Luna tertawa mendengar komentar Erin. “Tahukah kamu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harris Poll untuk National Endowment for Financial Education di tahun 2016, dua dari antara lima responden mengaku berbohong tentang keuangan kepada pasangannya?”(1).
Sampai Luna pamit setelah acara ngopi bersama mereka usai, Erin masih belum merasa lega. Terngiang lagi kalimat yang tadi diucapkan Luna sambil tertawa, “Dalam agama kami, terdapat aturan bahwa seorang suami wajib menafkahi isteri dan anak-anaknya. Sementara jika isteri mampu bekerja, dia tidak wajib memberikan hasil kerjanya kepada keluarganya.”
Beruntungnya Luna, batin Erin dalam hati. Teringat akan pembagian sama rata dalam membiayai kebutuhan keluarga antara dirinya dan suami, meskipun mereka tak pernah membuat kesepakatan seperti itu. Semua berjalan alami saja. Selama ini, dia tak pernah mempermasalahkan hal tersebut dan berusaha mengelola sebaik-baiknya sisa penghasilannya.
Semua terasa baik-baik saja hingga tiba-tiba suaminya ingin tabungan mereka dikelola bersama. Erin tak habis pikir, mengapa dia dan suaminya yang sudah membuat Perjanjian Pra-Nikah menjadi lebih ribet mengurus keuangan dibanding Luna dan pasangannya?
Perlukah Perjanjian Pra-Nikah?
Perjanjian Pra-Nikah (Prenuptial Agreement) umumnya dibuat sebagai perlindungan hukum terhadap harta bawaan calon suami atau calon isteri.
Perjanjian Pra-Nikah atau lebih tepatnya disebut Perjanjian Perkawinan, mengacu kepada Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang mengatur sebagai berikut:
– Harta dan utang suami-isteri sebelum menikah adalah milik masing-masing;
– Harta dan utang suami-isteri setelah menikah adalah milik bersama kecuali ada perjanjian sebelumnya.
Jelas diatur dalam Undang-Undang Perkawinan bahwa harta dan utang suami-isteri sebelum menikah, termasuk harta warisan, adalah milik masing-masing. Maka, Perjanjian Perkawinan berisi kesepakatan calon suami-isteri tentang harta dan utang yang akan timbul setelah menikah jika terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak, termasuk pengaturan urusan keuangan selama pernikahan.
Perjanjian Perkawinan lebih terasa manfaatnya jika salah satu dari pasangan suami-isteri atau keduanya adalah pengusaha. Seorang pengusaha tentu tak lepas dari adanya utang dan piutang usaha. Dengan adanya Perjanjian Perkawinan, maka harta masing-masing pihak terlindungi. Ketika salah satu pihak bangkrut, hanya satu pihak saja yang merugi. Pihak yang satu lagi tidak kena imbasnya. Dengan demikian, keuangan keluarga menjadi lebih aman.
Agar Perjanjian Perkawinan efektif, penting bagi kedua belah pihak untuk bersikap terbuka dalam mengungkapkan harta dan utang bawaan. Selain itu, penting juga dibahas mengenai potensi utang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab melunasinya.
Komunikasikan Secara Terbuka
“Money is a potential conflict point in a relationship, but it also can be something that draws a couple closer,” says Ted Beck, president and CEO of the National Endowment for Financial Education® (NEFE®). “Couples should talk openly, and often, about money and should understand their partners’ financial values.”(2)