Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tuhan Menciptakan Sungai Citarum Sambil Tersenyum

23 September 2018   06:54 Diperbarui: 24 September 2018   23:24 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon, alam indah tanah Parahiyangan diciptakan Tuhan sambil tersenyum. Itu menurut Pater MAW.Brouwer almarhum. Saat itu Wali Kota Bandung adalah  Ridwan Kamil. Terkesan dengan ucapan tersebut, Ridwan Kamil pun mengabadikan kalimat itu dengan memasang  kutipannya di ruang publik, yakni di Jalan Asia Afrika, antara Gedung Merdeka dan alun-alun Bandung.

Maka setiap warga kota dan warga luar kota yang melintasi Jalan Asia Afrika,  dengan mudah akan bisa membacanya. Walaupun Sungai Citarum dan Tatar Bandung tidak disebut secara langsung dalam kutipan tersebut, orang dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa Tuhan juga pasti tersenyum saat Sungai Citarum dan Tatar Bandung yang elok selesai diciptakan Tuhan dengan FirmanNya.

Ahli-ahli geologi Belanda yang melakukan penelitian geologi di sepanjang Sungai Citarum, Jurug Jompong, dan Sungai Cikuya Rajamandala, menyebutkan  bahwa Sungai Citarum terbentuk bersama-sama dengan terbentuknya Gunung Sunda,  kurang lebih  pada 1 juta tahun lalu. (Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, hal 141). Itulah tahun jadi Sungai Citarum yang tidak pernah  diperingati orang.

Menurut para ahli geologi, pada 2 juta tahun yang lalu  Pulau Jawa masih menyatu dengan Kalimantan, Sumatra, dan Semenanjung Malaysia sehingga membentuk daratan luas memanjang dari Asia ke arah tenggara dan berakhir di Pulau Flores, Nusatenggara Timur. 

Daratan luas kepanjangan Benua Asia itu disebut Dataran Sunda. Sementara itu, di seberang celah Timor, juga terbentuk daratan luas yang dimulai dari Pulau Timor, terhubung dengan daratan ke benua Australia. Daratan itu terus bersambung ke arah utara bersatu dengan daratan  Irian, pulau-pulau Maluku, dan Sulawesi. 

Daratan kepanjangan Benua Australia itu disebut  Dataran Sahul. Dampak dari terbentuknya Dataran Sunda  dan Dataran Sahul, yaitu bumi kita memiliki dua wajah  saja, yakni wajah Dataran Sunda yang menyatu dengan Benua Asia, Eropa, Afrika, Amerika dan wajah Dataran Sahul yang menyatu dengan daratan Benua Australia. Dataran Sunda dan Sahul sendiri terbentuk pada zaman  Glacial atau zaman Es.

Zaman Glacial adalah zaman ketika sebagian besar daerah dekat Kutub Utara dan Kutub Selatan tertutup lapisan es tebal yang disebut gletser. Pada saat itu seluruh Eropa Utara sampai pegunungan Alpen di Negara Swiss sekarang, seluruh Asia Utara, Alaska, Kanada dan Amerika sampai danau-danau di Michigan sekarang, dan seluruh puncak-puncak pegunungan di Amerika Selatan tertutup lapisan es tebal (gletser). 

Daerah-daerah tersebut pada zaman Glacial, mempunyai iklim yang hampir sama dengan iklim daerah kutub sekarang. Sementara itu di daerah tropis sekitar Katulistiwa berubah menjadi daerah  dengan iklim tropis kering. Air laut pun surut sampai 100 meter, sehingga dasar Selat Sunda, sebagaian besar dasar Laut Jawa, dan dasar Selat Malaka, muncul ke permukaan laut. 

Demikian pula selat-selat yang ada di Nusatenggara Timur. Bahkan jembatan alam Selat Berring yang menghubungkan Asia Timur Laut dengan Alaska Barat Laut pun ikut muncul di atas permukaan laut. (Kuncaraningrat, Pengantar Anthropologi, hal 77 )

Akibat terjadinya iklim kering di Dataran Sunda, maka hutan tropis yang ada mulai menipis, sebagian besar berubah menjadi padang rumput yang luas, dengan gerombolan hutan tropis tipis yang tersebar di sana-sini. Namun demikian di sejumlah tempat yang agak tinggi, hutan tropis primer dengan pohon-pohon yang lebat masih bisa bertahan.. 

Di hutan tropis kering  hidup berbagai jenis burung dan aneka macam binatang pemakan rumput seperti sapi, kuda, kerbau, kambing, rusa, dan kijang. Mereka  ramai-ramai bermigrasi dari Asia  mendatangi Dataran Sunda yang kaya dengan padang rumput. Demikian pula primata  ikut bermigrasi pula ke Dataran Sunda, ketika tanah air mereka di Afrika pada masa Glacial berubah jadi padang pasir.

Padang rumput adalah surga bagi binatang herbivora. Migrasi binatang pemakan rumput itu diikuti oleh binatang pemangsa seperti harimau dan serigala. Bahkan gajah dan badak dari India pun ikut bermigrasi ke Dataran Sunda. 

Di  luar Dataran Sunda, yakni di Alaska, mamut atau gajah raksasa, juga melakukan migrasi dari Alaska ke pulau di lepas pantai, Pulau St.Paul. Di situ mamut mampu hidup beribu-ribu tahun dan berkembang biak dengan baik. Sebaliknya dengan primata. Di Dataran Sunda, mereka tidak akan bisa hidup di hutan tropis kering dataran rendah. Karena itu primata memilih migrasi ke hutan tropis basah yang masih bertahan di dataran agak tinggi dengan iklim lebih sejuk dari iklim dataran rendah. Pada zaman Glacial, hutan tropis basah  masih banyak dijumpai di Kalimantan dan Jawa Barat. Maka ke sanalah primata seperti orang hutan, siamang, gorilla, dan simpanse memilih  tempat untuk bermukim dan bertahan hidup selama masa Glacial.

Pada zaman itu muncul mahluk baru yang merupakan mahluk transisi antara Primata dan Homo Sapiens. Mahluk transisi itu, oleh para sarjana anthropologi, diberi nama Pithecantropus Erectus atau Kera Manusia yang dapat berdiri tegak. Ada juga yang menyebutnya sebagai Homo Erectus. 

Para ahli anthropologi telah berhasil menemukan fosil mereka.. Di Lembah Sungai Brantas, ditemukan fosil Pithecanthropus Majakertensis.  Fosil Pithecanthropus Soloensis, di temukan Lembah Bengawan Solo. 

Fosil Kera Manusia paling menggemparkan adalah  fosil  yang ditemukan di Sangiran. Fosil itu berasal dari Kera Manusia  yang diberi nama Meganthropus Palaeo Javanicus oleh anthropolog Jerman GHR von Konigswald. Kera Manusia yang ditemukan di Lembah Sangiran itu merupakan yang terbesar dibanding rekannya dari Mojokerto dan Trinil. 

Penemunya menyebutnya sebagai Manusia Jawa. Kini patung replika hasil rekonstruksinya  diabadikan di halam Musium Purbakala Sangiran, 20 km dari Kota Solo. Bagaimanakah  cara hidup Kera Manusia atau Homo Erectus?

Mereka hidup dengan cara berburu celeng, babi, rusa, kijang, yang hidup  melimpah  di padang rumput hutan tropis kering Dataran Sunda. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil berburu terdiri dari 10 -- 12 individu. Senjatanya yang utama adalah kayu pemukul yang dipukulkan atau dilemparkan kepada binatang buruannya. Sebagai alat pemotong untuk mencacah daging buruan dan mengeruk untuk mendapatkan kulitnya, digunakan gumpalan batu yang telah dipertajam ujungnya. 

Untuk menebang pohon dan memotong kayu  digunakan kapak genggam terbuat dari batu. Juga digunakan tanduk rusa, dan serpihan tulang untuk meramu akar-akar makanan untuk dimakan. Namun demikian Kera Manusia itu belum dapat dimasukkan ke dalam golongan manusia. Sebab alat-alat yang mereka ciptakan belum merupakan pola yang mantap, tapi hanya berdasarkan instink. 

Dengan kata lain mereka belum mampu menciptakan benda-benda budaya sebagai suatu ciri mendasar  yang membedakan manusia dengan binatang. Selain itu, walaupun tubuh Kera Manusia itu rata-rata besar, usia hidup mereka ternyata rata-rata pendek, sekitar 30 tahun. Pada usia 10 tahun mereka telah jadi makhluk dewasa.

Terbentuknya Gunung Sunda

Ketika zaman Glacial sedang berjalan 1 juta tahun, di bawah lapisan permukaan bumi yang kelak menjadi cekungan Bandung terjadi peristiwa geologi hebat, yaitu terlipatnya sedimen lapisan bumi bawah tanah sehingga terangkat ke atas. Akibatnya munculah  di permukaan bumi sebuah gunung yang tingginya 3000 meter, dengan kaldera raksasa dipuncaknya. 

Di kaki gunung sebelah selatan terbentuklah  Tatar Bandung dan rekahan tanah yang mengalirkan air dari mata airnya, yang kemudian menjelma jadi Sungai  Citarum. Para ahli geologi, memberi nama gunung yang baru terbentuk itu  Gunung Sunda. 

"Ex Undis Solum, tanah Bandung muncul dari dasar bumi!," tulis Haryoto Kunto menceriterakan peristiwa bersejarah terbentuknya Sungai Citarum dan Dataran Tinggi Bandung.

Sayangnya di Lembah Citarum  belum pernah ditemukan fosil hasil penelitian yang menyebutkan bahwa pernah hidup Homo Erectus  yang menjadi penghuni  lembah itu. Memang tidak akan ada Kera Manusia yang melakukan migrasi dari kampung mereka di Lembah Sungai Brantas dan Bengawan Solo, ke Lembah Citarum dan lembah-lembah sungai lain di Jawa Barat. 

Mengapa? Karena, jangkuan radius tempat berburu mereka relatif terbatas. Mereka juga akan mengalami kesulitan jika harus hidup dilingkungan hutan primer dengan  hutan-hutan rimba lebat. Sebab Homo Erectus itu mencari makan di atas permukaan tanah.

Beda dengan kerabat dekat mereka para primata yang mencari makan dan berkembang biak jauh dari atas tanah, yaitu di dahan dan pucuk-pucuk pohon. Lagi pula, Homo Erectus di Lembah Brantas dan Bengawan Solo pun bukan penghuni asli lembah itu. Mereka pendatang yang melakukan migrasi juga karena tanah air mereka berubah jadi padang pasir akibat iklim yang super ektrim.

Lembah Citarum adalah lembah yang dikelilingi hutan primer tropis basah dengan pohon-pohon lebat, rimbun, dan tinggi. Hutan itu tidak musnah pada masa Glacial. Dan hutan Itu adalah habitat  paling sesuai untuk primata, tapi tidak sesuai untuk kerabatnya, Kera Manusia. Dengan demikan setelah Lembah Citarum terbentuk, penghuni awal di situ adalah jenis primata seperti orang hutan, gorilla, siamang, dan simpanse. Di negeri leluhurnya  di Afrika mereka banyak  yang  punah, karena hutan-hutan tropis basah juga menghilang pada zaman Glacial, dan menjelma jadi padang pasir.

Homo Erectus yang mendiami Dataran Sunda itu berangsur-angsur justru punah ketika zaman Glacial berakhir pada 200 ribu tahun  lalu, dan digantikan dengan zaman Interglacial keempat yang terus berlangsung hingga sekarang. 

Pada akhir zaman Glacial, lapisan es  daerah sekitar Kutub Utara dan Selatan mulai mencair. Akibatnya permukaan air laut di seluruh dunia mengalami kenaikan. 

Sebagian besar Dataran Sunda dan Dataran Sahul, kembali tenggelam. Yang tampak tinggal puncak-puncak pulau yang menjelma menjadi Semenanjung Malaysia, Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan pulau-pula Nusantara lainnya seperti keadaannya sekarang ini. 

Padang rumput dari hutan tropis kering pun lambat laun menghilang, diganti hutan tropis basah dengan pohon-pohon hutan  lebat menjulang ke angkasa.

Akhirnya terjadi seleksi alam. Bukan hanya mahluk Homo Erectus saja  yang punah. Juga binatang herbivora  yang tidak mampu menyesuikan diri. Termasuk yang juga punah adalah mamut yang tinggal di lepas Pantai Alaska. Sebab pulau tempat para mamut itu tinggal menjadi semakin sempit karena naiknya garis pantai ke daratan. Akibatnya mamut itu pun tak bisa bertahan setelah tanaman  sumber makanan mereka tidak mencukupi lagi. 

Binatang itu punah, bukan karena diburu orang. Tetapi karena kelaparan. Demikian pula Homo Erectus dan Gajah Purba yang hidup di Jawa dan tempat-tempat lainnya di muka bumi. Sekalipun begitu mereka pernah menjadi penghuni bumi dalam periode waktu yang panjang, yakni 1,8 juta tahun. (2 juta  sampai dengan 200 ribu tahun yang lalu).

Leluhur Manusia Zaman Now

Manusia Homo Sapien baru muncu menjadi penghuni muka bumi pada zama Interglacial. Penelitian para ahli anthropologi berhasil menemukan fosil Homo Wajakertensis, di Wajak, Tulungagung, Jawa Timur. Fosilnya ditemukan pada lapisan batu muda neolithicum, yang sudah berumur 60 ribu tahun. Itulah awal masa hidup Manusia Wajak yang merupakan nenek moyang ras Austroloid. 

Berturut-turut ahli anthropologi menemukan fosil Homo Pekinensis di Tiongkok. Mereka hidup pada 40 ribu tahun yang lalu dan merupakan leluhur ras Mongoloid. Ditemukan pula dekat Belgia, fosil Homo Neander yang hidup pada 20 ribu tahun yang lalu, dan merupakan leluhur ras Caucasoid. Dan Homo Rhodesoid di gurun Sahara, yang merupakan leluhur ras Negritoid pada 14 ribu tahun yang lalu.

Waktu pun terus berjalan. Demikian pula proses geologi  yang merubah  wajah bumi dan proses evolusi  mahluk hidup penghuni bumi. Pada 11 ribu tahun yang lalu, kembali terjadi peristiwa  penting dalam sejarah Lembah Citarum. Yakni peristiwa geologis terjadinya letusan Gunung Sunda yang saat itu sudah berusia hampir 989 ribu tahun. Akibatnya Gunung Sunda runtuh, dan reruntuhannya mengisi Lembah Citarum, tetapi tidak menimbulkan kerusakan berarti bagi Sungai Citarum. 

Reruntuhannya mengisi lembah yang kelak justru membuat Lembah Citarum semakin kaya dengan unsur hara. Tak lama kemudian, di puncak anak kaldera bekas letusan Gunung Sunda, muncul anak gunung pengganti, yakn Gunung Tangkuban Perahu

Pasca letusan, Lembah Citarum memasuki periode tenang yang  berlangsung selama 5 ribu tahun.  Tentu saja selama itu Lembah Citarum semakin subur, hutan tropis semakin lebat, rimbun, dan luas serta siap untuk dihuni bukan saja oleh primata yang merupakan penghuni awal, tetapi juga oleh ras manusia Homo Sapiens, leluhur manusia jaman sekarang. Pada saat itulah berkembang kebudayaan berburu dan kebudayaan berladang di sekitar Lembah Citarum.

Bertepatan dengan tahun terjadinya letusan Gunung Sunda pada 11 ribu tahun yang lalu itu, terjadilah migrasi besar-besaran hampir seluruh ras manusia di muka bumi. Apa sebab terjadi migrasi besar-bsaran dan nyaris serempak dari ras manusia penghuni bumi? Tentu bukan karena akibat letusan Gunung Sunda di Jawa Barat. 

Ledakan populasi dan kesulitan mendapatkan makananan di lingkungan setempat, kemungkinan jadi salah satu penyebab terjadinya migrasi serentak manusia di muka bumi. 

Tercatat oleh para ahli anthropologi, Ras Negroid bermigrasi ke seluruh benua Afrika. Ras Caucaoid berimigrasi ke seluruh Eropa sampai Palestina. Ras Mongoloid adalah ras paling besar melakukan migrasi dan difusi. Mereka melakukan migrasi ke seluruh benua Amerika, dengan melintasi jembatan alam Selat Berring. Mereka juga melakukan migrasi ke utara dan barat laut. 

Ada pula yang bermigrasi ke selatan. Mereka yang bermigrasi ke selatan masuk Kepulauan Nusantara lewat jalur Semenanjung Malaysia, Sumatra, dan tiba di Jawa. Ada juga yang masuk Nusantara melewati jalur Taiwan, Jepang, Philipina, dan tiba di Sulawesi dan Kalimantan.

Sementara itu, Ras Austronoid juga melakukan migrasi dari pusatnya di lembah Sungai Brantas ke timur laut, tenggara dan ke barat. Yang ke timur laut sampai Papua, dan berkembang jadi sub ras Austro Melanosoid. Adapun ras Autroloid yang melakukan migrasi ke Jawa Barat, Sumatra, dan daratan Asia Tenggara, dikenal sebagai sub ras Proto Austonesia. 

Sedangkan sub ras Mongoloid yang masuk ke Nusantara, di kenal sebagai ras Deutero Autronesia. Sub ras Proto Austronesia di Nusantara menjadi leluhur suku Tengger, Suku Badui, Suku Kubu, Suku Dayak dan lainnya lagi. Suku Deutero Autronesia yang merupakan hasil kawin campur ras Mongoloid dan Austronoid, di Jawa dan Bali menjadi leluhur suku Bali, Madura, Jawa dan Sunda.  

Sub ras Deutero Austronesia yang bermigrasi ke Jawa Barat itulah penghuni awal Lembah Citarum Hulu. Mereka menjadi penghuni awal di sepanjang Sungai Citarum, sebelum Danau Bandung yang legendaris itu terbentuk. Danau Bandung terbentuk  saat terjadi letusan pertama Gunung Tangkuban Perahu pada 6000 tahun yang lalu. Peristiwa geologis inilah yang diabadikan orang dalam Legenda Sangkuriang-Danyang Sumbi.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun