Mohon tunggu...
anwar hadja
anwar hadja Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pendidik di Perguruan Tamansiswa Bandung National Certificated Education Teacher Ketua Forum Pamong Penegak Tertib Damai Tamansiswa Bandung Chief of Insitute For Social,Education and Economic Reform Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sungai Citarum, Antara Sejarah dan Legenda

14 September 2018   13:38 Diperbarui: 15 September 2018   01:19 3901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                       

Sungai Citarum adalah sungai terpanjang di Jawa Barat yang mengalir ke Laut Jawa. Mata airnya di Gunung Wayang, Kabupaten Bandung, dengan panjang kurang lebih 300 km, berakhir di Kabupaten Krawang.  Itu baru panjang  kira-kira yang dihitung menurut garis lurus. Padahal jika dilihat dari satelit, sungai Citarum tampak meliuk-liuk bagaikan ular, sehingga bila bisa direntangkan, pasti akan lebih panjang lagi.

Sebelum orang mengenal Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Cimanuk, Sungai Citarum sudah lebih dulu dikenal. Kisah sejarah menyebutkan bahwa pada abad ke-5 Masehi, di dekat muara Citarum sudah berdiri kerajaan Tarumanegara yang dikenal sampai negeri Tiongkok.  Nama Tarumanegara sendiri mengandung arti suatu kerajaan yang keratonnya atau pusat pemerintahannya dibangun tidak jauh dari muara sungai Tarum atau Citarum.  Karena Kerajaan Tarumanegara dikenal di mancanegara sampai India, Thailand dan Tiongkok, dengan sendirinya nama Citarum ikut pula go internasional. Bukan hanya diwilayah Asia Tenggara, tapi sampai Asia Selatan dan Asia Timur.

Kemungkinan besar, orang-orang Tarumanegaralah yang pertama kali memberi nama Citarum kepada sungai yang mengagumkan itu. Ketika leluhur mereka mendarat di muara sungai Citarum, kemudian mereka membangun pemukiman di situ, dan menemukan di sepanjang sungai tumbuh tanaman nila atau tarum yang saat itu memiliki nilai ekonomis tinggi. Karena itu mereka kemudian membudidayakannya, dan memberi nama sungai penghasil nilai itu, Sungai Citarum. Ketika mereka mendirikan kerajaan, nama sungai Citarum dijadikan identitas nama kerajaan mereka, yaitu KerajaanTarumanegara.

Kawula Kerajaan Tarumangara giat membudidayakan tanaman tarum di sepanjang sungai Citarum, yang terus dikembangkan ke arah hulu. Dan tarum menjadi salah satu mata dagangan andalan export Kerajaan Tarumanegara. Sebab nilai atau tarum adalah bahan pewarna biru yang dibutuhkan oleh para bangsawan sejumlah kerajaan, antara lain juga para bangsawan Kaisar Tiongkok.

Mereka menggunakan tarum  untuk mewarnai jubah kebesaran mereka yang terbuat dari sutra. Jubah-jubah kebesaran para bangsawan Tiongkok diberi tiga warna favorit mereka dengan hiasan burung merak, yakn warna biru, kuning, dan merah. Warna biru adalah lambang langit, warna merah lambang besi, dan warna kuning adalah lambang tanah. Warna biru yang merupakan lambang langit merupakan warna paling sakral dan istimewa. Karena itu warna biru itu hanya dipakai pada acara-acara ritual hari-hari keagamaan para Kaisar Tiongkok.

Pada hari-hari biasa para Kaisar Tiongkok, termasuk jika menerima tamu, mereka biasanya mengenakan jubah warna kuning yang melambangkan kebijakan. Dan pada saat perang, mereka mengenakan jubah warna merah yang melambangkan kekuatan, kejayaan, kemakmuran,  dan keperkasaan. Dari mana para Kaisar Tiongkok itu memperoleh warna biru itu? Warna biru itu mereka olah dari tanaman tarum atau nila yang sebagian besar mereka datangkan dari Kerajaan Tarumanegara. Itulah sebabnya nama Tarumanegara tercatat dalam catatan sejarah Kaisar Tiongkok pada masa Dinasti Tang (317 -- 755 M).

Dan Kerajaan Tarumanegara pun berkembang menjadi kerajaan makmur. Wilayahnya meluas menjangkau seluruh Jawa bagian barat, bahkan sampai Lampung. Sayang kerajaan yang menjadi besar berkat berkah Sungai Citarum itu pelan-pelan surut, karena munculnya kerajaan yang lebih kuat, yakni Kerajaan Galuh Kawali, yang lokasinya tidak jauh dari hulu Sungai Citandui, tetapi juga tidak jauh dari hulu Sungai Cimanuk, sungai terpanjang ke dua di Jawa Barat.

Tetapi raja-raja Galuh yang menguasai Jawa Barat, tetap melestarikan Sungai Citarum dengan tanaman tarum yang tetap dipertahankan sebagai salah satu andalan produk pertanian Kerajaan Galuh. Kerajaan besar datang silih berganti menjadi penguasa Jawa Barat.

Setelah Kerajaan Galuh, Sungai Citarum berada dibawah kekuasaan Pajajaran, Banten, Cirebon, Mataram, VOC, akhirnya penguasa terakhir adalah Pemerintah Hindia Belanda, sampai Indonesia Merdeka. Sampai abad-19 M, tarum masih merupakan andalan eksport Pemerintah Hindia Belanda, disamping teh, kopi, dan gula. Pamor tarum mulai merosot sejak ditemukannya bahan pewarna kimia pada 1896 M. Menurut penelitian orang-orang Belanda, kualitas bahan pewarna tarum Sungai Citarum (Indigofera tinctoria), mengungguli bahan pewarna sejenis dari Italia, dan hanya kalah dari tanaman nila India.

Legenda Sungai Citarum

Jika kisah sejarah Sungai Citarum baru muncul pada abad ke-5 Masehi, kisah legendanya lebih tua lagi. Rakyat Sunda mengenal Sungai Citarum dari legenda Sangkuriang dan Danyang Sumbi, yang dikaitkan dengan terbentuknya gunung Tangkuban Perahu. Saat itu dataran tinggi Bandung masih merupakan sebuah lembah yang indah, sudah ada danau kecil atau situ yang jernih airnya, di sisi utara lembah ada gunung berapi yang dipuja penduduk penghuni lembah Bandung yang dipimpin raja sakti yang bernama Sungging Prabangkara.

Membelah tengah-tengah lembah dari arah tenggara menuju barat laut mengalir sungai Citarum yang jernih airnya. Setelah melewati sisi barat danau kecil, dan sisi barat gunung berapi, sungai Citarum pun terus mengalir menuju Laut Jawa. Dari sini muncul legenda Sangkuriang yang terkenal itu.

Alksah ketika sedang berburu di tepi Sungai Citarum, Sang Raja jatuh cinta pada gadis cantik yang tinggal di tepi sungai. Akibatnya gadis tadi hamil, dan lahirlah anaknya yang juga cantik jelita yang diberi nama Danyang Sumbi. Danyang Sumbi besar dalam asuhan Ibunya, tetapi setelah menginjak remaja, Danyang Sumbi diantarkan Ibunya menemuai ayahnya di Istana.

Sang Raja sangat terkejut melihat kecantikan Danyang Sumbi yang wajahnya sangat mirip dirinya. Danyang Sumbi langsung diakui sebagai putrinya, karena kebetulan Sang Raja tidak punya anak perempuan. Akhirnya Danyang Sumbi tinggal diistana raja, sedang ibunya milih kembali ke kampungnya di tepi Sungai Citarum.

Selama tinggal di Istana, Danyang Sumbi belajar menenun, dan tenunanya pun sangat halus, tidak ada yang dapat mengalahkannya. Karyanya dijadikan bahan rebutan para ksatria. Sementara itu, Danyang Sumbi terus tumbuh menjadi gadis cantik sweet seventin yang mulai dilirik para punggawa ayahnya. Lamaran lewat ayahnya pun datang bertubi-tubi. 

Tapi Danyang Sumbi yang gemar tirakat dengan berpuasa sampai 40 hari itu, selalu menolak setiap lamaran yang datang kepada ayahnya. Kepada ayahnya, Danyang Sumbi mengaku belum tertarik punya suami karena dia masih terus tirakat agar Dewa mengabulkan keinginangnnya. Apa keinginan Danyang Sumbi? Dia ingin menjadi wanita yang tetap cantik dan awet muda sampai usia tua, sekalipun kelak dia harus melahirkan dan punya anak dari seorang suami yang dicintainya.

"Jika itu yang menjadi tekadmu, Ayah hanya mendoakan semoga Dewa mengabulkan keinginanmu," kata Sang Raja yang mengabulkan keinginan Dayang Sumbi  tinggal di tepi Sungai Citarum, dekat Situ Bandung, tidak jauh dari hutan tempat tinggal ibunya. Bahkan Sang Raja pun membuatkan rumah panggung atau rangon untuk tempat tinggal Danyang Sumbi, sambil mengisi kesibukan sehari-harinya dengan menunun. Dengan tinggal di luar istana, Danyang Sumbi dapat menghindari lamaran lelaki punggawa ayahnya yang terpikat pada kecantikannya dan ingin memperistrinya.

Secara rutin Sang Raja mengirimkan punggawanya untuk memasok perbekalan makanan dan benang tenun, serta mengambil kain tenun yang telah jadi untuk dibawa kembali ke Istana Raja. Tidak dikisahkan apakah kain tenunan Danyang Sumbi di istana raja lalu dibatik dengan warna biru dari tanaman tarum yang banyak tumbuh di tepi Sungai Citarum.  

Ceritera pun terus bergulir, bahwa Sang Raja Sungging Prabangkara beserta kawulanya adalah pemeluk agama Hindu Brahma. Mereka memuja Dewa Brahma dengan secara rutin melakukan sesaji kurban di puncak gunung berapi di utara lembah Bandung. Karena itu, Dewa Brahma pun dari Istanya di Suralaya, secara rutin turuh ke Lembah Bandung. Sering pula singgah sebentar di Sungai Citarum, sebelum meneruskan perjalan ke puncak gunung untuk menerima sesaji dari Sang Raja Prabangkara.

Ternyata bukan hanya Dewa Brahma yang sering mendatangi Sungai Citarum di Lembah Bandung yang indah dan menawan itu. Dewi Uma istri Batara Guru pun suka turun ke Lembah Bandung dengan pengiringnya hanya untuk mandi di Sungai Citarum yang jernih airnya. Bagi para bidadari, Sungai Citarum merupakan sungai suci, karena para bidadarilah yang menanam tanaman tarum di sepanjang Sungai Citarum. 

Secara rutin para bidadari juga mendatangi Sungai Citarum. Bukan hanya untuk mandi, tetapi juga untuk memanen tanaman tarum, dan membawanya ke Suralaya. Di sana para bidadari mengubahnya menjadi bahan pewarna biru untuk membatik kain dan baju para bidadari dengan aneka motif dan corak yang didominasi warna biru.

Suatu ketika terjadilah musibah yang menimpa Dewa Brahma. Ketika Dewa Brahma sedang melakukan kunjungan kerja seperti biasanya mendatangi Lembah Bandung, tiba-tiba tanpa sengaja Dewa Brahma melihat Dewi Umma dengan pengiringya sedang mandi di Sungai Citarum. Tentu saja mereka mandi  tanpa mengenakan selembar benang pun yang menutupi tubuh molek Sang Mahadewi dan pengiringa. 

Melihat panorama yang langka itu,  membuat Dewa Brahma lupa dan terpesona seketika. Takut diketahui Sang Mahadewi Umma, Dewa Brama mencoba bersembunyi di balik batu besar. Tetapi Dewi Umma mengetahui kenakalan Dewa Brahma, hingga membuatnya murka. Sang Mahadewi istri Batara Guru itu pun langsung mengutuk Dewa Brahma.

"Heh, Brahma! Jadilah kamu seekor anjing, karena kelakuannmu mirip anjing!" kutuk Dewi Umma. Seketika Dewa Brahma pun berubah menjadi seekor anjing yang merangkak di tanah. Dia buru-buru keluar dari balik batu dengan merangkak dan mohon ampun sambil menangis menghiba-hiba kepada Sang Mahadewi.

"Sudahlah, Brahma terima saja takdirmu dengan sabar. Engkau kuberi nama si Tumang. Tugasmu menjadi penunggu danau kecil atau situ tak jauh dari batu tempat kamu bersembunyi. Kelak aku ijinkan kamu memperistri seorang gadis cantik jelita putra Raja Sungging Prabangkara yang memuja kamu. 

Dari dia kamu akan punya anak laki-laki yang akan melepaskanmu dari kutukan. Dan saat itulah kutukanku padamu akan terlepas. Kamu akan kembali menjadi seorang Dewa. Dan saat itulah kita akan berkumpul dan bertemu kembali di Istana para dewa yang berbagahagia di Kahyangan Suralaya," kata Sang Mahadewi. Setelah menyampaikan pesan-pesan dan nasihatnya, Sang Mahadewi Umma dan pengiringnya kembali ke Kahyangan Suralaya meninggalkan Dewa Brahma yang telah dikutuk menjadi si Tumang, anjing penjaga Situ Bandung, dipinggiran Lembah Bandung yang luas dan indah.[14/09/2018]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun