Lima puluh dua tahun yang lalu, 11 Maret 1966, Suharto menerima Surat Perintah dari Bung Karno. Sehari kemudian, PKI pun dibubarkan. Ketika mendengar berita itu, seorang aktivis mahasiswa meneteskan air matanya. Saat itu dia sedang melaksanakan tugas jurnalstik di luar negeri. Jauh dari hingar bingar politik di Jakarta yang terus mendidih sejak meletus peristiwa gerakan 30 september 1965. Dia mengetahui  pembubaran PKI melalui koran Inggris yang ada di hadapannya.
Sementara itu, di Jakarta, wibawa dan karisma Bung Karno pelan-pelan meredup, setelah dia melimpahkan kekuasaannya kepada Suharto. Suharto sendiri bagaikan mendapatan durian runtuh. Dia cepat bertindak memenuhi tuntutan mahasiswa yang telah berbula-bulan melancarkan demo menuntut tiga hal. Pembubaran PKI, turunkan harga, dan retul menteri-menteri korup dan gestapu dalam kabinet.
Soe Hok Gie, salah satu aktivis mahasiswa Fakultas Sastra  UI  yang ikut ambil bagian dalam demo-demo panas yang menuntut pembubaran PKI, menulis dalam catatan hariannya . "Aku sudah tiga kali bertemu Bung Karno dan berdiskusi dengannya. Dan aku muak melihat pembantu-pembantunya yang menjilat-jilat. Aku seorang mahasiswa tetapi tidak menjilat-jilat. Sedangkan Kolonel dan Menteri-Menteri menjilat-jilat," tulis Soe Hok Gie denga nada jengkel. Lebih jengkel lagi, saat Sang Aktivis yang kaya cita-cita dan idealisme itu melihat penampilan sekretaris pribadi Bung Karno yang tentu saja seorang wanita cantik.
"Aku juga melihat sekretaris pribadinya yang berkebaya ketat dengan buah dada yang menggiurkan. Terus  terang saja, aku melirik kepadanya, padahal dalam soal-soal begini biasanya aku acuh tak acuh. Memang dia cantik, tetapi aku dapat membayangkan betapa kotornya hidup perkelaminan di sini. Setiap aku keluar dari Istana, aku sedih dan kecewa. Sedangkan orang lain biasanya bangga jika bisa berjabatan tangan dengan Bung Karno," ujarnya pula.
Bukan hanya Soe Hok Gie yang memiliki persepsi negatip terhadap  Bung Karno dalam soal urusan syahwat. Beberapa minggu sebelumnya, Senat Fakultas Sastra UI menerima surat dari Prof.Priyono, Menko Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Isinya minta agar Fakultas Sastra mengirimkan 20 mahasiswinya untuk nonton wayang kulit semalam suntuk di Istana.
Tentu saja Soe Hok Gie dan teman-temannya menolak permintaan itu. Para Mahasiswa itu tersinggung, karena Fakutas Sastra seakan-akan fakultas yang bisa menyediakan wanita-wanita cantik untuk konsumsi Istana. Mereka semakin tersinggung, karena tidak ada satu mahasiswa pun yang diundang. Akhirnya dengan tegas Senat Fakultas Sastra menolak. Akibatnya Priyono marah-marah. Ketua Senatnya dipanggil.
"Ini adalah permintaan Bapak!" tegur Menko Pendidikan dan Kebudayaan itu. Tapi dengan dalih saat itu bulan Puasa, maka tak ada satu pun mahasiswi yang diijinkan orang tuanya untuk nonton wayang di Istana. Menteri pembantu Bung Karno itu tak berkutik.
Soe Hok Gie juga menulis dalam catatan hariannya, usai demontrasi besar-besaran  tanggal 10 Januari 1966 yang dilanjutkan dengan demontrasi di Bogor tanggal 15 Januari 1966. Demontrasi itu  kembali menyuarakan tuntutannya agar Bung Karno membubarkan PKI, menurunkan harga, dan mengganti menteri-menteri yang korup dan terindikasi terlibat Gestapu.
"Aku yakin Bung Karno adalah manusia yang baik..., Mungkin dia pernah membuat kesalahan-kesalahan politik yang besar, akan tetapi salah satu sebabnya adalah pembantu-pembantunya sendiri. Resimen Cakrabirawa membuat jaring-jaring birokratis yang sulit ditembus sehingga hanya klik-klik tertentu saja yang dapat masuk Istana. Bung Karno seolah-olah dijadikan tawanan dalam sangkar emas. Tanpa koneksi jaringan, jangan harap dapat menjumpai beliau. Dalam suasana seperti ini, ada suatu otak yang secara sistematis berusaha mendekadensikannya. Ia terus menerus disupply dengan wanita-wanita cantik yang lihai. Hartini muncul, siapa yang mempertemukannya? Dan itu membuat Bung Karno dihancurkan. Sejak itu wanita-wanita cantik keluar mauk Istana. Baby Huwae, Ariati, Sanger, Dewi, dan lain-lainnya lagi. Seolah-olah Bung Karno dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air, menjadi kaisar yang punya harem. Tiap minggu diadakan pesta-pesta yang dekaden di Istana dengan ngomong cabul dan perbuatan cabul," tulis Soe Hok Gie.
"Ya, dalam keadaan seperti itu, siapa yang tidak terpengaruh?" tulisnya lebih lanjut. "Yani juga mengalami nasib yang sama. Yani adalah seorang perwira yang brlliant sekali. Dia tegas dan berani. Tidak ada seorangpun yang dapat mengancamnya atau menyogoknya. Setahuku, Yani juga bukan perwira yang mata keranjang. Bahkan dia pernah membuat peraturan yang melarang prajurit-prajurit Angkatan Darat untuk mengambil istri kedua tanpa izin komandan dan istri pertama. Popularitas Yani sangat besar. Tetapi hal itu rupa-rupanya tidak disenangi oleh somebody dalam Istana yang juga telah menjatuhkan moral Presiden. Yani mulai dipancing, dan akhirnya dia memelihara istri muda."
"Menjadi menteri di Indonesia, sulit sekali. Di samping ia harus pintar, ia harus pula kebal terhadap uang sogokan, pangkat, dan..., wanita-wanita cantik," tulisnya menyimpulkan.
Agaknya analisa Soe Hok Gie sesuai dengan fakta. Sebagai penyambung lidah rakyat, di bulan-bulan yang penuh gejolak itu, Bung Karno tidak lagi peka terhadap tuntutan rakyat. Ketika para demonstran mengepung Istana Bogor dalam suatu demo yang panas dan mahasiswa mendesak agar Bung Karno memenuhi tuntutan mahasiswa, Bung Karno malah memberikan reaksi negatif. Padahal tuntutan mahasiswa sangat reasitis.Â
Kenapa Bung Karno seakan-akan kehilangan keberaniannya untuk menghadapi secara langsung para demonstran yang mengepung Istana Bogor? Mahasiswa bukanlah massa yang bersenjata. Modal mereka cuma mulut, corat-coret, dan orasi dengan argumtasi yang logis dan imiyah.
Padahal ketika menghadapi demo tentara pada 17 Oktober 1952 yang mengepung Istana dengan membawa meriam, Bung Karno sama sekali tidak gentar. Sebagaimana ditulis Soe Hok Gie, para pembisiknyalah yang melarang Bung Karno keluar Istana Bogor dan menemui massa demonstran. Akibatnya, Bung Karno membuat blunder politik. Sebab yang menemui para demontran itu, bukan Bung Karno. Tetapi Suharto, Martadinata, dan Sucipto.Â
Ternyata para demonstran dapat ditenangkan, dan bubar. Tentu saja aktivis mahasiswa itu masih berharap Bung Karno dalam sidang kabinet itu akan mengabulkan tuntutan mahasiswa. Tetapi, mahasiswa harus kecewa. Bung Karno kembali membuat keputusan politik mengikuti para pembisiknya.
Hampir sebulan kemudian setelah sidang kabinet di Bogor, pada tanggal 12 Pebruari 1966, Bung Karno meresuffle menteri-menterinya, dan dibentuklah kabinet 100 menteri. Tetapi resuflle itu tidak memuaskan mahasiswa. Bukan menteri-menteri yang terindikasi terlibat Gestapu yang diretul sesuai tuntutan mahasiswa.Â
Tetapi malah Nasution dan RE.Martadinata yang didepak dari kabinet. Tentu saja mahasiswa semakin marah, sehingga kembali terjadi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 25 Pebruari 1966. Dalam demontrasi ini, salah satu aktivis mahasiswa, Arif Rahman Hakim, tewas tertembak peluru.
Untuk mengindari situasi chaos, Bung Karno bukannya membubarkan PKI. Dia malah membubarkan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menuntut pembubaran PKI. Bung Karno juga memerintahkan agar kampus UI ditutup. Mahasiswa yang tidak puas, semakin nekad melakukan perlawanan. KAMI dibubarkan, dibentuklah KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), yang mengambil alih perjuangan KAMI.Â
Puncak perlawanan mahasiswa dan pelajar Ibu Kota yang berdatangan dari  Bogor, Bandung, dan kota-kota lainnya terjadi pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Bung Karno akan memimpin sidang kabinet 100 menteri. Karena keamanan di Jakarta semakin memburuk, sidang kabinet pun dipindahkan ke Istana Bogor. Tetapi ini pun tidak menolong.  Senjakala kepemimpinan Bung Karno rupanya sudah tiba. Bung Karno melimpahkan kekuasaannya kepada Suharto melalui Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966.
Bung Karno pun jatuh. Bukan oleh Suharto, bukan oleh KAMI, KAPI, KAPPI, atau ABRI. Pempin Besar Rvolusi itu jatuh oleh para pembisiknya, yang menyebabkan Bung Karno tidak lagi menjadi penyambung lidah rakyat. Tetapi menjadi penyambung lidah komplotan  yang ingin berlindung di balik nama besar Sukarno. [Bandung, 11-03-2018 M).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H