Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang dikenai kejahatan itu.
Bahwa terhadap penafsiran hukum mengenai usia “dewasa” saksi korban tersebut terhadap kasus yang menimpa korban sangatlah kurang tepat, dimana didapatkan fakta hukum dan pertimbangan hukum dari Majelis Hakim yang mempertimbangkan sebagai berikut :
Bahwa sebagai pelapor adalah orang tua korban dan laporan pidana tersebut dapat diterima dan ditindaklanjuti oleh Penyidik Kepolisian sampai dengan dilimpahkannya berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jombang;
Bahwa menurut Majelis Hakim apabila tanggal kelahiran Saksi korban tersebut dihubungkan dengan waktu pertama kali dilakukannya perbuatan cabul oleh Terdakwa terhadap Saksi Korban, maka terbukti bahwa Saksi korban pada saat itu telah berusia 18 (delapan belas) tahun lebih 3 (tiga) bulan, berdasarkan UU. No. : 23 Tahun 2002 Jo. UU. No. : 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;
Bahwa Majelis Hakim telah mengambil batasan “usia belum dewasa” adalah mereka yang belum berusia genap 18 (delapan belas) tahun sehingga dengan demikian oleh karena Saksi Korban pada saat pertama kali disetubuhi oleh Terdakwa telah berumur 18 (delapan) tahun lebih 3 bulan dan telah dikategorikan dewasa sehingga Saksi Korban tidaklah termasuk dalam objek penderita yang dimaksud dalam unsur kedua Dakwaan Ketiga Penuntut Umum ini sehingga dengan demikian unsur “belum dewasa” tidak terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa;
Menurut hemat para penulis, frasa belum dewasa merupakan frasa yang ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir, oleh karenanya harus diharmonisasi dan disinkronisasi dengan ketentuan UU yang lain selain KUHP, dimana batasan usia belum dewasa menurut KUHPerdata adalah : dibawah 21 tahun, UU. No. : 1 tahun 1974 jo UU. No. : 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan adalah di bawah 19 tahun, UU. No. : 23 Tahun 2002 Jo. UU. No. : 34 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah dibawah 18 tahun.
Sementara itu Frasa ancaman kekerasan dalam KUHP, tidak secara sempit hanya dimaknai : “membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan, bisa berupa penembakan ke atas, menodongkan senjata tajam, sampai dengan suatu tindakan yang lebih sopan misalnya dengan suatu seruan dengan mengutarakan akibat-akibat yang merugikan jika tidak dilaksanakan;
Oleh karena Kekerasan Seksual merupakan kejahatan kekuasaan, dimana seringkali pelaku kekerasaan mengendalikan, memanfaatkan situasi rentan dan mengontrol korban untuk melakukan hubungan seksual baik dengan tipu daya maupun muslihatnya, maka dalam proses penegakan hukum kasus kekerasan tidak bisa dilepaskan dari hambatan praktik dan budaya yang mereviktimisasi (menyalahkan) korban kekerasan seksual. Dalam konteks pemeriksaan perkara perempuan berhadapan dengan Hukum baik Hakim maupun Jaksa wajib memastikan implementasi kebijakan Perma : 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Hakim Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum serta Pedoman Kejaksaan No. : 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana agar tidak melahirkan produk Hukum yang diskriminatif demi mewujudkan keadilan substantif bagi kelompok rentan. yang kita dambakan bersama. Salam Merah Putih !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H