Mohon tunggu...
AN NADHOFAH ADLIN
AN NADHOFAH ADLIN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga

Saya adalah seorang mahasiswa Fakultas Keperawatan di Universitas Airlangga.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Breaking The Silence: Kekerasan Seksual terhadap Korban Laki-laki

19 Mei 2024   22:42 Diperbarui: 19 Mei 2024   22:42 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia merupakan negara yang hingga saat ini masih belum bebas dari adanya kasus kekerasan seksual. Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan dengan tujuan untuk mengatur mengenai tindak pidana khusus yaitu tindak pidana kekerasan seksual sejak 12 April 2022, akan tetapi hingga saat ini masih banyak terjadi peristiwa kasus kekerasan seksual. Berdasarkan laporan data terbaru kasus kekerasan pada tahun 2024 dari Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) yang berada di bawah naungan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh korban adalah kekerasan seksual, dengan jumlah 3.624 kejadian dari total keseluruhan 10.513 kejadian kekerasan di Indonesia.

Menurut Kemendikbudristek, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. Komnas Perempuan telah menemukan sejumlah 15 bentuk kekerasan seksual dari tahun 1998-2013, yaitu:

1. Perkosaan

2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan

3. Pelecehan Seksual

4. Eksploitasi Seksual

5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual

6. Prostitusi Paksa

7. Perbudakan Seksual

8. Pemaksaan Perkawinan, termasuk Cerai Gantung

9. Pemaksaan Kehamilan

10. Pemaksaan Aborsi

11. Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi

12. Penyiksaan Seksual

13. Penghukuman Tidak Manusiawi dan Bernuansa Seksual

14. Praktik Tradisi Bernuansa Seksual yang Membahayakan atau Mendiskriminasi Perempuan

15. Kontrol Seksual, termasuk lewat Aturan Diskriminatif beralasan Moralitas dan Agama.

Kelima belas bentuk kekerasan seksual tersebut bukanlah merupakan daftar final, terdapat kemungkinan bentuk kekerasan seksual lain yang masih belum dikenali akibat keterbatasan informasi. Daftar bentuk kekerasan seksual tersebut menggarisbawahi kompleksitas dan beragamnya kasus kekerasan seksual yang dapat terjadi di masyarakat.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh tim peneliti International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) yang dilakukan pada bulan Mei-Juli 2020, dengan jumlah 2.210 responden yang tersebar di seluruh Indonesia, 71,8% diantaranya pernah mengalami kekerasan seksual. Dari hasil survei tersebut didapatkan juga sebanyak 64,8% pernah mengalami kekerasan seksual pada diri sendiri, dengan sejumlah 33,3% yang mengalami bergender laki-laki dan 66,7% bergender perempuan. Meskipun pada umumnya korban kekerasan seksual adalah kaum perempuan, namun bukan berarti bahwa kaum laki-laki kebal terhadap kekerasan seksual.

Berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang menarik untuk dibahas, pada bulan Februari 2024 lalu, Sadam Permana yang merupakan seorang konten kreator berjenis kelamin laki-laki yang sering membagikan pengalaman kuliah dan pengalaman lomba debatnya, sekaligus merupakan seorang alumni dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia telah menjadi korban pelecehan seksual ketika sedang melakukan siaran live streaming di akun Instagram miliknya (@sadampermana.w). Dirinya memperoleh tindakan pelecehan secara verbal berupa komentar yang bernuansa seksual oleh salah satu penontonnya. Dalam akun TikTok pribadi miliknya (@sadampermana.w), Sadam berusaha membuat konten video untuk menyuarakan keresahannya kepada pengguna TikTok atau media sosial lain, untuk tidak menormalisasikan tindakan pelecehan seksual apapun bentuknya. Namun sangat disayangkan, terdapat salah satu pengguna media sosial yang ikut menanggapi konten tersebut dengan membawa opini bahwa tidak wajar bagi kaum laki-laki bersuara bahwa dirinya telah menjadi korban pelecehan seksual. Opini tersebut merupakan suatu hal yang sangat miris sekaligus ironis untuk diungkapkan. 

Dalam konteks ini menjadi bukti bahwa tidak hanya kaum perempuan saja yang bisa menjadi korban kekerasan seksual, namun kaum laki-laki pun rentan menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat terjadi oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Menurut Luki Rudianto selaku peneliti magang di Indonesia Judicial Research Society (IJRS), faktor-faktor yang mirip dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, juga dapat ditemui pada kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki yang menjadi korban, seperti beberapa faktor termasuk jarang dilaporkannya kasus ke pihak Kepolisian atau orang terdekat, kesulitan mencari tempat perlindungan yang aman, dan ketidakmampuan korban untuk melawan ketika mengalami kekerasan seksual. Selain itu, kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki cenderung jarang terungkap akibat dari adanya faktor stereotip maskulinitas yang melekat pada kaum laki-laki. Hal ini sering disebut sebagai istilah "toxic masculinity".

Toxic masculinity adalah hasil negatif dari seperangkat aturan atau budaya yang menentukan standar normal seorang laki-laki dalam berprilaku. Istilah toxic masculinity berasal dari seorang psikolog bernama Shepherd Bliss pada tahun 1990, yang digunakan sebagai pembeda serta pemisah nilai positif dan nilai negatif dari gender laki-laki. Adanya toxic masculinity disebabkan oleh budaya masyarakat patriarkis yang turut andil dalam konstruksi sosial. Ketika menjadi korban kekerasan seksual, laki-laki dewasa maupun anak laki-laki cenderung untuk enggan melaporkan kasusnya, sehingga membuat dirinya menjadi sulit melihat dengan akurat ruang lingkup di sekitarnya (Russell, 2007). Toxic masculinity menyebabkan korban laki-laki menjadi takut untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Hal ini karena korban laki-laki tersebut takut dianggap sebagai seseorang yang lemah oleh orang lain. Hal itulah yang menyebabkan data statistik kasus kekerasan seksual dengan korban laki-laki lebih sedikit jumlahnya, dibandingkan dengan jumlah kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan. Kekerasan seksual pada laki-laki pasti ada, namun sebagian besar tidak terdokumentasi. Hal ini menyebabkan kurangnya keadilan dan bantuan bagi laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual.

Terjadinya kekerasan seksual akan menimbulkan dampak psikologis pada korban, termasuk korban laki-laki. Korban laki-laki akan cenderung berusaha untuk menyangkal bahwa dirinya telah mengalami kekerasan seksual. Hal ini akan menimbulkan sikap denial pada korban. Selain itu, korban juga dapat mengalami kecemasan yang berlebihan pasca peristiwa kekerasan seksual yang telah menimpanya. Seorang laki-laki yang telah menjadi korban kekerasan seksual juga dapat mengalami Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD). Kondisi ini ditandai dengan menurunnya hasrat untuk melakukan hubungan seksual. Kondisi ini juga dapat membuat korban kekerasan seksual mengingat kembali momen tidak menyenangkan yang pernah terjadi pada dirinya. Tentunya dampak psikologis lain seperti depresi juga dapat menghantui korban. Oleh karena itu, peran psikolog dan psikiater dibutuhkan dalam mendampingi korban pasca peristiwa kekerasan seksual.

Kita juga perlu menyadari bahwa memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual adalah tugas kemanusiaan untuk saling melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk merubah pandangan negatif masyarakat terhadap kaum laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual, maka membentuk komunitas masyarakat yang lebih berdaya adalah salah satu solusi besar dari permasalahan ini. Kita dapat mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih memerangi apapun bentuk tindak kekerasan seksual dengan melakukan program edukasi dan kampanye. Komunitas masyarakat juga dapat membuat kebijakan skala kecil yang berlaku bagi lingkungan tinggal sekitar komunitas masyarakat tersebut. Selain itu, kita juga dapat memaksimalkan peran Satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) dengan cara mempertegas bahwa Satgas PPKS tidak hanya melindungi kaum perempuan saja, akan tetapi juga melindungi kaum laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual. Satgas PPKS dapat dibentuk di lingkungan komunitas masyarakat. Dengan melakukan langkah-langkah ini, kita dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada masyarakat dalam mencegah kekerasan seksual dan mendukung bagi korban kekerasan seksual untuk bangkit dari trauma, termasuk korban laki-laki. Selain itu, secara tidak langsung dengan melakukan langkah-langkah tersebut kita juga turut serta dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs 2030 pada poin tujuan ke-16, yakni Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun