Oleh :
Ana Abdillah ( 1322300021)
Mohammad Saifuddin (1322300022)
X.Soni Harsono ( 1322300023)
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Indonesia merupakan negara nasionalis religius berdasarkan ideologi pancasila. Dan dikenal sebagai negara yang memiliki populasi muslim yang besar,sehingga banyak tumbuh Pondok Pesantren (PONPES) ditengah-tengah masyarakat. Pondok Pesantren merupakan pusat pendidikan Agama Islam dengan puluhan ribu, bahkan ratusan ribu santri belajar agama melalui lembaga pendidikan yang berlatar belakang pesantren. Salah satunya di Kabupaten Jombang Jawa Timur dikenal dengan sebutan “kota santri”. Dan ada beberapa Pondok Pesantren cukup terkenal, diantaranya Pondok Pesantren (PP.) Tebuireng, PP. Bahrul ‘Ulum Tambak Beras, PP. Darul ‘Ulum Rejoso, dan PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar. Terdapat juga 10 Perguruan Tinggi di Kabupaten Jombang dan 50 % diantaranya merupakan Perguruan Tinggi berlatarbelakang Pondok Pesantren.
Akan tetapi kultur budaya yang mencerminkan sebagai kota santri, justru menjadi tantangan dalam upaya membangun ruang aman dan upaya menghadirkan jaminan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan, khususnya di satuan pendidikan. Dalam konteks penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, masih sering menghadapi kendala, baik secara struktural maupun kultural yang begitu kompleks.
Terdapat satu kasus tindak pidana pencabulan di Pengadilan Negeri (PN) Jombang sebagaimana terdaftar dalam Register Perkara Nomor : 131/Pid.B/2021/PN Jbg, tanggal : 21 Juli 2021, dengan memberikan putusan bebas murni (Vrijspraak) terhadap terdakwa, putusan mana menimbulkan permasalahan dalam penerapan Pasal 293 ayat (1) dengan pertimbangan hukum mengacu pada unsur-unsur Pasal 293 ayat (2) KUHP bahwa : “Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu”.
Kasus kekerasan seksual tersebut dialami oleh seorang perempuan remaja berinisial : YM (18 tahun lebih 3 bulan) pada saat kejadian, dilakukan oleh remaja pria berinisial : FR’ (19 tahun). Pada saat kejadian baik korban maupun pelaku masih berstatus pelajar kelas 3 SMA. Korban merupakan putri ke 5 dari 5 bersaudara berlatar belakang keluarga pra-sejahtera. Akibat dari kekerasan yang dialami, korban mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan tanpa ada sedikitpun itikad baik dari pelaku dan keluarganya untuk bertanggung-jawab. Sehingga Orangtua memutuskan untuk melaporkan tindak pidana tersebut melalui proses hukum pada 2 Desember 2020 dan pada 21 Juli 2021. Pengadilan Negeri Jombang memutus bebas pelaku kekerasan dengan argumentasi hukum bahwa Pasal 293 dinyatakan tidak terbukti dengan pertimbangan “korban sudah bukan berusia dewasa”. Sisi lain kesedihan korban semakin mendalam saat korban menerima kenyataan jika bayi yang dilahirkannya meninggal dunia beberapa saat setelah dilahirkan. Situasi tersebut membuat korban dan keluarganya sangat terpukul.
Putusan bebas terhadap terdakwa kasus kekerasan seksual ini sempat menjadi perbincangan hangat bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Jombang, tidak terkecuali asistensi dari Lembaga Penyedia Layanan Pendamping Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Jika dianalisis secara yuridis-normatif, pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam putusan tersebut ternyata didasarkan pada penafsiran frasa “Belum dewasa” yang dimaksud dalam pasal 293 ayat (1) dan (2) KUHP, yang berbunyi :
Barangsiapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berkelebih-lebihan yang ada disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!