Agaknya analisa Soe Hok Gie sesuai dengan fakta. Sebagai penyambung lidah rakyat, di bulan-bulan yang penuh gejolak itu, Bung Karno tidak lagi peka terhadap tuntutan rakyat. Ketika para demonstran mengepung Istana Bogor dalam suatu demo yang panas dan mahasiswa mendesak agar Bung Karno memenuhi tuntutan mahasiswa, Bung Karno malah memberikan reaksi negatif. Padahal tuntutan mahasiswa sangat reasitis.Â
Kenapa Bung Karno seakan-akan kehilangan keberaniannya untuk menghadapi secara langsung para demonstran yang mengepung Istana Bogor? Mahasiswa bukanlah massa yang bersenjata. Modal mereka cuma mulut, corat-coret, dan orasi dengan argumtasi yang logis dan imiyah.
Padahal ketika menghadapi demo tentara pada 17 Oktober 1952 yang mengepung Istana dengan membawa meriam, Bung Karno sama sekali tidak gentar. Sebagaimana ditulis Soe Hok Gie, para pembisiknyalah yang melarang Bung Karno keluar Istana Bogor dan menemui massa demonstran. Akibatnya, Bung Karno membuat blunder politik. Sebab yang menemui para demontran itu, bukan Bung Karno. Tetapi Suharto, Martadinata, dan Sucipto.Â
Ternyata para demonstran dapat ditenangkan, dan bubar. Tentu saja aktivis mahasiswa itu masih berharap Bung Karno dalam sidang kabinet itu akan mengabulkan tuntutan mahasiswa. Tetapi, mahasiswa harus kecewa. Bung Karno kembali membuat keputusan politik mengikuti para pembisiknya.
Hampir sebulan kemudian setelah sidang kabinet di Bogor, pada tanggal 12 Pebruari 1966, Bung Karno meresuffle menteri-menterinya, dan dibentuklah kabinet 100 menteri. Tetapi resuflle itu tidak memuaskan mahasiswa. Bukan menteri-menteri yang terindikasi terlibat Gestapu yang diretul sesuai tuntutan mahasiswa.Â
Tetapi malah Nasution dan RE.Martadinata yang didepak dari kabinet. Tentu saja mahasiswa semakin marah, sehingga kembali terjadi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 25 Pebruari 1966. Dalam demontrasi ini, salah satu aktivis mahasiswa, Arif Rahman Hakim, tewas tertembak peluru.
Untuk mengindari situasi chaos, Bung Karno bukannya membubarkan PKI. Dia malah membubarkan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang menuntut pembubaran PKI. Bung Karno juga memerintahkan agar kampus UI ditutup. Mahasiswa yang tidak puas, semakin nekad melakukan perlawanan. KAMI dibubarkan, dibentuklah KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), yang mengambil alih perjuangan KAMI.Â
Puncak perlawanan mahasiswa dan pelajar Ibu Kota yang berdatangan dari  Bogor, Bandung, dan kota-kota lainnya terjadi pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Bung Karno akan memimpin sidang kabinet 100 menteri. Karena keamanan di Jakarta semakin memburuk, sidang kabinet pun dipindahkan ke Istana Bogor. Tetapi ini pun tidak menolong.  Senjakala kepemimpinan Bung Karno rupanya sudah tiba. Bung Karno melimpahkan kekuasaannya kepada Suharto melalui Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966.
Bung Karno pun jatuh. Bukan oleh Suharto, bukan oleh KAMI, KAPI, KAPPI, atau ABRI. Pempin Besar Rvolusi itu jatuh oleh para pembisiknya, yang menyebabkan Bung Karno tidak lagi menjadi penyambung lidah rakyat. Tetapi menjadi penyambung lidah komplotan  yang ingin berlindung di balik nama besar Sukarno. [Bandung, 11-03-2018 M).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H