“Benci? Apa masalahnya?”
“Bukankah Sang Prabu Ranawijaya yang akan memecat Kakang, malah mungkin akan memenggal leher Kakang, jika Kakang dan aku nekad pergi ke Pakuan Pajajaran untuk menghadiri resepsi dan ritual perkawinan Raden Arya di Pakuan Pajajaran? Sudah! Aku males kalau Kakang masih nyebut-nyebut dia lagi!” kata Nyi Demang agak marah dan langsung membalikkan badanya, memunggungi Ki Demang dan kembali memeluk Bagus yang sedang lelap tidurnya.
Ki Demang kelabakan juga ketika istrinya ngambek. Bisa-bisa lebih seminggu dirinya akan dibiarkan saja. Karena itu Ki Demang bisanya hanya sabar. Dia tahu cara mengatasi istrinya jika sedang ngambek. Cara itu hanyalah sabar dan berikan pujian pada istrinya.
“Aku pikir betul juga kamu. Mudah-mudahan keris Kiyai Sengkelat karya Mpu Supa itu tidak jatuh ke tangan Ranawijaya. Mpu Supa itu punya anak laki-laki namanya Mpu Sura. Mpu Sura ini seorang ahli membuat sarung keris sakti. Dia seorang maranggi yang punya banyak murid. Ayahku salah seorang murid Mpu Sura dan aku mewarisi ilmu maranggi dari ayahku. Aku akan wariskan ilmuku itu pada Bagus. Dengan demikian disamping Bagus kelak menguasai ilmu keprajuritan, juga punya ilmu membuat sarung keris sakti. Tidak gampang lho membuat sarung keris sakti. Tidak sembarang orang,” kata Ki Demang sambil berharap istrinya masih mau mendengarkannya. Ternyata istrinya pelan-pelan membalikkan badannya lagi.
“Nah, begitu kalau ceritera jangan mutar-mutar. Aku setuju banget. Itu baru gagasan cemerlang. Kelak akan aku tambahkan nama di depan nama Bagus: Bagus Sambarta Mranggi Semu! Aku akan tirakat agar Bagus jadi pemuda yang mumpuni dan bila Raden Arya kelak punya anak gadis, aku berharap Raden Arya bersedia mengambil Bagus Sambarta jadi menantunya. Dengan demikian ikatan kekeluargaan Kejawar-Kalipucang, tidak akan putus,” kata Nyi Demang. Dia memang kaya dengan cita-cita, gagasan dan impian.
“Hem, memang luarbiasa gagasan itu. Aku setuju! Siapa dulu Istriku!” puji Ki Demang pula,
”Tetapi kalau mau tirakat untuk Bagus jangan sering-sering dan beritahu aku. Rugi aku jika Istriku yang cantik sering-sering tirakat. Kapan aku mau……” belum habis kata-kata Ki Demang, istrinya sudah memotong kata-katanya.
“Ya, pastilah, minta ijin suami dulu kalau mau tirakat,” kata Nyi Demang langsung memeluk dan mencium Ki Demang. Ki Demang pun tersenyum, ternyata kesabarannya mendatangkan hasil juga. Nyi Demang memeluk dan mencium suaminya dengan mesra sebagai ungkapan rasa senangnya. Tetapi ketika Ki Demang akan membalas memeluknya, Nyi Demang menahan dada suaminya sambil berbisik :
”Kakang harus mematikan lampu teplok itu lebih dulu…” bisik Nyi Demang lirih di telinga Ki Demang.
Ki Demang Kejawar segera bangkit dengan senyum kemenangan. Permintaan istrinya adalah isyarat agar perbincangan soal masa depan bagi anak buah hatinya itu, untuk sementara sampai di situ dulu.
Lampu teplok yang menempel pada tiang dinding kamar tidurnya segera dimatikan. Pantulan cahaya bulan malam itu menerobos masuk melalui sela-sela lubang angin dinding kamarnya, sehingga Ki Demang secara samar-samar masih bisa melihat tubuh cantik istrinya yang tergolek gelisah. Istrinya sudah tidak sabar menunggu. Malam itu menjadi malam yang sangat indah bagi pasangan suami istri Ki Demang dan Nyi Demang Kejawar.[]