Sebagai ganti gunung berapi yang telah runtuh. Dewa Brahma mencipta perahu buatan Sangkuriang yang semula tergeletak di kaki bukit, menjadi sebuah gunung. Kelak penduduk dataran tinggi Bandung, menyebutnya sebagai Gunung Tangkuban Perahu, karena bentuknya yang mirip perahu yang sedang ditengkurapkan di muka bumi. Sedangkan gunung molek dan cantik jelmaan jasad Danyang Sumbi, disebut oleh penduduk sebagai Gunung Putri.Â
Bertahun-tahun kemudian, dataran tinggi Bandung, berkembang menjadi pemukiman ramai dikelilingi Sungai Citarum di sebalah selatan dan sebelah barat dataran tinggi Bandung yang sejuk dan nyaman. Kisah cinta terlarang di pinggir Sungai Citarum, menjadi kisah menarik yang dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sebagai pengingat agar jangan melanggar cinta sedarah antara ibu dan anak yang dilarang para dewa penguasa alam semesta.
Demikianlah legenda riwayat Sungai Citarum dan Gunung Tangkuban Perahu dalam versi mitologi Hinduisme. Tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, muncul versi-versi baru terlepas dari mitologi Hinduisme yang melupakan berbagai macam simbol. Akhirnya yang tertinggal hanyalah kisah legenda tekstual, miskin makna karena terlepas dari doktrin inkarnasi, karma, dan vedanta dalam doktrin Hinduisme.Â
Akibatnya, orang awam hanya dibuat bingung bagaimana mungkin seekor celeng wanita bisa langsung hamil setelah minum air kencing Sang Raja Prabangkara? Padahal celeng wanita yang melahirkan Danyang Sumbi, hanyalah simbol dari gadis dusun yang karena berwajah cantik jelita, diminati oleh Sang Raja, sampai akhirnya hamil dan melahirkan seorang anak raja.
Bagaimana mungkin, si Tumang bisa bermain asmara dengan Danyang Sumbi, sampai lahirlah anak buah cintanya, Sangkuriang? Dalam doktrin Hinduisme, para dewa bukanlah sosok yang suci. Mereka sama saja dengan manusia, bisa berbuat salah, seperti selingkuh, melakukan perbuatan serong dan amoral lainnya. Yang membedakan dengan manusia hanyalah para dewa dan bidadari itu tidak bisa mati, hidup abadi, dan selalu awet muda. Jiika ada dewa dan dewi yang salah, mereka akan menerima hukum karma, yaitu turun ke dunia menjelma menjadi manusia, raksasa, atau binatang tingkat rendah.
Dalam kisah Lutung Kasarung, Guru Minda  dikutuk ibunya sendiri Sunan Ambu, menjadi seekor lutung yang harus turun ke dunia. Dalam kisah Nawaruci, Dewa Indra juga dikutuk harus turun kedunia dan menjelma jadi raksasa pemakan manusia. Dalam Mahabharata, bidadari cantik jelita, Wilutama, dikutuk jadi kuda betina. Dan dalam kisah Sangkuriang, Dewa Brahma dikutuk jadi seekor anjing. Â
Para Dewa yang terkena kutukan harus berinkarnasi menjelma jadi mahluk melata di muka bumi. Mereka baru akan terbebas dari kutukan jika ditolong oleh manusia mulia atau turunan dewa.
Dalam kisah Nawaruci, Dewa Indra terbebas dari kutukan berkat pertolongan Bima, putra Dewa Bayu. Dalam kisah Lutung Kasarung. Guru Minda terbebas dari kutukan Ibunya, berkat pertolongan Purbasari. Dalam Mahabharata, Wilutama dibebaskan dari kutukannya jadi kuda betina oleh pendeta sakti Dahyang Drona, setelah bidadari cantik Wilutama melahirkan anak buah permainan cintanya dengan Dahyang Drona. Demikan pula, Dewa Brahma dalam kisah Sangkuriang, terbebas dari kutukan Mahadewi Umma, karena pertolongan Sangkuriang, putranya sendiri.
Dalam legenda Sangkuriang-Danyang Sumbi, terdapat mitologi Sungai Citarum sebagai sungai yang disucikan para dewa. Pada zaman ketika  penduduk yang bermukim di sepanjang Citarum belum mengenal sain dan teknologi seperti jaman kita sekarang ini,  jarang ada penduduk yang melanggar cinta terlarang, buang air besar, sampah, dan limbah  di Sungai Citarum yang disucikan.
Sebab mitologi mengajarkan kepada mereka. Jika tidak ingin mendapat kutukan alam semesta  menjadi binatang, jangan bersifat semena-mena merusak lingkungan dan perbuatan lain yang dapat mendatangkan murka alam semesta. Sain dan teknologi tanpa edukasi dan sosialisasi, akan gagal menggantikan lokal wisdom yang terkadung dalam mitologi. Apa akibatnya? Terbetik berita lawas yang menyedihkan, Sungai Citarum, sungai yang dulu disucikan penduduknya dan para dewa, tiba-tiba menjadi sungai terkotor di Pulau Jawa. Menyedihkan, bukan?[16-09-2018]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H