Mohon tunggu...
Akhmad NurMuzakki
Akhmad NurMuzakki Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Money

Tingkatkan Komisi, Langkah Jitu Regenerasi Petani

19 Mei 2019   15:32 Diperbarui: 19 Mei 2019   15:33 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Tenaga Kerja Subsektor Tanaman Pangan per Agustus 2013 (Sumber: Buletin APBN)

Akhir-akhir ini terdengar kabar gembira dari sektor pertanian. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pertanian Indonesia meningkat tajam dalam lima tahun terakhir. Saat ini PDB pertanian menempati urutan ke lima di dunia. Sebuah pencapaian yang membanggakan karena kini Indonesia bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan mengekspor hasil pertanian, setelah beberapa tahun lalu sempat mengimpor beras.

Miris memang, negara agraris tidak bisa memenuhi kebutuhan yang seharusnya menjadi produk unggulannya. Padahal dilihat sekilas saja, alam berpihak kepada Indonesia. Letak astronomis 60LU-110LS dan 950BT-1410BT menandakan Indonesia beriklim tropis. Ditambah posisi geologi yang dilewati cincin api membuat tanah Indonesia semakin subur sehingga mendukung beragam usaha agraria.

Sebenarnya pertanian Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Ratusan tahun lalu, bangsa barat berebut kekuasaan untuk mendapatkan hasil bumi nusantara. Dan nyatanya bisnis di sektor ini memang sangat menguntungkan. Melihat hal ini, pemerintah terus melakukan upaya untuk meng-upgrade kualitas pertanian agar kedepannya dapat memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa. Dimulai dari pemberian dana desa, benih berkualitas, subsidi pupuk, berbagai alat pertanian modern, hingga rencana pembangunan lima lumbung pangan di wilayah perbatasan yang nantinya akan disulap menjadi gerbang ekspor ke negara tetangga.

Pemerintah juga menargetkan pembangunan 65 bendungan dalam lima tahun yang terdiri dari 16 proyek lama dan 49 proyek baru. Pembangunan bendungan dilakukan dalam rangka mewujudkan ketahanan air dan kedaulatan pangan. Nantinya, bendungan akan difungsikan sebagai sumber irigasi.

Meskipun sempat jatuh bangun, usaha pemerintah telah membuahkan prestasi. Sebagai contoh, pertanian berkontribusi dalam menurunkan inflasi bahan pangan, dari sebesar 11,35% di tahun 2013 menjadi 1,26% di tahun 2017. Angka ini dibawah inflasi umum yaitu sebesar 3,61%. Jumlah penduduk miskin di pedesaan, yang merupakan basis pertanian juga menurun. Dari yang semula 17,94 juta jiwa di tahun 2015. Pada tahun 2016, 2017, dan 2018 berhasil ditekan berturut-turut menjadi 17,67 Juta, 17,09 juta, dan terakhir 15,81 juta yang merupakan terendah dalam sejarah.

Namun dibalik itu semua, rupanya indonesia sedang mengalami fenomena krisis petani. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013), jumlah rumah tangga petani berkurang sebanyak 5 juta. Padahal kebutuhan penduduk akan hasil tani terus meningkat, berbanding lurus dengan jumlah penduduk Indonesia yang bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2013, tecatat ada 26.135.469 petani, sedangkan jumlah penduduk indonesia saat itu sekitar 252 juta jiwa. Sulit rasanya bila harus memenuhi kebutuhan pangan negeri tanpa melakukan impor melihat jumlah petani yang minim ditambah masih sangat bergantung pada alam.

Sebagian besar operasi pertanian Indonesia memang belum tersentuh teknologi modern. Hal ini karena mayoritas petani hanya menempuh pendidikan hingga jenjang Sekolah Dasar. Gambar 2 menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin sedikit yang bekerja di dunia pertanian. Generasi muda Indonesia makin banyak yang menjauhi sektor pertanian, bahkan di kalangan mahasiswa lulusan fakultas pertanian itu sendiri. Presiden Joko Widodo pernah menyindir fakta ini dalam Sidang Terbuka Dies Natalis IPB ke-54 di Kampus IPB, Bogor. Jokowi mengatakan banyak lulusan IPB yang bekerja di Bank. Ia mengaku sudah mengecek sendiri jajaran direksi perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berasal dari IPB (Kompas.com., 2017).

Menurut pakar pertanian yang merupakan dosen IPB, Dwi Andreas, fenomena ini terjadi karena sektor pertanian tidak mendatangkan pendapatan yang memadai (Hidayat, 2017). Pernyataan itu dapat diperkuat dengan penelitian Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) yang menyatakan bahwa 70 persen responden orangtua keluarga petani pada usaha tani padi, tidak tertarik pada sektor pertanian. Sebagian besar termotivasi menjadi petani karena dorongan orangtua dan/atau tidak memiliki pekerjaan lainnya, hanya 28 persen dari responden yang terdorong menjadi petani karena kemauannya sendiri. Separuh dari mereka juga menyatakan bahwa mereka tidak menginginkan anaknya menjadi petani. Di sisi lain, 70 persen dari responden anak petani menyatakan tidak pernah bercita-cita menjadi petani dan 52 persen tidak ingin berprofesi sebagai petani.

Gambar 2. NTP Tahun 2014-2017 (Sumber: Kementan, diolah)
Gambar 2. NTP Tahun 2014-2017 (Sumber: Kementan, diolah)

Fakta di atas tidak bisa dibantah melihat Nilai Tukar Petani (NTP) yang mendekati angka 100, dimana menandakan pendapatan petani hampir sama dengan biaya produksi, sehingga keuntungan yang diperoleh sangat sedikit. Apabila dicermati lagi NTP dari tahun 2014 hingga 2017 cenderung menurun. Hal inilah yang menjadi motif petani lari dari mata pencahariannya  

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya NTP adalah tingginya biaya logistik. Rata-rata biaya logistik nasional mencapai 17 persen dari biaya produksi di tahun 2017. Angka itu tergolong paling boros dibanding biaya logistik di Malaysia yang hanya 8 persen, Singapura (6 persen), dan Filipina (7 persen) dari total biaya produksi. Angka itu juga berarti rata-rata biaya logistik sekitar 27 persen dari Produk Domestik Bruto. Pemerintah merencanakan turun menjadi 16 persen pada tahun 2019 sehingga bisa menghemat lebih dari USD70- 80 milyar per tahun untuk rumah tangga, perusahaan, dan negara (Nasution, 2017).

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya NTP yaitu panjangnya rantai distribusi. Direktur Jendral Hortikultura, Spudnik Sujono, memberi penjelasan mengenai hal ini. Biasanya petani akan menjual bahan pangan ke pengepul tingkat kecil, kemudian berlanjut ke pengepul besar di tingkat kecamatan, pengepul tingkat kabupaten, baru pedagang besar yang nantinya akan mengatur suplai ke daerah lain karena hanya pedagang besar yang mempunyai modal untuk melakukan distribusi itu. Suplai bahan pangan dari pedagang besar pun tidak langsung ke konsumen, melainkan ke pedagang lagi (Detik.com., 2017).

Masalah-masalah di atas tentu menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera diatasi. Satu hal terpenting yang harus diselesaikan adalah menemukan cara meregenerasi sektor pertanian Indonesia. Lalu, langkah apa yang perlu dilakukan agar sektor pertanian kembali dilirik masyarakat? Hanya satu, naikkan pendapatan petani. Adapun upaya yang bisa dilakukan sebagai berikut.

Bangun infrastruktur 

The Global Competitiveness Report 2015-2016 menyatakan bahwa kualitas infrastruktur transportasi Indonesia lebih buruk dibanding Malaysia, Thailand, dan Singapure, terutama pada kualitas jalan, jalur udara, dan pelabuhan. Berdasarkan data Kadin Indonesia, kerusakan jalur logistik membuat total kerugian yang diderita pengusaha mencapai Rp 300 miliar per hari. Bahkan Kadin mensinyalir 40 persen dari jalur logistik nasional telah rusak. Pemerintah memang selalu melakukan perbaikan jalur logistik tiap tahunnya. Namun, jalur yang dibangun kurang berkualitas sehingga mudah rusak. Selain itu, perlu tindak tegas pada truk-truk dan angkutan lain yang membawa muatan melebihi kapasitas yang telah ditentukan karena mempercepat rusaknya jalan.

           

Potong rantai distribusi

Seperti yang sudah disebutkan, rantai distribusi bahan pangan dinilai terlalu panjang. Hal itu juga berlaku pada pendistribusian hasil tani. Petani Indonesia belum mampu berpikir panjang untuk meningkatkan pendapatan. Rumah tangga tani hanya mengikuti ajaran lama menjual hasilnya ke pengepul. Padahal mengacu hasil survei BPS tahun 2015, sebaran beras paling banyak ada di tangan rumah tangga (47,57%), diikuti Bulog (19,305), pedagang (18,32%), penggilingan (8,22%), dan Horeka (6,59%). Tentu akan sangat menguntungkan jika pemerintah mampu mewadahi 47,57% beras yang ada pada rumah tangga tani. Selain menambah suplai beras untuk pasokan ekspor, juga dapat dijadikan solusi memotong panjangnya rantai distribusi. Dan secara otomatis Nilai Tukar Petani signifikan mengalami kenaikan.

Modernisasi Gabungan Kelompok Tani skala besar 

Dari total jumlah petani sebanyak 35.875.389 di tahun 2018, hanya terdapat 587.464 orang yang tergabung dalam Kelompok Tani dan 63.392 orang dalam Gabungan Kelompok Tani. Hal inilah yang menjadi penyebab sulitnya pemerintah mewadahi hasil pertanian. Mengatasi problematika ini, hadirnya internet bisa dijadikan solusi. Ojek yang semula mulai kurang laku kembali menjadi mata pencaharian setelah hadirnya Go-Jek. Lalu, kenapa pertanian tidak bisa? Akses internet memudahkan komunikasi pemerintah dengan petani. Pemerintah akan lebih mudah menjaring komunitas untuk menampung hasil pertanian rakyat.

Spekulasi masyarakat mengatakan mutu beras lokal kurang berkualitas. Padahal, sebenarnya tidak jauh berbeda dari beras yang memiliki merek. Beda cerita apabila pemerintah mampu membentuk kelompok tani skala besar, kemudian menyatukan hasil pertanian, mengklasifikasi kelas beras, memberi brand agar dikenal masyarakat, dan mendistribusikannya di pasaran. Hal ini tentu harus diimbangi penyuluhan dan pembibingan kepada petani lokal agar kualitas semakin baik sehingga mampu bersaing di pasaran.

Mendirikan pusat ekonomi dan pemerintah baru

Tabel 1. Provinsi dengan Jumlah Tenaga Kerja Pertanian Terbanyak

Provinsi

Jumlah Tenaga Kerja Pertanian 2018

Jawa Timur

6.331.523

Jawa Tengah

4.516.590

Jawa Barat

3.025.244

Sumatera Utara

2.477.417

Lampung

1.953.499

Sumatera Selatan

1.894.037

Sulawesi Selatan

1.404.919

Sumber: Kementan, diolah

Presiden Joko Widodo memberikan sinyal pemindahan ibukota berada di luar Jawa, yaitu Kalimantan. Rencana ini atas dasar jumlah penduduk di pulau Jawa mencapai 57 persen dari total penduduk Indonesia. Sedangkan di Kalimantan masih 6 persen. Pulau Sumatera tidak dijadikan sasaran karena jumlah penduduknya juga dinilai tinggi, yakni 21 persen. Jawa menjadi pusat ekonomi sekaligus pusat pemerintahan. Akibatnya lahan di pulau Jawa banyak yang digunakan untuk keperluan industri, pemerintahan, dan lain sebagainya. Efeknya lahan pertanian semakin sempit dan setiap petani hanya bisa mengolah lahan dalam skala kecil. Padahal jumlah tenaga kerja pertanian didominasi masyarakat Jawa, diikuti Sumatera. Bukan tanpa alasan, pulau ini memang lebih cocok untuk sektor pertanian dari pada Kalimantan. Atas dasar itulah perlu dibangun pusat pemerintahan dan industri di luar Jawa. Selain untuk menjaga produktivitas kegiatan agraris di Jawa, juga untuk meratakan pembangunan nasional.

Daftar Pustaka

Fauzi, Y. (2019, April 29). Jokowi Beri Sinyal Pindah Ibu Kota ke Kalimantan. Dipetik Mei 18, 2019, dari CNNIndonesia.com: https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190429151735-92-390535/jokowi-bwri-sinyal-pindah-ibu-kota-ke-kalimantan

Hidayat, R. (2017, September 6). Menjawab sindiran Jokowi: Mengapa banyak lulusan pertanian kerja di bank? Dipetik Mei 18, 2019, dari bbc.com: https://www.bbc.com/indonesia/amp/indonesia-41175869

Ihsanuddin. (2017, September 6). Jokowi Sindir Lulusan IPB Banyak Kerja di Bank, Jadi Petani Siapa? Dipetik Mei 18, 2019, dari Kompas.com: htttps://nasional.kompas.com/read/2017/09/06/10270321/jokowi-sindir-lulusan-ipb-banyak-kerja-di-bank-jadi-petani-siapa

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2018). Statistik Pertanian 2018. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (t.thn.). Optimis Produksi Beras 2018, Kementan Pastikan Harga Beras Stabil. Dipetik Mei 18, 2019, dari Pertanian.go.id: http://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=2614

Mahudin, F. N., & Shahabati, I. (2017). Buletin APBN. Krisis Petani Muda Masa Depan, 3-8.

Nasution, M. (2017). Buletin APN. Kinerja Logistik Indonesia Hingga Kini, 9-14.

Rachman, F. F. (2017, Februari 6). Begini Distribusi Pangan dari Petani, Pengepul, Sampai Konsumen. Dipetik Mei 18, 2019, dari Detik.com: https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-3415106/begini-distribusi-pangan-dari-petani-pengepum-sampai-konsumen

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun