Danyang Sumbi segera turun ke bawah,  membuat api unggun dari kayu bakar yang menumpuk di belakang ranggonya, dan membakarnya. Dia juga mengibarkan  beberapa lembar kain putih hasil tenunannya yang segera berkibar-kibar ditiup angin malam. Dalam waktu singkat api unggun cepat membumbung ke angkasa. Dari kejauhan di barat, nyala api itu tampak bagaikan warna merah matahari akan terbit menjelang pagi. Kain putih yang berkibar-kibar, tampak bagaikan benang putih langit timur yang mulai merekah sebagai tanda  fajar pagi akan segera datang.
Bukan hanya jin, dan mahluk halus yang tertipu fajar buatan Danyang Sumbi. Ayam hutan pun ikut terkecoh, sehingga hutan dekat ranggon yang semula sepi, menjadi ramai dengan suara kokok ayam hutan dan ayam pelung liar yang saling bersahut-sahutan. Jin dan makhluk halus anak buah Sangkuriang segera lari meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai, karena mengira fajar pagi telah tiba. Â
Air permukaan danau yang tengah naik, berhenti seketika. Dan sisi timu  permukaan danau berhenti hanya sejauh beberapa langkah dari ranggon yang mulai ikut terbakar.
Fajar pun tiba, alam sekitarnya tampak terang benderang. Sangkuriang turun dari perahu, mencari Danyang Sumbi sambil menyaksikan ranggon yang telah runtuh, dan hanya menyisakan bara api dan abu. Sangkuriang tahu, Danyang Sumbi telah lari ke arah timur laut untuk menghindari dirinya. Sangkuriang yang merasa ditipu dan dikhianati itu, langsung murka  terbakar api amarah.Â
Perahu yang sedang berlabuh pun ditendangnya ke arah utara sehingga jatuh di kaki gunung berapi tempat kakek Sangkuriang biasa melakukan sesaji memuja Dewa Brahma. Masih dengan wajah murka, Sangkuriang memanggil lagi para jin dan makhluk halus anak buahnya seraya dipesan agar malam nanti sumbat bendungan yang telah meluapkan Sungai Citararum, dijebol kembali.
Setelah meninggalkan pesan, Sangkuriang dengan kesaktiannya mengejar Dayang Sumbi yang sedang terus berlari ke arah timur laut. Tetapi ketika Sangkuriang berhasil mengejarnya dan hampir  menangkap pinggang Dayang Sumbi, Dewa Brahma turun untuk menyelamatkan anak dan istrinya. Bumi di depan Sangkuriang tiba-tiba terbelah, tubuh Sangkuriang yang perkasa itu jatuh masuk ke celah, hilang di telan bumi yang langsung menutup, lalu menjepit dan menguburnya di sana. Dewa Brahma juga menyelamatkan Danyang Sumbi dengan mengubahnya menjadi sebuah gunung yang molek dan cantik.Â
Ruh Danyang Sumbi dan Sangkuriang mendapat anugerah Dewa, berhasil mencapai moksa, dijemput para bidadari dan Dewa Brahma untuk tinggal di Kahyangan Suralaya. Sangkuriang dan  Danyang Sumbi hidup berbahagia menjadi bagian dari keluarga besar Dewa Brahma.
Esok harinya Dewa Brahma menerima perintah Sang Mahadewa Syiwa agar meledakkan gunung berapi di utara Lembah Bandung, agar tidak lagi menjadi pusat pemujaan terhadap dewa selain kepada Sang Mahadewa Syiwa saja. Dewa Brahma pun melaksanakan perintah Sang Mahadewa Syiwa.Â
Gunung berapi di utara Lembah Bandung yang menjulang tinggi itu diledakkan sehigga terdengar suaranya yang menggelegar memenuhi seluruh Lembah Bandung. Bersamaan dengan itu, jin dan mahluk halus anak buah Sangkuriang telah melaksanakan dengan baik perintah tuannya. Sumbat bendungan Sungai Citarum telah dijebol kembali.
Danau Bandung pun cepat surut. Tetapi lembah Bandung yang mulai mengering itu ganti diisi dengan muntahan lahar ledakan gunung berapi di utara lembah, serta reruntuhan badan gunung berupa butiran pasir. Lembah Bandung pun berubah jadi lautan pasir  yang menutup dan mengisi hampir tiga perempat lembah. Dari danau air, Lembah Bandung berubah jadi danau lumpur dan pasir.Â
Setelah mengering, terbentuklah dataran tingggi Bandung. Sungai Citarum yang semula mengalir membelah lembah dari arah tenggara kembali tersumbat. Kali ini para dewa membelokkannya ke arah barat, kemudian belok ke utara, bertemu dengan saluran lama yang telah dijebol para jin dan makhluk halus anak buah Sangkuriang. Air Sungai Citarum pun kembali melenggang dan terus mengalir menuju muaranya di Laut Jawa.