" Begini mbak. Pertama, Ratu Kalinyamat itu bukan orang biasa, beliau keturunan kerajaan besar Demak yang tidak bermegah-megahan. Â Dia menjauh dari kehidupan dunia untuk bertapa (topo wudo) dalam rangka mendekatkan diri keepada Allah swt, meminta keadilan Allah atas kejahatan Arya Penangsan yang telah membunuh suaminya. Beliau bertapa hingga empat puluh hari, hanya fokus berdoa dan memohon kepada Allah swt. Yang kedua, beliau adalah keturunan Rasulullah saw, meski dari jalur sang Ibu. Akan tetapi ini tidak mengurangi kemuliaan beliau. Di masa berkuasanya menjadi ratu di Jepara, beliau telah menyerang bangsa Portugis di Malaka (sekarang Malaysia) dengan korodinasi dan bantuan raja-raja di Aceh. Pekerjaan ini bukanlah sesuatu yang mudah di masa itu, akan tetapi beliau dapat melakukannya. Kehebatan-kehebtan inilah yang membuat Ratu Kalinyamat dinobatkan sebagai ratu yang besar, pahlawan nasional".
Lanjut pak Mukhlis.
" perihal tentang tempat pertapaan ini kenapa bisa menjadi tempat berziarah orang-orang, sederhanya nya begini mbak. Ratu Kalinyamat kan orang besar, mulia dan punya kedudukan, selain juga anak keturunan nabi saw dan para sultan, tidak ada salahnya kita bermunajat, bertawasul, beroda memohon lewat perantara belaiu dengan bekas tempat peninggalan sewaktu bertapa dulunya, bukan menyembah pada tempat pertapaan itu sendiri atau makam nya.  Kita ini berdoa hanya berniat berwasilah, memohon kepada Allah swt lewat beliau. Jadi jangan disalah artikan. Begitu mbak. Adapun bertapa dengan kata wudo  ( topo wudo) yang artinya bertapa dengan telanjang, ini maksudnya bukan telanjang tidak pakai busana, melainkan beliau bertapa dengan melepaskan atribut kerajaan sebagai seorang ratu lalu mengenakan baju yang  amat sederhana layaknya hamba sahaya.  Begitu ringkasanya. Sangking rendah hatinya beliau. Makanya tak heran jika para Habaib dan kiyai-kiyai besar dari berbagai daerah telah datang ke sini untuk napak tilas ziarah.
"Begitu pak ya. Kalau boleh tau Pak Mukhlis mengabdi jadi juru kunci sudah berapa lama di sini?"
"Saya sejak 2006 mbak, saya dulunya juga seorang santri dan kemudian mengabdi di sini".
Sebenarnya masih banyak lagi percakapan yang kita obrolkan, apalagi setelah saya izin masuk untuk membaca doa, kaka saya yang memang suka tempat-tempat kuno seperti ini, dia lanjut lagi ngobrol lebih panjang dengan Pak Mukhlis. Â Kami mengobrol di teras sebelum masuk ke tempat pertapaan.
Setalah membaca doa-doa dan ayat alquran, kami berlanjut melihat-lihat tempst sekitar yang ada sungainya. Sungai yang tepat disamping dari tempat pertapaan. Entah apa yang membuat warna air sungai itu keruh, sangat disayangkan.
Â
Mengelilingi area sekitar pertapaan sambil mengambil poto-poto, kami pun tak lupa mengabadikan.
Ziarah yang menyenangkan, menambah wawasasan.
Dalam mobil perjalanan pulang, kakak saya bilang "agenda selanjutnya kita akan ke makam...".