalau aku, berdoa semoga mbahkung selalu bahagia di surga." Dewi menambahkan sambil melipat sajadahnya.

 Aku usap kepala Dewi dan Dewa sambil mencium kening mereka, "Anak-anak hebat. Ayo, sekarang kita siap-siap makan malam."

Kedua anakku melangkah riang menuju ruang makan. Ada rasa haru dan syukur yang membuncah di hatiku melihat mereka tumbuh sehat. Kutarik nafas dalam-dalam, kunikmati sepenuhnya rasa syukur atas nikmat yang diberikan Sang Pencipta yang maha Pengasih dan Pemurah. Mataku tiba-tiba terasa hangat dan basah. Pikiranku melayang kepada suatu hari di akhir kuartal ketiga tahun 2009 yang lalu ....

September Ceria  

Awal September tahun 2009. Aku masih ingat haru biru perasaanku ketika menyaksikan dua garis merah pada test pack di tanganku. Setelah hampir dua tahun berusaha, akhirnya Allah memberiku kesempatan mengandung. Aku usap perutku. Ah, sudah berapa harikah usia calon bayiku? Tiga hari? Atau empat? Aku tersenyum sendiri, mencoba membayangkan keajaiban apa yang akan berlangsung di dalam rahimku selama kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari ke depan. Tidak sabar rasanya menyampaikan kabar bahagia ini kepada Dhika, suamiku yang sedang bertugas di luar kota.

Aku menikah dengan Dhika pada bulan Juni 2006. Bagi kami, prioritas utama ketika menikah adalah membentuk keluarga bahagia. Pada awal pernikahan, memiliki momongan bukanlah prioritas utama kami.  Prinsip kami, anak adalah amanah dari Tuhan yang harus benar-benar kami garansi kehidupannya. Dua tahun pertama pernikahan kami isi dengan membangun kemapanan berkeluarga versi kami: punya karier yang bagus, punya rumah dan kendaraan sendiri.

Awal tahun 2008, ketika sudah memiliki rumah dan kendaraan sendiri serta merasa cukup mapan, kami sepakat untuk menjalani program kehamilan. Karena pada saat itu pekerjaan menuntut suamiku untuk sering berada di luar kota selama dua minggu hingga satu bulan, aku baru positif hamil setelah hampir dua tahun berusaha.

Setelah membuang test pack ke tempat sampah dan mencuci tangan, segera aku melangkah keluar dari kamar mandi menuju ruang kerja. Pada saat itu, aku masih bekerja sebagai konsultan HR di sebuah perusahaan minyak. Pekerjaanku tidak mengharuskan aku setiap hari ke kantor, namun terkadang ada pekerjaan yang harus kukerjakan dari rumah. Karena itu, saat kami merencanakan pembangunan rumah, Dhika merancang sebuah ruang kerja untukku, semacam kantor kecil, di rumah.

Aku menyampaikan kabar gembira kehamilan kepada belahan jiwaku melalui aplikasi Skype. Ekspresi wajahnya yang penuh kebahagiaan saat mengucap "Alhamdulillah" yang kusaksikan melalui layar monitor komputer, masih terbayang sampai sekarang. Pagi itu, kami sepakat agar aku berkonsultasi dengan dokter obgyn yang bertugas di fasilitas kesehatan yang disediakan oleh perusahaan tempat kerjaku.

Courtesy of: Yoanna Yudith (dokpri)
Courtesy of: Yoanna Yudith (dokpri)

Awan Kelabu Menghapus Keceriaanku

Dokter obgyn yang aku kunjungi memintaku menjalani pemeriksaan TORCH di salah satu laboratorium rekanan perusahaan. Ini adalah pemeriksaan yang umum dijalani ibu hamil dan bertujuan untuk mendeteksi adanya Toksoplasmosis, infeksi lain/Other infection, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes simplex virus (disingkat TORCH).

Hasil pemeriksaan laboratorium bagaikan awan kelabu yang tiba-tiba muncul menghapus keceriaan yang aku rasakan di awal September itu. Masih terpampang jelas di benakku, tulisan yang tertera pada lembaran hasil laboratorium, yang saat itu aku baca dengan mata nanar: IgG Rubella (+), IgM Rubella (+).

IgG Rubella positif menunjukkan bahwa aku memang sudah mendapat vaksinasi yang cukup lengkap untuk Rubella sesuai dengan standar CDC (Centers for Disease Control and Prevention), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat. Namun, IgM Rubella positif menunjukkan bahwa pada saat pemeriksaan, aku sedang mengidap Rubella.

"Saya sarankan mbak Amel segera menggugurkan janin dalam kandungan ini," vonis dokter terdengar bagaikan petir di siang bolong. "Penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil yang terinfeksi Rubella di trimester pertama kehamilannya, mempunyai 90% kemungkinan melahirkan anak dengan cacat bawaan yang disebut Congenital Rubella Syndrome (CRS)."

"Dok, tetapi saya sudah punya vaksinasi Rubella yang lengkap sesuai standar CDC. Apakah tidak ada opsi untuk mempertahankan janin dalam kandungan saya? Hampir dua tahun saya menantikan kehadirannya!" nada suaraku terdengar sengit ketika melancarkan protes.

Seakan tidak mendengar protes yang aku sampaikan, dokter melanjutkan, "Mbak Amel tahu, apa itu CRS? CRS atau Bahasa Indonesianya 'Sindrom Rubella Kongenital' adalah kondisi yang sangat serius pada ibu hamil yang mengidap Rubella, terutama pada trimester pertama kehamilannya seperti mbak Amel. Kondisi ini bisa mengakibatkan keguguran, lahir mati, atau cacat bawaan yang parah pada bayi seperti katarak, penyakit jantung bawaan, gangguan pendengaran, dan gangguan pertumbuhan termasuk keterbelakangan mental."(1)

Dhika marah besar ketika aku ceritakan tentang respons dokter tersebut melalui Skype. "Tidak! Sungguh tidak profesional jika dokter sama sekali mengabaikan sejarah vaksinasi kamu! Kita sudah berikhtiar. Vaksinasi yang lengkap itu akan melindungi kamu dan bayi kita dari bahaya Rubella, aku percaya itu. Mel, tolong, kamu harus cari second opinion."

Seorang sahabat kami yang berprofesi sebagai ahli mikrobiologi menyarankan kepadaku untuk berkonsultasi ke seorang ahli fetomaternal yang senior dan terkenal di sebuah rumah sakit ibu & anak swasta bergengsi di daerah Jakarta selatan.

"Sub-spesialisasi fetomaternal adalah salah satu cabang kedokteran kandungan dan kebidanan (obstetri dan ginekologi). Dengan ilmunya, dokter fetomaternal dapat mendiagnosis atau mendeteksi kelainan pada janin atau ibu dengan lebih akurat dan spesifik. Pemeriksaan oleh dokter fetomaternal dimaksudkan untuk mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi pada ibu dan bayi dalam kandungan secara dini."(2)

Untuk bertemu dengan dokter fetomaternal tersebut, aku harus antri lumayan lama. Setelah melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan USG, dokter mengatakan bahwa kehamilanku baik-baik saja. Saat aku bertanya lebih lanjut mengenai Rubella positif, hanya sedikit jawaban yang diberikannya, yang tidak berbeda jauh dengan informasi umum dari internet maupun buku.

"Banyak kok kasus seperti ini, ya Wallahualam, sekarang sih janin baik-baik saja." Kata dokter menutup penjelasannya. Entah mengapa, aku merasa tidak nyaman dengan penjelasannya, terutama caranya mengatakan 'Wallahualam (hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya)' namun tanpa dibarengi dengan ikhtiar atau usaha secara keilmuan. Ketika memutuskan untuk bertemu dengan seorang ahli fetomaternal, aku berharap mendapatkan do's and don'ts dari kondisi kehamilanku agar aku tahu apa yang terbaik yang harus aku lakukan sesuai ilmu yang dimiliki ahli fetomaternal tersebut.

Belum puas dengan opini kedua, aku kembali melakukan komunikasi melalui Skype dengan Dhika dan kami sepakat untuk mencari opini dari dokter berikutnya. Pada saat itu, aku teringat akan seorang dokter obgyn yang pernah bekerja di perusahaan tempat kerjaku.

Dokter tersebut adalah anak dari pendiri sebuah rumah sakit ibu dan anak yang cukup terkenal dan mempunyai fasilitas lengkap untuk pengembangan keilmuan bayi tabung dan infertility (kemandulan). Alhamdulillah, dokter tersebut bersedia memeriksa aku ketika dikontak, meskipun pada saat itu, dokter yang adalah ahli bayi tabung tersebut, sudah berkecimpung secara penuh di bidang bayi tabung.

Courtesy of: Yoanna Yudith (dokpri)
Courtesy of: Yoanna Yudith (dokpri)

Sesudah Hujan, Ada Pelangi

Memeriksakan kehamilan kepada ahli bayi tabung tersebut membawa konsekuensi yang tidak ringan bagiku. Konsekuensi pertama adalah jarak tempuh karena letak klinik morula (klinik bayi tabung) dokter tersebut cukup jauh dari tempat tinggalku. Karena Dhika masih bertugas di luar kota dan kami tidak mempekerjakan sopir, aku harus menyetir sendiri. Selain waktu yang harus dihabiskan dalam perjalanan, aku juga harus bersedia mengalah dengan pasien program bayi tabung sehingga seringkali harus menghabiskan waktu cukup lama untuk menunggu. Konsekuensi berikutnya adalah biaya.

Namun, aku dan Dhika sangat puas dengan dokter tersebut. Beliau mampu memberikan penjelasan secara keilmuan, mampu memberikan arahan do's and don'ts untuk kehamilanku. Dan yang paling penting, beliau mampu membuat aku dan Dhika yakin bahwa everything will be fine and it will be handled well.

Alhamdulillah, setelah konsultasi rutin dengan dokter terakhir ini, kehamilan pertamaku berjalan sangat lancar. Putri sulungku lahir melalui operasi caesar pada tanggal dan jam persis ulang tahun keempat akad nikah aku dengan Dhika, 11 juni 2010 jam 8.30 WIB.

 

Episode Selanjutnya, hamil anak kedua

Amel dan Dhika memberi nama Dewi untuk anak pertama mereka, seorang putri yang cantik.

Kelahiran Dewi pada jam, tanggal dan bulan yang sama persis dengan jam, tanggal dan bulan berlangsungnya akad nikah Amel dan Dhika adalah permintaan khusus mereka kepada dokter Ivan, dokter yang Allah kirimkan untuk menolong mereka pada saat badai menerpa perjalanan kehamilan Amel yang pertama.

Setiap kali merayakan ulang tahun Dewi, Amel dan Dhika sekaligus merayakan ulang tahun moment yang paling sakral dalam hidup mereka. Nantikan kelanjutan kisah kehamilan Amel yang kedua .....

Referensi:

  1. Lanzieri et al. (2020, April 28). Congenital Rubella Syndrome. Manual for the Surveillance of Vaccine-Preventable Diseases. Diunduh dari https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-manual/chpt15-crs.html
  2. Turangan, L. "Pentingnya Pemeriksaan Fetomaternal pada Kehamilan Risiko Tinggi". Kompas.com. 8 Desember 2016. Diunduh dari https://sains.kompas.com/read/2016/12/08/202918823/pentingnya.pemeriksaan.fetomaternal.pada.kehamilan.risiko.tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun