Sebagai makhluk budaya, manusia memerlukan warna. Karena warna adalah sarana untuk mengekspresikan imajinasi manusia tentang keindahan alam semesta. Tanpa warna, dunia akan tampak muram dan monoton, tak ada gairah dan tak ada cinta. Itulah sebabnya, kepandaian manusia dalam melukis, mendahului kepandaian manusia dalam menulis.
Pada masa  pra sejarah, manusia sudah mengenal body painting atau mengecat  bagian-bagian tubuh tertentu, terutama wajah, sebagai media ekpresi gagasan tentang hidup dan mati. Mereka melakukannya sebagai bagian dari ritual keagamaan yang ada hubungannya dengan peperangan dan upaca  penguburan mayat.
Belum ada penelitian arkeologi di sepanjang Sungai Citarum berhasil menemukan gua bekas tempat tinggal manusia purba dengan dinding gua dihiasi gambar-gambar berwarna, misalnya gambar orang sedang berburu. Lain halnya dengan gua-gua di Eropa Selatan.Â
Di sana banyak ditemukan gua-gua dengan dinding dihiasi gambar berwarna. Bahkan disejumlah kuburan kuno di Mesir dan India, pernah dijumpai kain berwarna dan berbagai peralatan dari tembikar dengan aneka macam hiasan aneka warna.
Pada mulanya, manusia prehistori menggunakan mineral sebagai bahan pewarna. Pewarna nabati baru digunakan setelah manusia meninggalkan budaya berburu dan mengembangkan budaya agraris. Lebih dari 4000 tahun yang lalu, manusia telah mengenal bahan pewarna nabati yang dapat digunakan untuk mewarnai kain, perkakas, benda, dan peralatan upacara.Â
Bahan pewarna nabati seperti merah, kuning, dan hijau sudah muncul di Mesir Kuno dan digunakan untuk menyamak kulit. Pewarna nabati warna kuning diolah dari kulit delima (Punica granatum), dan pewarna nabati warna merah diolah dari pacar kuku (Lawsonia inermis).Â
Wanita-wanita Mesir pada masa itu, sudah menggunaan pacar kuku untuk keperluan kosmetik dan kecantikan. Antara lain untuk memerahkan kuku dan juga bahan untuk mengecat rambut agar jadi merah.
Tetapi pewarna nabati biru tua yang diolah dari tanaman tarum, sudah muncul di Tiongkok pada 6000 tahun lalu. Bahkan Tiongkoklah yang pertama kali memproduksinya secara besar-besaran. Sekalipun begitu, kebutuhan bahan pewarna biru alami berbahan baku tarum di Tiongkok sangat besar, sehingga masih perlu mendatangkannya dari luar, antara lain dari India dan Jawa Barat.
Pewarna nabati tarum, pertama kali muncul dalam literatur India berbahasa Sansekerta pada 4000 tahun yang lalu. Karena kebudayaan Tiongkok masuk ke Jawa mendahului  kebudayaan India, maka tarum sudah masuk ke Jawa Barat pada masa prasejarah antara antara 1000-2000 tahun sebelum Masehi. Sedangkan budaya menanam padi masuk ke Jawa pada 400 Sebelum Masehi.Â
Dapat dipastikan tanam tarum di sepanjang Sungai Citarum, pada awalnya didatangkan dari Tiongkok, bukan dari India. Dan ditanam lebih dulu dari padi. Lalu apa makanan orang zaman prasejarah sebelum ditemukan padi? Mereka menanam umbi-umbian, seperti keladi, talas, ketela rambat, sebagai makanan pokok.Â
Jadi disamping menanam tarum, pendudukan yang bermukim di sekitar Sungai Citarum, juga menanam talas, ubi jalar, ketela rambat, sebagai makanan pokok mereka. (Kuncaraningrat; Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Penerbit Jambatan, hal. 17)
Sebelum Kerajaan Tarumanegara berdiri pada abad ke-5 Masehi, di sepanjang Sungai Citarum sudah ada komunitas orang Sunda yang hidup dengan mengembangkan budaya agraris berbasis sungai.Â
Hanya saja mereka hidup terpisah-pisah dalam satu clan yang diketuai kepala suku. Masing-masing klan itu hidup mandiri, dan otonom. Mereka itulah yang menjadi pelopor budidaya tarum di sepanjang Sungai Citarum.Â
Tetapi akhirnya muncul klan terkuat yang berhasil menyatukan klan-klan yang lebih lemah di sepanjang Sungai Citarum dan klan terkuat itu berhasil mendirikan organisasi politik yang disebut negara dalam bentuk kerajaan.Â
Mereka mengorganisasi negara setelah belajar dari para Brahmana India yang datang ke Jawa Barat untuk mengajarkan agama Hindu Wisnu atau Waisnawa. Itulah Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Hindu  Wisnu tertua di Jawa.Â
Adanya orang-orang Hindu dari India Selatan yang berdatangan ke muara Sungai Citarum, menunjukkan bahwa sebelum Kerajaan Tarumanegara berdiri, sudah ada hubungan perdagangan yang ramai antara  orang-orang Sunda dengan orang-orang India Selatan.Â
Hubungan perdagangan antara Jawa-India-Laut Merah, dengan menggunakan perahu layar sudah dikenal pada masa Dinasti Ptolomeus di Mesir dan Kekaisaran Romawi yang menggantikan Dinasti Ptolomeus.Â
Catatan sejarah di Mesir menunjukkan perahu-perahu dagang Romawi yang menguasai Selat Merah sudah berlayar sampai Kepulauan Nusantara. (Lihat Van de Meulen, Indonesia di Ambang Prasejarah, Penerbit Kanisius).
Para pedagang dari India Selatan itu datang ke muara Sungai Citarum, mendahului kedatangan para pendeta agama Hindu. Dengan kata lain, para Brahmana dari India selatan datang ke Jawa Barat mengikuti para pedagang dari India dengan misi menyebarkan agama Hindu Waisnawa kepada penduduk.Â
Pada zaman prasejarah  itu, muara Sungai Citarum dapat dipastikan sudah menjadi kota pelabuhan dengan penduduk cukup padat.Â
Para brahmana pendatang itu, bukan hanya mengajari ritual dan doktrin agama Hindu saja. Mereka juga mengajari cara membaca, menulis dan mengajarkan sistem kemasyarakatan berdasarkan kasta, yakni kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Kerajaan Tarumanegara berhasil membawa perubahan dalam sistem kepercayaan dan sosial kemasyarakatan orang Sunda. Tapi dalam bisnis, para penjual tetap mendominasi kegiatan perdagangan. Hanya  saja dalam sistem kasta, para pedagang itu dikelompokkan ke dalam kasta ketiga, yakni kasta Waisya.Â
Salah satu komoditas yang tetap ramai diperdagangkan adalah tanaman tarum yang dibudidayakan penduduk di sepanjang Sungai Citarum. Mungkin pada waktu itu kebutuhan bahan pewarna nabati tarum di India sedang meningkat. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tetapi juga untuk di eksport kembali ke negeri Tiongkok.
Tetapi akhirnya Kerajaan Tarumanegara mampu mengeksport tarum langsung ke Tiongkok, tanpa harus melewati pedagang perantara dari India Selatan. Dengan demikian Kerajaan Tarumanegara mulai mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungannya.Â
Sesungguhnya tanaman tarum tidak hanya tersebar di Jawa Barat saja, tetapi juga tumbuh di tempat lain di Asia Tenggara. Â Hanya produktivitas paling tingggi adalah tanaman tarum yang dibudidayakan sepanjang Sungai Citarum.
Konon dari penelitian geologis, tanaman tarum sempat dibudidayakan secara besar-besaran, hingga budidaya tanaman itu  memanjang dari muara Citarum sejauh 296 km ke hilir. Padahal panjang Sungai Citarum sekitar 300 km. Artinya, pada puncak kejayaan tanaman tarum, yakni pada abad ke-16 M, hampir seluruh pinggiran Sungai Citarum ditanami penghasil warna biru nabati.Â
Memang tanaman tarum relatif mudah dibudidayakan, baik dengan stek maupun biji. Mudah tumbuh di dataran rendah sampai tinggi. Tinggi pohon perdu ini sekitar 1 meter, dan akarnya cukup kuat untuk menahan erosi tebing sungai.Â
Bunganya yang berwarna jingga, enak pula dipandang mata. Sebagai komoditas barang dagangan, pewarna nabati tarum pernah perang tanding dengan pewarna nabati woad dari Eropa Barat. Siapakah pemenangnya? Ternyata tarumlah sang juara. Â Woad dibuat tak berkutik dan bertekuk lutut.
Berbeda dengan di Tiongkok, India, dan di Jawa, bahan pewarna nabati biru tua di Inggris, Jerman, Perancis dan Italia, diperoleh dari tanaman woad. Bukan dari tarum. Saat itu perdagangan bebas diangggap kurang bermanfaat untuk mendatangkan keuntungan kepada negara. Mereka lebih menyukai perdagangan dengan sisteim monopoli dan duo poli.Â
Untuk bahan pewarna nabati hanya ada dua mata dagang yang boleh beredar di pasaran Eropa yakni woad dan tarum yang didatangkan ke pasar Eropa dengan mengimport dari India dan Jawa.
Tanaman woad menjadi tanaman yang diproteksi dengan ketat. Bahkan suatu ketika dikeluarkan undang-undang untuk menghukum mati mereka yang berani memalsukan bahan pewarna nabati woad. Akibatnya pecah perang dagang antara woad dan tarum. Masyarakat pengguna pewarna nabati, protes ramai-ramai dengan cara meninggalkan woad, dan beralih ke tarum. Woad pun bertekuk lutut.Â
Tarum menjadi pewarna biru nabati yang diminati para pengguna. Kejayaan tarum di pasar Eropa terus bertahan ketika Eropa mulai meninggalkan pasar monopolistik dan memasuki pasar bebas, sebagai dampak dari revolusi industri. Tetapi, kejayaan tarum mulai merosot, ketika pada tahun 1897, ditemukan bahan pewarna biru sintetik. Sejak itu  pewarna nabati tarum mengakhiri kejayaannya.Â
Sudah tamatkan peran tarum sebagai pewarna nabati? Tamat sih belum. Karena pewarna nabati masih memiliki keunggulan dibanding pewarna sintetik. Yakni ramah lingkungan dan tidak menghasilkan limbah berbahaya sebagaimana pewarna sintetik.
Sungai Citarum, tanpa tanaman tarum, terdengar aneh. Dan tidak normal memang. Karena itu, jika ingin menormalkan dan merevitalisasikan Sungai Citarum, dan mengembalikan kejayaannya seperti pada masa lalu, patut dipertimbangkan usaha menanam tarum kembali di tempat habitatnya semula di kanan-kiri tebing Sungai Citarum.Â
Dijamin tidak sampai tujuh tahun, warna-warna indah bunga tarum akan bermekaran kembali di sepanjang aliran Sungai Citarum. Menghijaukan kembal Citarum dengan tarum, kenpa tidak? [19-09-2018]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H